KONTAN.CO.ID - Banyak pihak, di antaranya World Bank dan IMF, mengatakan ekonomi akan menghadapi krisis di 2023. Profesor ekonomi New York University Nouriel Roubini memprediksi dunia tengah memasuki era baru krisis stagflasi hebat yang belum pernah ada sebelumnya. Roubini punya reputasi berkat ramalan tepat atas krisis suprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada 2008, yang menjadi krisis global.
Jadi prediksi krisis ekonomi 2023 ini tentu tidak main-main. Tapi apa yang kita pikirkan soal krisis ekonomi? Sebagian orang mungkin akan berpikir krisis ekonomi 2023 akan seperti di tahun 1997, di mana waktu itu Asia diterjang badai krisis multi dimensi.
Waktu itu ekonomi Indonesia menghadapi kesulitan yang sangat besar karena suku bunga dalam negeri naik tinggi, inflasi tidak terkendali, rupiah melemah luar biasa dan ekonomi terkontraksi hebat. Tapi dampak krisis ekonomi 2023 di Asia tidak akan separah tahun 1997. Bahkan probabilitas Indonesia mengalami krisis ekonomi di 2023 diprediksi hanya 3%.
Saat ini dunia masih menghadapi efek pandemi Covid-19, di mana gangguan pasokan global mendorong naik inflasi. Ketika pandemi mulai berlalu dan ekonomi mulai bergerak, ternyata banyak bisnis masih mengalami kesulitan. Mulai dari tidak adanya modal kerja, ada sektor tertentu belum pulih, kesulitan menemukan pekerja tetap, dan perubahan model bisnis.
Hal-hal ini menimbulkan gangguan pasokan sehingga terjadi kenaikan inflasi yang tinggi. Ini adalah tipe inflasi cost push, yang cenderung merugikan ekonomi karena kenaikan harga diikuti penurunan output pada perekonomian.
Baca Juga: Reksadana Saham Syariah Menuai Berkah, Simak Produk Paling Moncer!
Dampak inflasi pada individu dengan pendapatan tetap atau tidak mengalami kenaikan pendapatan adalah orang tersebut cenderung mengurangi jumlah barang yang dikonsumsi. Ada sebagian orang akan mengurangi tabungan dan investasinya, atau bahkan mencairkan tabungan dan investasinya, untuk mempertahankan sebagian pola konsumsinya.
Terlihat dampak inflasi cenderung buruk bagi perekonomian karena kenaikan harga cenderung menurunkan output dari perekonomian. Ketika perekonomian diukur dengan harga konstan, maka akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi, bahkan menyebabkan ekonomi bertumbuh negatif.
Inflasi yang terjadi di banyak negara tidak hanya didorong oleh cost push inflation, tetapi juga akibat demand pull inflation. Sehabis pandemi, sebagian perusahaan kembali menjalankan bisnis dengan melakukan belanja modal. Masyarakat juga melakukan konsumsi yang tertunda selama pandemi.
Kedua hal ini terjadi di tengah kelangkaan pasokan, sehingga mendorong inflasi naik tinggi. Untuk menahan inflasi yang tinggi sebagian besar bank sentral dunia menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini memang tidak terlalu efektif menurunkan cost push inflation, tapi efektif menurunkan demand pull inflation.
Dampak kenaikan suku bunga bagi perusahaan adalah biaya modal yang mengalami kenaikan, sehingga perusahaan harus membatasi investasi. Banyak proyek menjadi tidak feasible dan perusahaan cenderung membatasi aktivitas bisnisnya.
Bagi masyarakat, kenaikan suku bunga mendorong pengurangan konsumsi dan investasi. Pendapatan yang ada cenderung ditabung untuk mendapatkan bunga tinggi dan investasi pasar modal cenderung dialihkan ke pasar uang atau deposito untuk mengurangi risiko fluktuasi harga. Kenaikan suku bunga sampai level tertentu sebenarnya cenderung negatif bagi ekonomi suatu negara, karena mengurangi konsumsi dan investasi yang berakibat turunnya output perekonomian secara nasional.
Baca Juga: Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah
Kekhawatiran resesi global dan krisis ekonomi juga berdampak negatif bagi perekonomian. Ketika pebisnis dihadapkan pada potensi krisis, maka dia akan cenderung mengamankan bisnisnya. Beberapa hal yang sering perusahaan lakukan adalah menunda rencana expansi, melakukan efisiensi dan mengurangi utang.
Masyarakat yang menghadapi krisis juga akan melakukan hal yang hampir sama. Mulai dari mengurangi konsumsi, mengurangi utang dan menaikkan tabungan. Hampir semua aktivitas yang perusahaan dan masyarakat lakukan ketika menghadapi krisis cenderung menurunkan output perekonomian. Ketika sebagian besar masyarakat dan pebisnis percaya akan ada krisis ekonomi, besar kemungkinan perekonomian benar-benar akan mengalami krisis.
Kembali ke Indonesia. Sebenarnya banyak lembaga internasional memprediksi potensi Indonesia mengalami krisis ekonomi di 2023 sangat rendah. Bahkan beberapa lembaga internasional memprediksi pusat ekonomi di 2023 ada di Asia, sedang sebagian besar kawasan lain menghadapi badai krisis.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan sebagian mencari nafkah di sektor informal, terbukti sangat tahan terhadap gempuran krisis. Hampir tidak ada gangguan pasokan di Indonesia sehingga inflasi di Indonesia relatif terkendali.
Kenaikan inflasi yang terjadi akhir-akhir ini karena pemerintah mengurangi subsisi BBM. Tapi kenaikan inflasi ini biasanya sementara dan pemerintah sudah berupaya mengurangi efeknya dengan memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Yang menjadi perhatian tentu adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Sebenarnya, sih, rupiah tidak benar-benar melemah, tetapi dollar AS yang menguat terhadap hampir semua mata uang dunia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS memang tertekan, tetapi sebenarnya masih lebih baik dari banyak negara tetangga. Tentu Indonesia perlu hati-hati, karena transmisi krisis masuk ke sektor rill selalu dari nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Komunikasi Krisis
BI terlihat sudah menaikkan suku bunga acuan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap harga barang, dalam hal ini inflasi, dan juga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS.
BI perlu menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga spread suku bunga dalam negeri dengan suku bunga negara maju, khususnya Amerika Serikat. Bila spread suku bunga nominal Indonesia dan Amerika Serikat menyempit, dikhawatirkan terjadi capital outflow yang berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Memang di 2023 dunia menghadapi risiko stagflasi, ekonomi melambat dan cenderung masuk ke resesi, sedangkan inflasi tetap tinggi. Tapi Indonesia tidak perlu terlalu khawatir karena fundamental perekonomian nasional masih sangat baik.
Ketika sebagian besar masyarakat dan pebisnis khawatir akan ada krisis besar, ekonomi cenderung akan benar-benar krisis. Yang perlu dilakukan adalah menata keuangan, menyiapkan uang kas dan menunggu siapa tahu tahun depan ada pesta diskon di pasar keuangan.