KONTAN.CO.ID - Pemerintah tampaknya serius ingin memacu produksi dokter spesialis di Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mewacanakan model pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital base).
Lewat model ini, rumah sakit akan diberikan wewenang menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis sekaligus menerbitkan ijazah spesialis.
Selama ini, program pendidikan dokter spesialis di Indonesia diselenggarakan oleh universitas (university base). Pemerintah menganggap model lama ini tidak cukup kuat dalam memproduksi jumlah dokter spesialis yang diinginkan. Jumlah dokter spesialis dianggap sangat kurang, akibatnya banyak kasus medis yang terlambat ditangani. Model hospital base dianggap dapat menjadi solusi kekurangan dokter spesialis.
Kekurangan dokter spesialis merupakan fenomena universal. Isu ini terjadi pada hampir semua negara, termasuk negara-negara maju. Di Inggris, kekurangan dokter spesialis merupakan persoalan kronis. Saat ini, 11.000 lowongan dokter spesialis ditawarkan namun tidak terisi. Meski telah ada 40.000 dokter dari Eropa yang bekerja di Inggris, tetap saja negara ini kekurangan dokter spesialis.
Kekurangan dokter spesialis juga terjadi di Indonesia. Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menunjukkan pada November 2023 di Indonesia terdapat 222.000 dokter; terdiri atas 150.000 dokter umum dan 52.000 dokter spesialis. Bila dibandingkan jumlah penduduk yang berkisar 270-an juta jiwa, maka rasio umum dokter spesialis terhadap penduduk adalah 1:5.230. Kelangkaan dokter spesialis ini bervariasi dari satu bidang ke bidang lain.
Banyak faktor penyebab kelangkaan dokter spesialis. Di antaranya adalah minimnya program pendidikan dokter spesialis. Dari sekitar 100 fakultas kedokteran di Indonesia, hanya 20 fakultas kedokteran yang memiliki program pendidikan spesialis.
Untuk spesialis tertentu, seperti bedah jantung, bedah saraf dan bedah anak, pusat pendidikannya hanya terhitung jari. Keterbatasan program ini disebabkan secara langsung oleh terbatasnya dosen atau instruktur yang memiliki kualifikasi pendidik.
Rencana pemerintah memacu jumlah dokter spesialis lewat model hospital base ini tampaknya akan menemui beragam kendala krusial. Pertama, dari 210 rumah sakit pendidikan yang ada di Indonesia, baru sepertiganya yang berstatus rumah sakit pendidikan utama dan dapat digunakan sebagai sentra penuh pendidikan spesialis. Yang lainnya masih bertaraf rumah sakit afiliasi dan satelit.
Ironisnya, hampir semua rumah sakit pendidikan utama ini telah digunakan oleh dokter yang menjalani pendidikan spesialis lewat university base. Pemanfaatannya bahkan sudah sampai pada titik maksimal. Jika jumlah peserta ditingkatkan lewat hospital base akan terjadi penumpukan peserta didik di rumah sakit. Akibatnya, satu pasien akan dikerubuti banyak peserta pendidikan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan spesialis memiliki persyaratan ketat. Tujuannya untuk menjamin bahwa dokter spesialis yang dihasilkan memiliki kualitas standar dan tidak membahayakan pasien. Persyaratan ketat ini meliputi harus terpenuhinya rasio mahasiswa dengan dosen, cukupnya jumlah pasien atau kasus yang ditangani, ketersediaan sarana penunjang seperti laboratorium, fasilitas klinis, alat-alat klinis dan perpustakaan. Apakah rumah sakit pendidikan yang digadang-gadang akan menjadi sentra pendidikan spesialis telah memenuhi persyaratan ini? Jika ingin membuka program tambahan hospital base, maka yang perlu ditingkatkan terlebih dahulu adalah fasilitas, sarana dan prasarana pada rumah sakit.
Makanya perlu ada penambahan dosen klinis yang memenuhi syarat, penambahan laboratorium, fasilitas klinis dan peralatan klinis.
Metode campuran
Ketiga, penyelenggaraan dua model pendidikan spesialis dalam satu negara berpotensi menimbulkan dikotomi, dualisme dan konflik. Akan terjadi kompetisi antara rumah sakit dan universitas. Dalam beberapa kasus, program pendidikan spesialis di rumah sakit dan universitas dapat bersaing satu sama lain, terutama dalam hal sumber daya dan reputasi.
Hal ini dapat menyebabkan ketidakharmonisan antara kedua program tersebut. Rumah sakit bisa saja membatasi fasilitasnya untuk mahasiswa yang masuk lewat university base, sementara universitas akan membatasi keterlibatan stafnya untuk peserta hospital base. Lulusan spesialisnya juga dapat mengalami dikotomi dan bahkan konflik.
Keempat, model hospital base membatasi pengalaman klinis peserta program hanya pada kasus tertentu di rumah sakit tempat mereka menjalani pelatihan. Kondisi ini berbeda dengan sistem university base yang memungkinkan dokter menjalani pelatihan di beberapa rumah sakit pendidikan. Model hospital base cenderung fokus pada praktik klinis daripada aspek teoritis dan penelitian.
Selain itu, ada potensi fragmentasi kualitas pelatihan antara dokter yang dilatih di rumah sakit pendidikan utama di kota-kota dan mereka yang dilatih di daerah-daerah.
Kompleksitas isu pendidikan dokter spesialis ini mengharuskan kehati-hatian dalam memacu produksi dokter spesialis. Ketersediaan dan kecukupan dokter spesialis memang penting, tetapi keamanan dan keselamatan pasien dan masyarakat jauh lebih penting. Model hospital base memiliki banyak kendala dan sulit diterapkan dalam waktu dekat.
Alternatifnya adalah melakukan akselerasi program pendidikan spesialis lewat jalur berbasis universitas. Lewat program ini, lebih dari 52.000 dokter spesialis telah diproduksi dan mereka kini berbakti di negeri ini. Universitas-universitas yang belum membuka program spesialis difasilitasi agar mampu menyelenggarakan program, termasuk dengan penambahan staf dan sarana. Universitas yang telah punya program difasilitasi agar dapat membuka program spesialis lainnya. Juga diberikan penambahan kuota peserta.
Misalnya, bila selama ini rasio pengajar terhadap mahasiswa 1:3, maka rasio ini dapat ditingkatkan 1:5. Ini jauh lebih baik dan mungkin karena telah tersedianya sistem dan struktur yang relevan pada tingkat universitas.
Alternatif lain digabungkan antara wahana rumah sakit dengan universitas sebagai pusat afiliasi. Lewat model ini, 100-an rumah sakit afiliasi dan satelit yang telah memperoleh status rumah sakit pendidikan ditingkatkan sarana dan stafnya.
Kemudian mereka diberikan kesempatan membuka pendidikan spesialis sesuai dengan kapasitasnya. Kurikulumnya tetap mengacu kepada kurikulum yang dibuat oleh universitas.
Pendidikan, pengawasan dan mentorship dilakukan oleh para dokter rumah sakit. Namun sebelumnya tenaga-tenaga dokter tersebut diberikan pelatihan oleh universitas.
Peningkatan produksi dokter harus dilakukan dengan hati-hati. Mengadopsi model pendidikan dokter yang penuh kendala dapat membahayakan kualitas dan jumlah dokter spesialis. Jangan karena sangat bergairah memperbanyak dokter spesialis, kualitas luaran pun dikorbankan.