KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis properti memang cenderung turun beberapa tahun belakangan. Meski begitu, kebutuhan rumah tinggal, terutama rumah pertama, masih tetap tinggi.
Tak heran, penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) juga masih cukup besar. Bahkan, bagi PT Bank Tabungan Negara (BBTN), penyaluran KPR subsidi merupakan penopang utama kinerja.
Nurulita Harwaningrum, Analis MNC Sekuritas, mengatakan, penyaluran KPR subsidi BBTN tercatat naik 30,11% jadi Rp 88,92 triliun. Penyaluran KPR non subsidi juga tumbuh, tetapi tidak sebesar pertumbuhan KPR subsidi, yaitu cuma 13,22% menjadi Rp 74,69 triliun.
Segmen kredit BBTN terdiri dari 91% KPR dan 9% kredit di luar perumahan. Nurul menjelaskan, sebesar 50% penyaluran kredit mengalir ke KPR subsidi. "Sudah pasti karena masih ada program pemerintah, makanya KPR subsidi jadi pendorong kinerja BBTN bertumbuh, " kata Nurul kepada Kontan, Rabu (28/11).
Program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dari pemerintah memang memberikan angin segar terhadap laju pertumbuhan kredit BBTN. "Program pemerintah tersebut memang sesuai dengan segmen pasar utama BBTN, yaitu pemilik rumah pertama. Segmen tersebut memang sedang bertumbuh," kata Nurul.
Selain itu, di tengah kenaikan suku bunga acuan, BBTN justru sukses menurunkan rasio kredit bermasalah atawa non performing loan (NPL) menjadi 2,65% pada kuartal tiga 2018. Di periode yang sama tahun sebelumnya, NPL BBTN mencapai 3,07%.
Meski begitu, kenaikan suku bunga acuan cepat atau lambat akan terefleksi pada suku bunga bank dan bisa menjadi faktor yang menahan pertumbuhan kinerja. Namun, Nurul menilai BBTN akan menerapkan strategi penyesuaian kenaikan suku bunga secara bertahap ke nasabahnya. Strategi tersebut bisa membuat nasabah lebih tahan menghadapi kenaikan kredit.
Risiko kinerja
Namun, net interest margin (NIM) BBTN di kuartal III terkoreksi dari 4,49% tahun lalu jadi 4,35% tahun ini. Jika dilihat secara kuartalan, NIM di kuartal III masih lebih tinggi dari NIM di kuartal II tahun ini, yang sebesar 4,17%.
BBTN juga menghadapi beberapa potensi risiko yang bisa mempengaruhi kinerja keuangan. Pertama, risiko penurunan rasio kecukupan modal atawa capital adequacy ratio (CAR).
Ini terjadi lantaran penyesuaian pelaporan kinerja keuangan akibat implementasi standar akuntansi baru, yang mulai berlaku di awal 2020. Standar akuntansi baru ini membuat bank harus menambah cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), yang bisa menurunkan CAR. "Risiko kerugian bisa meningkat apabila penerapan standar baru terjadi seiring pertumbuhan makroekonomi yang lebih lambat," kata Nurul.
Kedua, peningkatan biaya provisi. Ini terjadi akibat naiknya rasio cakupan. Di kuartal III-2018, rasio cakupan BBTN naik hingga 46%. Biaya provisi naik 44,84% di periode yang sama jadi Rp 867 miliar.
Analis Maybank Kim Eng Rahmi Marina memprediksi tingginya biaya provisi berpotensi menurunkan laba bersih BBTN di akhir tahun ini sebesar 6,3%.
Ketiga, peningkatan deposito. Kondisi ini memang mengakomodasi percepatan penyaluran pinjaman. Tapi jangan lupa, bagi bank, deposito merupakan dana mahal.
Namun, Raphon Prima, analis NH Korindo Sekuritas, menulis di dalam risetnya, saat ini dampak peningkatan biaya bunga tidak signifikan. Di kuartal III-2018 biaya bunga BBTN tumbuh sebesar 13%. Realisasi ini lebih rendah dari pertumbuhan pendapatan bunga yang mencapai 16%.
Raphon dan Nurul sama-sama memberi rekomendasi buy BBTN. Raphon mematok target harga di Rp 3.050 per saham. Sedang target harga Nurul di Rp 3.000 per saham.
Kemarin, BBTN ditutup di Rp 2.530 per saham. Nurul menilai, harga saham BBTN saat ini telah diperdagangkan di bawah rata-rata selama tiga tahun, jadi sangat menarik.
Sementara Rahmi melalui risetnya merekomendasikan hold BBTN. Ia menghitung target harga BBTN di Rp 2.500 per saham.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.