KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tanggal 30 April kemarin merupakan hari ke-100 Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Trump sangat tidak menyia-nyiakan waktunya berkuasa.
Di hari pertamanya menjadi Presiden AS ke-47, Trump meneken 26 executive order. Selama tiga bulan berkuasa, Trump menandatangani 143 executive order. Ia pun menjadi Presiden AS yang paling rajin merilis executive order selama 100 hari pertama memerintah.
Namun produktivitas dalam menghasilkan aturan tak menjadikannya populer. Banyak executive order Trump memang merugikan, tak cuma warga negerinya saja, tetapi negara lain. Ambil contoh perintahnya untuk memberlakukan tarif resiprokal atas mitra dagang AS.
Tidak mengherankan jika mayoritas warga AS enggan mendukung kebijakan Trump. Sikap itu tecermin dari jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei kredibel.
Hasil polling Gallup menunjukkan approval rating atas Presiden Trump dalam 100 hari pertamanya menjabat sebesar 44%. Angka ini disertai catatan sebagai yang terendah yang pernah diperoleh seorang Presiden AS selama 100 hari pertamanya, paska Perang Dunia kedua.
Angka persetujuan atas kepemimpinan Trump yang dihasilkan oleh survei Reuters/Ipsos malah lebih rendah lagi. Total approval rating atas Trump hanya 42%.
Penilaian negatif atas 100 hari Trump juga datang dari bursa saham. Ini terlihat dari pergerakan indeks S&P 500 yang cuma naik di empat pekan pertama, dan terus menukik di dua bulan berikutnya. Puncak penurunan terjadi saat Trump memasang tarif sepihak.
Kebijakan Trump di masa pemerintahannya yang kedua dan menuai banyak kritik dari warganya sendiri bermuara pada kebijakan imigrasi yang keliwat ketat. Kendati dikampanyekan sebagai upaya melindungi AS dari banjir para pendatang, kebijakan Trump dinilai justru membuat negerinya mengalami brain drain.
Para mahasiswa paska sarjana dari luar AS, yang selama ini menopang pertumbuhan industri teknologi, banyak yang merasa tak lagi nyaman. Mereka pun memilih untuk kembali ke negerinya.
Situasi di AS ini seharusnya relevan bagi kita. Alih-alih menganggap gerakan kabur aja dulu sebagai sebuah cibiran, pemerintah kita harusnya introspeksi. Jika di negara sebesar AS saja, para pemilik otak cemerlang ini bisa merasa tak betah dengan kebijakan yang nyeleneh, apalagi di negeri berkembang semacam Indonesia.