Mereka yang Terpinggirkan Usai Perang Melawan Social Commerce
Minggu, 03 Desember 2023 | 05:59 WIB
Reporter:
Asnil Bambani Amri |
Editor: Asnil Amri
KONTAN.CO.ID - Siang itu Matahari bersinar terik. Alfian (42) tampak duduk santai di salah satu pos ronda perumahan di Kota Tangerang, Rabu (29/11). Kurir yang bekerja di satu perusahaan pengiriman ekspres ini sedang melepas lelah. Sebotol air mineral yang isinya tinggal separuh ada di tangan. Separuh lagi sudah masuk ke tenggorokan dan melepas dahaga.
Tak jauh dari posisi Alfian duduk, terparkir sepeda motor matik yang dipenuhi ikatan paket milik konsumen. Dilihat dari ukuran dan banyaknya paket, sepertinya sebagian paket sudah sampai ke tujuan. “Jumlah paket ini sudah mulai turun, jumlahnya tidak sebanyak saat-saat pandemi,” kata Alfian sambil meminum air mineralnya.
Alfian memberi perbandingan, belakangan ini ia hanya mengantar paket dengan jumlah puluhan atau di bawah 100 paket per hari. Adapun masa-masa pandemi, ia bisa mengantarkan 150 paket per hari di area yang sama.
Meski angka itu tidak mewakili layanan paket di wilayah Tangerang, Alfian bilang, penurunan jumlah paket yang ia rasakan sejak Oktober atau sejak ada larangan operasi social commerce bernama TikTok Shop dan larangan penjualan produk impor di bawah harga US$ 100.
Alfian tak terlalu ambil pusing jika jumlah paket yang dikirim menurun. Sebab, sejak menjadi karyawan JNE, penghasilan yang ia peroleh mengacu pada upah minimum provinsi (UMP), bukan mengacu pada jumlah paket yang berhasil dia antar, seperti praktik pembayaran upah tenaga kurir di ekspedisi lain.
“Beda dengan perusahaan kurir lainnya, yang dibayar per paket yang dikirim. Kalau jumlah paket turun maka penghasilannya kurir hari itu akan turun,” kata Alfian.
Sejak bulan Oktober itu, Alfian banyak berjumpa dengan kurir yang mundur atau resign dari perusahaan yang menerapkan pembayaran berdasar jumlah paket yang diantar, karena penurunan
itu. Menurut Alfian, jika paket yang diantar sedikit, pendapatan yang dibawa pulang oleh kurir juga menjadi sedikit. “Kalau yang diantar cuma 40 paket, bayarannya Rp 80.000. Itu akan habis buat beli bensin, makan dan ongkos di jalan doang,” kata Alfian.
Kondisi makin sulit saat ada larangan jualan di TikTok Shop dan larangan impor produk di bawah harga US$ 100. Alhasil, perusahan yang banyak bekerjasama dengan pedagang di TikTok Shop ikut terdampak. Penghasilan mereka dalam melayani konsumen TikTok Shop langsung terjun bebas. “Ada banyak kurir yang akhirnya memilih resign karena enggak ada barang yang diantar,“ kisah Alfian.
KONTAN berusaha mengonfirmasi cerita tersebut ke salah satu perusahaan pengiriman ekspres yang banyak bekerjasama dengan pedagang di TikTok Hop, yaitu J&T. Namun sayang, petugas bagian komunikasi publiknya bilang, manajemen perusahaannya tidak mau berkomentar.
Akan tetapi, Sonny Harsono, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce bilang, apa yang menjadi keluhan dari kurir itu memang terjadi di J&T, SICepat dan di perusahaan pengiriman cepat lain.
“Pendapatan perusahaan yang bergantung dari TikTok Shop itu terjun bebas, termasuk kurirnya,” terang Sonny.
Menurut Sonny, kurir merupakan pihak yang paling ujung terkena dampak penghentian TikTok Shop dan larangan impor barang di bawah US$ 100. Sebelum sampai ke hilir, dampaknya juga dirasakan perusahaan pergudangan dan jasa penanganan logistik di bandara.
“Kami dari SKK Logistics kehilangan pekerjaan, sehingga 80 karyawan saya tidak lagi bekerja,” kata Sonny yang juga Direktur Utama di SKK Logistics. Namun tidak demikian yang dialami JNE, salah satu perusahaan pengiriman ekpres di Indonesia. Mohammad Feriadi, Direktur Utama JNE bilang, hadirnya beleid Permendag 31 Tahun 2023 itu tak membuat bisnis mereka goyang. “Kalaupun ada pengaruh tidak terlalu signifikan buat JNE,” kata Feriadi kepada KONTAN.
Imbas persaingan
Saat gajah bersama gajah bertarung, maka pelanduk akan mati terinjak di tengah. Agaknya pemeo lawas ini bisa mewakili kondisi bisnis logistik yang bergantung dengan bisnis lapak digital melalui e-commerce dan social commerce.
Sewaktu ada social commerce seperti TikTok Shop, banyak konsumen dan pedagang di e-commnerce bergeser. Kondisi ini tentu membuat pemilik e-commerce meradang. Ekosistem bisnis yang selama ini memanfaatkan platform e-commerce hijrah ke social commerce. “Buntutnya, lahirlah desakan melarang social commerce itu (Tiktok Shop) itu,” kisah Sonny.
Karena ekosistem social commerce sudah terbentuk, saat aktivitasnya dihentikan, tentu akan membawa dampak. Apalagi produk di bawah harga US$ 100 juga dilarang diimpor atau dijual. Aturannya tertuang dalam Permendag 31/2023 yang kini menjadi sumber malapetaka bagi Sonny dan kawan-kawannya. Persaingan e-commerce dan social commerce itu berimbas ke bisnis mereka.
Alhasil, dalam dua bulan terakhir, aktivitas bongkar muat produk impor di bandara menjadi sepi. Banyak pegawai terpaksa berhenti atau dirumahkan karena tak ada kerjaan.
Selain pemutusan hubungan kerja, Sonny bilang, akan ada dampak lanjutan Permendag 31/2023, khususnya dampak dari larangan impor produk di bawah harga US$ 100. Sebab, produk tersebut bukan hanya produk konsumsi, tetapi juga komponen untuk UMKM.
“Contoh ada yang impor alat atau komponen bagian dari kosmetik dan salon. Mereka impor karena tidak diproduksi di dalam negeri,” kata Sonny. Karena komponen kosmetiknya tidak bisa impor, maka usaha bisnis kosmetik itu juga terancam tiarap karena ketiadaan bahan baku.
Adapun imbas dari ketiadaan pasokan komponen itu adalah, masuknya produk seludupan. Ancaman atas produk seludupan sering kali terjadi jika ada aturan impor pada produk tertentu. Aksi penyeludupan juga akan disertai dengan aksi rente yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat yang mencari keuntungan secara haram.
Agar kondisi itu tidak terjadi, Sonny memutuskan untuk melakukan judicial review beleid Permendag No 31 Tahun 2023 itu ke Mahkamah Agung (MA). Sonny mempersoalkan Pasal 19 ayat 1-4 menyoal larangan impor barang di bawah 100 dollar AS atau sekitar Rp 1,5 juta melalui e-commerce.
Alasan dari Sonny adalah, produk importasi di bawah US$ 100 itu merupakan komponen yang dibutuhkan oleh UMKM di Indonesia. “Tidak hanya konsumen yang dirugikan, tetapi negara yang kehilangan potensi pajak dari kami” ujar Sonny.
Selain itu, Sonny beralasan, beleid berdampak pada 5.000 orang yang bekerja di sektor logistik dan 1.000 orang yang bekerja di sektor pergudangan di bandara. Belum lagi pekerja informal yang juga terimbas dari aktivitas bisnis mereka.
Meskipun hadirnya Permendag tersebut mendapatkan penolakan dari APLE, asosiasi lainnya seperti Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) tidak mau ambil pusing.
“Saat ini, Asperindo belum mengambil sikap karena tidak semua anggota terkena dampak Permendag itu,” kata Feriadi. Jikapun ada anggotanya yang terkena dampak aturan tersebut, Feriadi yakin jumlahnya sedikit.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.