Merger dan Akuisisi Global Jadi Lebih Lambat

Sabtu, 28 September 2024 | 04:23 WIB
Merger dan Akuisisi Global Jadi Lebih Lambat
[ILUSTRASI. ilustrasi merger akuisisi ambil alih]
Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - LONDON. Aksi merger dan akuisisi (M&A) tahun 2024 mulai menggeliat ketimbang tahun sebelumnya. Tapi sejumlah pihak pelaku M&A mulai malas bergerak (mager) melanjutkan  kesepakatan dan  menunda aksi korporasi itu karena menjelang pemilihan umum Amerika Serikat (AS). Kondisi ini bisa memperlambat laju M&A di kuartal keempat hingga tahun depan.

Berdasarkan data LSEG, total nilai transaksi M&A dalam sembilan bulan pertama tahun ini hingga 25 September 2024 telah mencapai US$ 2,3 triliun. Angka ini lebih tinggi dari akhir tahun 2023 yang hanya sebesar US$ 1,9 triliun.

Sementara menurut data Dealogic, nilai kesepakatan di seluruh dunia hingga 25 September 2024 bernilai US$ 846,8 miliar, naik 14% dari periode sama tahun lalu. Dari jumlah tersebut, volume M&A Amerika Serikat turun 8% menjadi US$ 338 miliar.

Baca Juga: BNP Paribas Akuisisi Unit Private Banking HSBC di Jerman

Penurunan aksi merger dan akuisisi ini sejalan dengan pengawasan regulasi yang makin ketat dan suku bunga tinggi yang menghambat aktivitas.

Di luar Amerika Utara, pertumbuhan nilai transaksi tampak melejit. Bahkan di Asia-Pasifik, nilai transaksi merger dan akuisisi melonjak 54% menjadi sebesar US$ 273 miliar. Sementara di Eropa, nilai transaksi M&A naik sebesar 7% menjadi US$ 160 miliar.

Adam Emmerich, Wakil Ketua Departemen Korporat Firma Hukum Wachtell, Lipton, Rosen & Katz mengatakan, akan ada banyak perusahaan mulai menunda kesepakatan penuh, sampai dengan seusainya pemilihan presiden AS pada awal November 2024.

Hal itu karena pembuat kesepakatan M&A menginginkan kepastian regulasi dan ekonomi di bawah pemerintahan baru. "Ini bukan tahun M&A paling atraktif  yang pernah kami lihat. Orang-orang lebih banyak berpikir," kata  Emmerich, seperti ditulis Reuters, kemarin.

Apalagi saat ini, pengawas antimonopoli AS makin ketat mengawasi. Hal ini menurunkan jumlah M&A yang masuk dalam kategori mega deal atau lebih dari US$ 25 miliar pada tahun ini.

Baca Juga: Bank Asing Mulai Tinggalkan Pasar Domestik, OJK Angkat Bicara

Tom Miles, Wakil Kepala Global M&A Morgan Stanley mengatakan, secara historis, kesepakatan mega deal jadi pendorong volume kesepakatan M&A secara keseluruhan. "Jelas dengan kurangnya kesepakatan yang lebih besar merupakan akibat langsung dari beberapa tekanan regulasi yang ada," kata dia.

Namun, transaksi dengan nilai US$ 1 miliar-US$ 10 miliar, menurut data Dealogic, naik 27%. Nilai transaksi senilai US$ 5 miliar-US$ 10 miliar naik menjadi 12 dari 10 di tahun sebelumnya.

Salah satu nilai M&A terbesar sepanjang tahun ini adalah akuisisi Pioneer Natural senilai US$ 60 miliar yang digelar oleh Exxon Mobil. Akuisisi ini juga memicu gelombang konsolidasi di sektor minyak dan gas tahun ini. Sementara pada kuartal ini, ada akuisisi produsen Cheez-It, Kellanova, produsen permen Mars senilai US$ 36 miliar.

Namun sejumlah rencana kesepakatan lain digagalkan. Salah satunya adalah rencana toko swalayan Kanada,  Alimentation Couche-Tard,  yang akan mengakuisisi Seven & I Jepang senilai US$ 38 miliar. Sementara rencana Qualcomm mengakuisisi Intel juga belum mencapai kesepakatan, di saat rencana Arm untuk membeli Intel juga langsung ditolak. 

Manajemen Intel menyatakan, perusahaan ini tidak dijual. Apalagi, pemerintah AS menyuntikkan US$ 8,5 miliar untuk mendorong bisnis cip Intel. 

Salah satu aksi yang terhalang dan menjadi bahan pembicaraan di masa kampanye pemilu AS adalah tawaran Nippon Steel senilai US$ 15 miliar untuk membeli US Steel. "Perusahaan ini ingin melakukan transaksi besar dan kreatif, tetapi baru akan melakukannya dalam beberapa bulan ke depan saat risikonya rendah," kata Jay Hofmann, Kepala M&A JPMorgan. Para bankir berharap, perlambatan M&A di kuartal keempat bersifat sementara dan bisa pulih lagi di 2025.

Frank Aquila, mitra M&A Sullivan & Cromwell menambahkan, laba perusahaan AS tumbuh lebih kuat dibanding perusahaan Eropa, sehingga lebih menarik bagi pembeli non-AS. Suku bunga kredit juga turun, yang menjadi pertanda baik bagi pendanaan dari private equity.

"Kami melihat private equity kembali melirik perusahaan besar dari saat ini fokus di tipe kapitalisasi kecil menengah," terang Dietrich Becker, Presiden Perella Weinberg Partners.

Baca Juga: Belum Ada Calon Pesaing Baru BSI, OJK Bilang Begini

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

IHSG Masih Rentan Terbakar, Berikut Rekomendasi Saham Hari Ini, Kamis (10/4)
| Kamis, 10 April 2025 | 05:39 WIB

IHSG Masih Rentan Terbakar, Berikut Rekomendasi Saham Hari Ini, Kamis (10/4)

Investor asing kembali melakukan aksi jual bersli alias net sell jumbo sebesar Rp 1,1 triliun di seluruh pasar. 

Sinyal Pasar dan Menjaga Kepercayaan
| Kamis, 10 April 2025 | 05:35 WIB

Sinyal Pasar dan Menjaga Kepercayaan

Pemerintah harus dapat memberikan prioritas terhadap regulasi yang langsung menyasar permasalahan sedang menghadang masyarakat dan dunia usaha.

Sinyal Pasar dan Menjaga Kepercayaan
| Kamis, 10 April 2025 | 05:35 WIB

Sinyal Pasar dan Menjaga Kepercayaan

Pemerintah harus dapat memberikan prioritas terhadap regulasi yang langsung menyasar permasalahan sedang menghadang masyarakat dan dunia usaha.

Rupiah Rapuh, Beban Premi Resuransi Semakin Berat
| Kamis, 10 April 2025 | 05:20 WIB

Rupiah Rapuh, Beban Premi Resuransi Semakin Berat

Dengan rupiah yang semakin loyo, beban premi reasuransi yang ditanggung perusahaan asuransi umum ikut terkerek.

Rupiah Rapuh, Beban Premi Resuransi Semakin Berat
| Kamis, 10 April 2025 | 05:20 WIB

Rupiah Rapuh, Beban Premi Resuransi Semakin Berat

Dengan rupiah yang semakin loyo, beban premi reasuransi yang ditanggung perusahaan asuransi umum ikut terkerek.

PT Timah (TINS) Intip Perubahan Pasar Timah
| Kamis, 10 April 2025 | 04:25 WIB

PT Timah (TINS) Intip Perubahan Pasar Timah

TINS menargetkan pertumbuhan volume prduksi sebesar 15% pada tahun ini yakni 20.000-22.000 meterik ton.

PT Timah (TINS) Intip Perubahan Pasar Timah
| Kamis, 10 April 2025 | 04:25 WIB

PT Timah (TINS) Intip Perubahan Pasar Timah

TINS menargetkan pertumbuhan volume prduksi sebesar 15% pada tahun ini yakni 20.000-22.000 meterik ton.

Meski Surplus di Neraca Dagang Indonesia Defisit Neraca Jasa, Terbesar dengan AS
| Rabu, 09 April 2025 | 21:48 WIB

Meski Surplus di Neraca Dagang Indonesia Defisit Neraca Jasa, Terbesar dengan AS

Indonesia mengalami defisit neraca jasa US$ 18,66 miliar dan defisit pendapatan primer US$ 36,09 miliar pada 2024.

Masih Naik Daun, Emas Beri Potensi Keuntungan Hampir 70% Selama Lima Tahun Terakhir
| Rabu, 09 April 2025 | 13:04 WIB

Masih Naik Daun, Emas Beri Potensi Keuntungan Hampir 70% Selama Lima Tahun Terakhir

Membeli emas dalam kondsii seperti sekarang belum tentu menjadi keputusan terbaik yang bisa diambil investor.

Inflasi Tahun Ini Diramal Bisa Mencapai 2,33% dari Tahun Lalu yang Cuma 1,57%
| Rabu, 09 April 2025 | 12:06 WIB

Inflasi Tahun Ini Diramal Bisa Mencapai 2,33% dari Tahun Lalu yang Cuma 1,57%

Efek dasar yang rendah di tahun lalu dan potensi pelemahan nilai tukar rupiah menjadi faktor pendorong kenaikan laju inflasi tahun ini.

INDEKS BERITA

Terpopuler