Merugi Pasca Sajikan Kembali Laporan Keuangan, Ini Strategi Garuda (GIAA) Biar Untung
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menyajikan kembali (restatement) laporan keuangan 2018 dan laporan keuangan kuartal I-2019.
Langkah Garuda Indonesia (GIAA) ini merupakan respons atas keputusan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam laporan keuangan terbaru, Garuda Indonesia (GIAA) menderita kerugian bersih 2018 senilai US$ 175,02 juta atau Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS).
Sebelum restatement, Garuda Indonesia (GIAA) meraih laba US$ 5,01 juta.
Bukan hanya itu, pendapatan lain-lain Garuda terkoreksi 86% menjadi US$ 38,8 juta. Sebelumnya, Garuda Indonesia meraup pendapatan lain-lain senilai US$ 278,8 juta.
Pos pendapatan lain-lain menukik setelah BPK meminta Garuda membatalkan kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi. Anak usaha Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, telah menulis surat kepada Mahata terkait pembatalan kontrak penyedia layanan Wi-Fi.
Sebelumnya, dua komisaris Garuda Indonesia menolak laporan keuangan tahun 2018 karena menilai perjanjian kerjasama Garuda Indonesia dengan Mahata berpotensi mendatangkan kerugian US$ 244,95 juta.
Di sisi lain, Kemkeu dan OJK menemukan pelanggaran dalam laporan keuangan 2018. Alhasil, Garuda Indonesia didenda Rp 1,25 miliar.
Baca Juga: OJK Jatuhkan Sanksi ke Garuda Indonesia (GIAA), Kepercayaan Investor Ikut Jatuh
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia Tbk Fuad Rizal memastikan, dengan mengabaikan transaksi Mahata, manajemen tetap yakin kinerja operasional Garuda Indonesia yang positif di kuartal I 2019 terus berlanjut hingga akhir tahun nanti.
"Strateginya melalui efisiensi komponen biaya sewa pesawat dan menurunkan utilitas pesawat agar konsumsi avtur turun," kata dia, kemarin.
Garuda Indonesia menerapkan efisiensi komponen biaya pesawat melalui strategi perpanjangan masa sewa yang jatuh tempo tahun ini.
Baca Juga: Disanksi oleh OJK dan Kemkeu, ini tanggapan dari Garuda Indonesia (GIAA)
Kini, ada 10–15 pesawat yang masa sewanya diperpanjang sehingga bisa berdampak pada komposisi liabilitas.
Memang, Garuda sedang berupaya memperbesar komposisi liabilitas jangka panjang. "Satu pesawat yang diperpanjang masa sewanya bisa menekan biaya sekitar 25%–30%," jelas Fuad.
Agar kinerja keuangan biru, manajemen Garuda juga menerapkan strategi menekan konsumsi avtur.
Sejak Januari 2019, harga avtur naik hingga 20%. Namun di kuartal I-2019, konsumsi avtur menurun 5% ketimbang periode yang sama tahun lalu.
"Hal itu karena kami mengoptimalkan produksi, tidak menggenjot utilitas," jelas dia.
Sejalan dengan itu, Garuda Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif di kuartal I-2019 dengan meraih laba bersih US$ 19,73 juta.
Di kuartal I-2018, Garuda masih rugi US$ 64,27 juta. "Kami optimistis tren kinerja ke depan terus tumbuh positif," Fuad berharap.
Baca Juga: Garuda Indonesia Kena Denda Otoritas Australia
Kinerja positif Garuda Indonesia di kuartal I-2019 ditopang lini pendapatan layanan penerbangan berjadwal senilai US$ 924,93 juta.
Jumlah itu tumbuh 11,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 828.49 juta.
Garuda juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan usaha lainnya sebesar 27,5% menjadi US$171,8 juta. Dus, GIAA optimistis bisa membukukan laba bersih US$ 70 juta pada tahun 2019.
Analis Mirae Asset Sekuritas Lee Young Jun memproyeksikan fundamental GIAA pada tahun ini positif.
Segmen Garuda Indonesia tidak banyak terpengaruh isu kenaikan harga tiket," sebut dia.
Untuk kuartal II-2019, kinerja Garuda Indonesia tidak akan lebih baik ketimbang kuartal I-2019.
Meski begitu, Lee menilai, Garuda Indonesia mampu menekan konsumsi avtur.
"Di kuartal III 2019 ada katalis peningkatan kuota haji, sedangkan pada kuartal IV bakal ada musim liburan Natal dan Tahun Baru, ungkap dia.
Baca Juga: Asik, Beli Paket Umrah Bisa Lewat Tokopedia dan Traveloka