KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah nampaknya belum juga belajar dari pengalaman pembuatan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Proses yang dianggap tak melibatkan publik, jika tak mau disebut tak transparan melahirkan banyak masalah.
UU Cipta Kerja tak bisa jalan lantaran jatuh vonis Mahkamah Konstitusi bahwa UU Cipta Kerja cacat formal dan cacat prosedur. Alih-alih memperbaiki, pemerintah ambil jalan pintas dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja yang juga masih disoal.
Kini, pemerintah juga bergegas melahirkan UU sapu jagad atau omnibus law di bidang Kesehatan. Mirip dengan UU Cipta Kerja, proses pembuatan RUU Kesehatan ini juga dinilai miskin pelibatan organisasi profesi dan masyarakat. Bahkan, nyaris tak membuka ruang diskusi publik padahal beleid ini sudah siap diundangkan dalam waktu dekat.
Tak pelak, protes menguar datang. Dari organisasi profesi seperti dokter, apoteker, hingga bidan menolak RUU ini lantaran tak melibatkan mereka. RUU ini juga disebut melibas UU profesi kesehatan.
Menjadi inisiatif DPR di rapat paripurna kemarin (14/2), RUU ini juga mendapat penolakan dari Fraksi PKS yang menilai banyak pasal RUU ini mengancam sistem kesehatan. RUU ini dinilai menciptakan kekosongan aturan. Utamanya soal tanggung jawab negara dalam menjamin kesehatan warga miskin.
Yang juga berpotensi menimbulkan syak wasangka adalah perubahan aturan terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). RUU ini mengerdilkan posisi BPJS dari bertanggung jawab langsung ke Presiden menjadi lewat Kementerian Kesehatan (Kemkes) untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ke Kementerian Tenaga Kerja.
Perubahan ini berpotensi ada intervensi kewenangan, termasuk soal penggunaan dana iuran peserta. Sebab, ada kewenangan Kemkes dan Kemnaker menugaskan pekerjaan lain di luar tanggung jawab BPJS dalam pengelolaan jaminan sosial.
BPJS adalah pengelola dana iuran masyarakat di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Sumber pendanaan dari iuran peserta. Benar, ada sebagian dana dari negara untuk penerima bantuan, tapi bentuknya tetap iuran peserta yang menjadi tanggungjawab negara.
RUU Kesehatan yang menyapu kendala di sektor kesehatan sebaiknya memprioritaskan layanan kesehatan berkualitas serta membuka akses kesehatan untuk masyarakat. Omnibus juga harus mampu menjamin tak ada kekosongan hukum dan kontradiksi aturan di bidang kesehatan. Ini yang utama.