Palagan Baru AS-China

Kamis, 16 Oktober 2025 | 06:10 WIB
Palagan Baru AS-China
[ILUSTRASI. TAJUK - Syamsul Ashar]
Syamsul Ashar | Managing Editor

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, kali ini bergerak dari tarif impor menuju sanksi korporasi, pelabuhan, hingga kontrol bahan baku strategis. Kedua negara tampak membuka palagan baru di jalur laut dan rantai pasok global, yang kini menjadi arena tarik-menarik kekuatan ekonomi.

Langkah China menjatuhkan sanksi terhadap lima konglomerasi Korea Selatan yang punya hubungan bisnis dengan Amerika—menandai strategi Beijing memperluas tekanan ke mitra sekutu Washington. China juga membalas kebijakan tarif pelabuhan AS dengan mengenakan biaya setara 400 yuan per ton bagi kapal milik atau dioperasikan entitas AS. Laut menjadi simbol perang ekonomi baru. Kebijakan saling balas tarif antara dua ekonomi terbesar dunia langsung mengguncang sentimen global. Indeks saham utama di Wall Street dan Asia sempat berfluktuasi tajam seiring kekhawatiran investor terhadap disrupsi rantai pasok dan lonjakan harga bahan baku industri.

IMF memang masih menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 3,2%, namun lembaga itu memperingatkan bahwa jika eskalasi perang dagang berlanjut, pertumbuhan dunia dapat terkoreksi hingga 1,8 poin persen. Artinya, efek domino ke pasar finansial bukan lagi ancaman retorik.

Investor kini memutar strategi: beralih ke aset aman seperti emas, dolar AS, dan obligasi pemerintah Jepang. Lonjakan harga komoditas kritis seperti nikel, litium dan terutama rare earth mulai terlihat sejak China mengumumkan pembatasan ekspor logam tanah jarang yang digunakan dalam chip, kendaraan listrik, dan senjata canggih.

China secara terbuka menjadikan kontrol atas rare earth sebagai alat tawar geopolitik. Mulai 1 Desember 2025 ekspor bahan mentah dan produk turunan logam tanah jarang akan dibatasi secara ketat. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap ancaman tarif 100% dari pemerintahan Trump terhadap seluruh impor dari China. Bagi Beijing, ini bukan sekadar pembalasan. Langkah itu merupakan pesan strategis: dunia masih sangat bergantung pada pasokan bahan baku teknologi dari China. Bagi Washington, ancaman ini menuntut diversifikasi cepat -- entah melalui aliansi baru di Asia Tenggara, Amerika Latin, atau investasi besar-besaran di sektor tambang domestik.

Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan situasi ini. Banyak korporasi global kini mencari lokasi produksi alternatif di luar China untuk menghindari risiko tarif tinggi. Jika Indonesia mampu mempercepat reformasi industri, penyederhanaan izin, dan insentif investasi hijau, maka negeri ini bisa menjadi destinasi manufaktur pengganti bagi produk elektronik, tekstil dan otomotif.

Selanjutnya: Bunga Deposito Turun, Biaya Dana Akan Susut

Bagikan
Topik Terkait

Berita Terbaru

Marketing Sales CTRA Melemah di Kuartal III, tapi Masih Ada Harapan di Ujung Tahun
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 08:42 WIB

Marketing Sales CTRA Melemah di Kuartal III, tapi Masih Ada Harapan di Ujung Tahun

Efek penurunan suku bunga BI belum terasa ke kredit KPR karena laju pemangkasan bunga kredit bank yang lebih lambat.​

Menang Lelang BWA, Hashim dan Sinar Mas Siap Masuk ke Bisnis Internet Murah
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 08:40 WIB

Menang Lelang BWA, Hashim dan Sinar Mas Siap Masuk ke Bisnis Internet Murah

Potensi perang harga sangat terbuka. Spektrum baru ini bakal menambah kompetisi di fixed broadband, terutama dengan TLKM yang masih dominan.

Harga Saham BBCA Anjlok Terus Hingga Sentuh Level Terendah Tiga Tahun, the Next UNVR?
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 08:27 WIB

Harga Saham BBCA Anjlok Terus Hingga Sentuh Level Terendah Tiga Tahun, the Next UNVR?

Jika level psikologis di 7.000 jebol, maka ada risiko harga saham BBCA bakal turun ke Rp 6.000 per saham.

Perpres Pembangkit Sampah Terbit, Ini Poin Penting & Efeknya ke OASA, TOBA, BIPI
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:54 WIB

Perpres Pembangkit Sampah Terbit, Ini Poin Penting & Efeknya ke OASA, TOBA, BIPI

Pengusaha mendapatkan kepastian penerbitan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) lebih cepat dan harga listrik yang dipatok di US$ 20 cent per KWh.

Baru Empat Izin Tambang yang Dibuka Kembali
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:48 WIB

Baru Empat Izin Tambang yang Dibuka Kembali

Sebanyak 44 perusahaan pertambangan yang mengajukan pengembalian izin telah membayar jaminan reklamasi tambang.

Data Migas Kemenkeu dan ESDM Berbeda
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:43 WIB

Data Migas Kemenkeu dan ESDM Berbeda

Perbedaan bisa muncul karena data di level pimpinan SKK Migas memasukkan produksi LPG yang dikonversi ke setara minyak.

Negosiasi Buntu, Skema Baru Beli BBM Digodok
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:40 WIB

Negosiasi Buntu, Skema Baru Beli BBM Digodok

Kementerian ESDM menjanjikan skema baru pembelian BBM swasta bisa disepakati pekan ini, sehingga bisa mengatasi kelangkaan pasokan

Kinerja Industri Susu Nasional Tertekan Daya Beli
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:35 WIB

Kinerja Industri Susu Nasional Tertekan Daya Beli

Hingga kuartal III-2025 hampir seluruh pelaku industri mencatat penurunan penjualan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Bes Trust Lepas Saham CBRE, Porsi Kepemilikan Andry Hakim Bertambah
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:33 WIB

Bes Trust Lepas Saham CBRE, Porsi Kepemilikan Andry Hakim Bertambah

Salah satu pemegang saham perusahaan, Andry Hakim, resmi menambah kepemilikan saham di CBRE sebanyak 109,9 juta saham atau setara 2,43%.

Denyut Ekonomi Cikande Terpapar
| Kamis, 16 Oktober 2025 | 07:31 WIB

Denyut Ekonomi Cikande Terpapar

Aktivitas ekonomi di Kawasan Industri Modern Cikande turut terganggu dengan mencuatnya isu cemaran radioaktif Cesium-137

INDEKS BERITA

Terpopuler