Berita Bisnis

Panen Untung dari Urban Farming

Jumat, 12 April 2019 | 18:14 WIB
Panen Untung dari Urban Farming

Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Berkebun sayur tak melulu harus di pedesaan yang memiliki hamparan lahan yang luas. Di perkotaan yang padat penduduk macam Jakarta pun, orang bisa mengembangkan usaha kebun sayur mayur.

Penduduk yang banyak sebagai pasar yang siap digarap, ditambah lokasinya yang dekat dengan pasar membuat ongkos transportasi bisa lebih irit dibanding usaha bertani sayur di pedesaan. Ini sejumlah keunggulan berkebun sayur di perkotaan alias urban farming. Tapi, bagaimana dengan lahannya?

Meski sudah padat, namun di wilayah perkotaan seperti Jakarta tetap terdapat lahan-lahan kosong dan telantar. Nah, pertanian yang memanfaatkan lahan kosong di wilayah perkotaan inilah yang dikenal sebagai urban farming.

Biasanya, lahan kosong ditanami sayur mayur, buah-buahan, atau tanaman obat-obatan. Lahan-lahan ini tersebar di sepanjang tepi sungai, rel kereta api, atau di bawah jembatan. Tak hanya itu, lahan kosong dan terlantar di sekitar perumahan pun dapat dimanfaatkan untuk usaha urban farming.

Nah, kini urban farming ini kian gencar dilakukan. Maklum, selain bisa memanfaatkan lahan terlantar, usaha ini juga bisa mendatangkan keuntungan yang terbilang lumayan.

Salah satu yang jeli melihat peluang urban farming adalah Achmad Marendes. Dengan bendera usaha Okrafarmers, dia memanfaatkan lahan terlantar di sekitar perumahan Jati Rahayu, Pondok Gede, Jakarta Timur. Dari bercocok tanam sayuran di lahan yang dulu telantar, kini Achmad mengantongi omzet Rp 10 juta per bulan dengan margin sekitar 10%.

Omzet lebih besar diperoleh Yudi Supriyono, pelaku urban farming yang mengusung bendera Villa Tajur Farm. Yudi mengaku, dalam sehari dia bisa meraup omzet Rp 1,2 juta atau Rp 36 juta per bulan.

Achmad dan Yudi memanfaatkan lahan terlantar yang ada di sekitar perumahan tempat tinggalnya agar produktif. Achmad mengolah lahan milik saudaranya yang sudah lebih dari 20 tahun terlantar begitu saja. Dia pun meminta izin, dan mulai Juni 2018, dia pun mengolah lahan terlantar tersebut menjadi kebun sayur mayur.

Achmad punya pertimbangan matang sebelum menekuni usaha ini. Pertama, dia yakin bisnis kebun sayur di perkotaan memiliki prospek yang cerah seiring meningkatnya kesadaran masyarakat di perkotaan untuk hidup sehat. Lelaki ini memilih bertanam sayur mayur lantaran permintaannya lebih tihggi dibanding jenis tanaman lainnya.

Kedua, usaha budidaya tanaman sayur di lahan terlantar tidak memerlukan izin usaha dari pemerintah daerah setempat. Selama ini, untuk memanfaatkan lahan terlantar menjadi lahan tanaman sayur, ia hanya meminta izin ke pengurus lingkungan seperti rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW).

Berbeda dengan Yudi yang memanfaatkan lahan terlantar milik fasilitas umum (fasum) yang terdapat di kawasan perumahannya. Untuk menjalankan usahanya, Yudi hanya meminta izin dari RT/RW. Daripada lahan itu tidak produktif dan hanya dijadikan tempat pembuangan sampah, lebih baik saya manfaatkan untuk lahan budidaya tanaman sayur, kata dia.

Menanam superfood

Saat ini, Achmad membudidayakan beberapa jenis tanaman sayur. Di antaranya, bayam hijau, bayam merah, kangkung, dan kale. Ia membudidayakan tanaman sayur di lahan terlantar seluas 300 meter persegi. Di lahan tersebut ada 16 petak lahan sebagai media tanam sayur mayur. Dalam satu petak, ada sekitar 30-50 tanaman sayur.

Achmad mengklaim, tanaman sayur yang paling laris adalah borecole atau lazim disebut kale. Dalam sebulan, ada sekitar 300 pelanggan yang membeli kale. Sayur kale diminati pelanggan karena dianggap sebagai superfood, papar Achmad. Sayur dengan daun berwarna hijau atau ungu kebiruan ini menyandang gelar sebagai superfood karena kalsium dan protein nya lebih tinggi dibanding bayam.

Karena peminatnya paling banyak, kini Achmad fokus menanam kale. Sekitar 95% tanaman sayur yang saya budidayakan adalah kale, ujar ayah dua anak ini.

Sementara Yudi yang bertani sayur sejak Juni 2016 mengusung sistem hidroponik di lahan seluas 1.000 meter persegi. Dia menanam bayam, kangkung, sawi, kailan dan salada. Tanaman sayur itu dibudidayakan di empat titik lahan fasum yang terlantar dengan total pupulasi 24.000 pohon sayur.

Villa Tajur Farm milik Yudi memanen sayur hidroponik itu jika tinggi tanaman sudah mencapai 40 centimer (cm)- 45 cm dengan umur 17 hari-30 hari.

Setelah dipanen, ia menjual aneka sayur itu dengan harga rata-rata sekitar Rp 5.000 per pak (250 gram). Dibantu oleh tujuh orang karyawan, saat ini Yudi bisa memanen sayur hidroponik sekitar 62,5 kg per hari atau sekitar 1,87 ton per bulan.

Sementara Okrafarmers milik Achmad kini bisa memanen tanaman kale empat kali dalam sebulan. Sekali panen, kapasitasnya bisa 10-20 kilogram (kg). Dalam kegiatannya, Achmad dibantu oleh tiga orang karyawan. Dalam sebulan, total hasil panen kale bisa mencapai 65 kg. Sedangkan panen tanaman lain tidak banyak, bebernya.

Achmad menjual sayur hasil panennya dengan harga variatif. Contohnya kangkung dan bayam dijual dengan harga berkisar Rp 3.000 per ikat. Sementara tanaman kale bisa berkisar Rp 90.000-Rp 120.000 per kg.

Lalu, ke mana hasil panen itu dijual? Sebagian besar pelanggan Achmad saat ini adalah kalangan individu dan pebisnis kuliner seperti restoran serta kafe di kawasan Jabodetabek. Untuk bisa menjaring pelanggan, ada sejumlah strategi yang dijalankan Achmad.

Di antaranya, Achmad kerap melakukan farm branding di kanal digital milik Okrafarmer seperti website yang selalu di-update. Dia juga aktif berjualan di media sosial seperti Facebook, Instagram, serta Twitter sebagai wadah interaksi dengan pelanggan.

Yudi lain lagi. Selain menjual hasil panen sayur hidroponiknya kepada warga di lingkungan perumahan, dia juga memasarkannya ke sejumlah pebisnis kuliner dan supermarket.

Yudi bisa menjual sayur mayurnya ke pelanggan industri melalui jalur pemasaran yang dimiliki oleh PT Parung Farm, perusahaan agrobisnis di Parung, Jawa Barat. Kebetulan, di entitas bisnis itu, Yudi menjabat sebagai Direktur Utama.

Jadi, sekitar 40% panen kebun sayurannya dipasarkan di sekitar perumahan Villa Tajur, dan sisanya dipasok ke Parung Farm. Nah, di perusahaan itu, sayur mayur dari kebun Villa Tajur Farm milik Yudi dikemas dengan brand Parung Farm.

Waspada serangan hama

Tertarik mengikuti jejak Achmad dan Yudi berbisnis urban farming? Soal besaran modal, sangat tergantung pada luas lahan, jenis sayuran dan metode bertani yang akan dilakukan. Sebagai gambaran, Achmad memulai urban farming-nya tahun lalu dengan modal Rp 8 juta. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 4 juta dipakai untuk pembersihan lahan, Rp 3 juta untuk peralatan dan Rp 1 juta benih.

Selain lahan dan modal usaha, ada beberapa hal yang perlu diantisipasi sebelum memulai usaha ini. Yang paling utama adalah kendala bisnis berupa gagal panen.

Sama seperti usaha agribisnis lainnya, membudidayakan tanaman tanaman sayur juga rentan terserang hama. Jika hama sudah menyerang, Anda bisa sama sekali tidak menikmati hasil panen. Saya pernah mengalami gagal panen tahun lalu karena tanaman diserang hama. Daun tanaman berwarna kuning, ada jamur dan ulat. Ada juga hama berupa leaf miner, yaitu daun berwarna putih, kata Achmad.

Untuk mengatasi hama, Achmad meracik obat pestisida nabati yang terbuat dari rendaman daun sambiloto, bawang putih, dan bawang merah.

Kendala lainnya yang dialami Achmad adalah soal benih tanaman kale yang masih diimpor. Kalau pun ada benih kale di pasaran dalam negeri, pemasoknya sedikit.

Faktor lain yang harus dipastikan di awal adalah ketersediaan air yang cukup, untuk memelihara kehidupan tanaman.

Satu lagi, yang namanya tanaman perlu dirawat dengan sabar dan telaten. Dengan begitu, tanaman subur, panen melimpah dan fulus pun mengalir.

Terbaru