Pembagian Biaya Korona Mulai Memacu Kontroversi

Senin, 06 Juli 2020 | 00:18 WIB
Pembagian Biaya Korona Mulai Memacu Kontroversi
[ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappena Suharso Monoarfa (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) menyampaikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parleme]
Reporter: Venny Suryanto, Bidara Pink | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk gotong royong mendanai biaya krisis mulai menuai pro dan kontra. Bahkan, investor asing merespon negatif rencana pembagian beban ini.

Efeknya, rupiah pada pekan lalu sempat mengalami tekanan menjadi Rp 14.566.  Beberapa faktonya, "Kabar tentang second wave Covid-19, kemudian isu beredar dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait burden sharing," tandas Deputi Gubernur BI Dody  Budi Waluyo, di webinar bersama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Jumat (3/7).

Burden sharing dilakukan demi memenuhi  kebutuhan pembiayaan utang  pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. 

Tahun ini, dana yang dibutuhkan Rp 903,46 triliun. Jumlah itu terbagi dua, yakni pembiayaan atau  public goods sebesar Rp 397,6 triliun dan non-public goods Rp 505,86 triliun.

Efeknya, pemerintah harus menambah anggaran membayar bunga utang hingga Rp 66,5 triliun per tahun. Ini dengan asumsi bunga 7,36% dari tertimbang yield surat utang negara (SUN) 10 tahun periode Januari-Juni 2020. Sesuai skema burden sharing, BI akan menanggung Rp 35,9 triliun, atau 53,9% dari dari total beban bunga utang.

Rencana ini membuat pasar keuangan gamang. Investor khawatir keterlibatan BI terlampau jauh membiayai anggaran pemerintah berisiko mengikis independensi BI.

Apalagi, saat bersamaan, revisi Undang-Undang BI juga masuk Program Legislasi Nasional di tahun 2020 ini. DPR tiba-tiba memasukkan revisi  UU BI sebagai prioritas.  

SELANJUTNYA>>>

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menduga langkah BI dengan memonetisasi utang pemerintah maupun rencana burden sharing memunculkan keraguan investor asing. 

"Ini artinya, BI tunduk di bawah tekanan eksekutif. Situasi ini akan menggerus kepercayaan pasar dalam jangka panjang, apalagi ketika situasi krisis memburuk, lalu ruang pembiayaan BI tergerus untuk monetisasi utang pemerintah di 2020," kata Bhima. 

Ia berharap, BI kembali ke fitrahnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan laju inflasi.

Ekonom BCA David Sumual tak sependapat. Ia melihat, langkah monetisasi utang oleh bank sentral wajar dilakukan saat kondisi extraordinary. Wabah Covid-19 telah meluluhlantakkan perekonomian. 

Tak hanya ekonomi dalam negeri, "Saya yakin tak ada satu negara pun yang sanggup mengejar penerimaan negara. Ini upaya kita dalam mengendalikan krisis," kata David.

Setali tiga uang, Josua Pardede, ekonom Bank Permata menilai jika berlebihan jika investor asing menilai BI terlalu jauh dalam pembiayaan APBN.  "Sebagian besar bank sentral di berbagai negara juga berkontribusi dalam pembiayaan defisit fiskal karena Covid-19," kata Josua.

Fikri C Permana, Ekonom Pefindo melihat, BI membeli obligasi negara di pasar perdana demi menjaga likuiditas serta yield yang ada di level lebih rendah. Ia melihat, kebijakan BI saat ini sangat adaptif dalam kondisi saat ini. Ia berharap BI konsisten dengan kebijakan yang diambil sehingga rupiah stabil. 

Bagikan

Berita Terbaru

Disebut-Sebut Jadi Unicorn Baru, Kapan Vidio IPO?
| Selasa, 03 Juni 2025 | 11:38 WIB

Disebut-Sebut Jadi Unicorn Baru, Kapan Vidio IPO?

Platform over the top Vidio dikabarkan telah memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar setelah mendapat pendanaan terbaru dari Grup Sinar Mas.

Profit 33,63% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Terbang (3 Juni 2025)
| Selasa, 03 Juni 2025 | 08:43 WIB

Profit 33,63% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Terbang (3 Juni 2025)

Harga emas Antam hari ini (3 Juni 2025) Rp 1.940.000 per gram. Di atas kertas pembeli setahun lalu bisa untung 33,63% jika menjual hari ini.

Valuasi Harga Saham MEDC Dianggap Menarik, tapi Prospeknya Belum Tentu Ciamik
| Selasa, 03 Juni 2025 | 08:14 WIB

Valuasi Harga Saham MEDC Dianggap Menarik, tapi Prospeknya Belum Tentu Ciamik

Meski harga minyak tengah tertekan, PT Medco Energi International Tbk tetap menggeber eksplorasi blok migas. 

Profit Taking di Saham Properti Diprediksi Mereda, BSDE, PWON dan CTRA bisa Dicermati
| Selasa, 03 Juni 2025 | 07:51 WIB

Profit Taking di Saham Properti Diprediksi Mereda, BSDE, PWON dan CTRA bisa Dicermati

Emiten properti dengan portofolio retail yang kuat menjadi opsi yang paling sehat di tengah risiko melemahnya prapenjualan.

Jumlah Pipeline IPO Menyusut
| Selasa, 03 Juni 2025 | 07:31 WIB

Jumlah Pipeline IPO Menyusut

Di daftar antrean, hanya ada 21 calon emiten yang berencana IPO dengan perkiraan dana sebesar Rp 3,99 triliun.

Kinerja Emiten Telekomunikasi Lesu Akibat Turunnya ARPU
| Selasa, 03 Juni 2025 | 07:29 WIB

Kinerja Emiten Telekomunikasi Lesu Akibat Turunnya ARPU

Tekanan emiten telekomunikasi berasal dari penurunan pendapatan rata-rata per pengguna alias average revenue per user (ARPU).

Fundamental Masih Solid, Simak Prospek dan Rekomendasi Saham ELSA
| Selasa, 03 Juni 2025 | 07:26 WIB

Fundamental Masih Solid, Simak Prospek dan Rekomendasi Saham ELSA

Selain faktor fundamental, emiten jasa penunjang migas ini juga menawarkan dividen yang lebih menarik dibanding emiten energi lainnya.

Kemkeu Cairkan Gaji Ke-13 Rp 20,71 Triliun Bagi ASN
| Selasa, 03 Juni 2025 | 06:52 WIB

Kemkeu Cairkan Gaji Ke-13 Rp 20,71 Triliun Bagi ASN

Gaji ke-13 yang telah dibayarkan kepada aparatur negara di pemerintah pusat nilainya mencapai Rp 10,27 triliun.

Waspada Ancaman Deflasi Berkepanjangan
| Selasa, 03 Juni 2025 | 06:47 WIB

Waspada Ancaman Deflasi Berkepanjangan

Indeks harga konsumen (IHK) periode Mei 2025 mencatatkan deflasi sebesar 0,37% secara bulanan atau month to month (mtm)

Neraca Dagang Berisiko Defisit
| Selasa, 03 Juni 2025 | 06:38 WIB

Neraca Dagang Berisiko Defisit

Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca dagang April hanya US$ 160 juta

INDEKS BERITA

Terpopuler