Pemenang Pilpres 2004 dan 2019, Hadapi Persoalan yang Serupa

Senin, 01 Juli 2019 | 06:00 WIB
Pemenang Pilpres 2004 dan 2019, Hadapi Persoalan yang Serupa
[]
Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono triatmojo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepastian tentang siapa yang memimpin negeri ini selama lima tahun mendatang akhirnya muncul. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (30/6) menetapkan calon pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) nomor 1, Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Penetapan presiden dan wapres terpilih ini berselang lebih dari sebulan sejak KPU mengumumkan hasil perhitungan suara pemilihan presiden.

Seperti telah kita ketahui, hasil perhitungan suara KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf dengan perolehan 55,5 % suara, digugat oleh paslon nomor 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pasangan yang mengantongi 44,5% suara itu mengajukan sengketa hasil perhitungan suara ke Mahkamah Konstitusi. Namun MK, pada Kamis pekan lalu, menolak gugatan dari kubu Prabowo-Sandiaga. Penolakan ini otomatis mengesahkan hasil perhitungan suara KPU.

Usai dari penetapannya sebagai presiden terpilih, Jokowi menyatakan akan segera bekerja menyiapkan pemerintahannya. Ya, pernyataan itu sesungguhnya tidak keliru. Maklumlah, tugas yang mengadang pemerintahan baru, khususnya di bidang ekonomi, sangatlah tidak mudah.

Ada banyak tugas yang harus segera dibereskan pemerintahan mendatang, seperti mengungkit kembali pertumbuhan dari kisaran 5%. Ini sungguh tugas yang tidak ringan mengingat perekonomian dunia sedang lesu-lesunya akibat konflik dagang di antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat dan China.

Pemerintahan yang baru juga perlu melanjutkan upaya memperbaiki struktur ekonomi negeri ini. Reformasi struktural ini penting jika pemerintahan Jokowi-Maruf ingin memperbaiki ekspor berikut penanaman modal di negeri ini.

Untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang tugas yang akan dihadapi pemerintahan di periode 2019-2024, Kontan menampilkan artikel tentang pemerintahan baru dan tugas ekonomi yang menantinya. Selain menguraikan tentang permasalahan yang dihadapi pemerintahan yang akan bertugas mulai Oktober nanti, kami juga menyajikan agenda ekonomi yang dihadapi oleh tiga pemerintahan terdahulu.

Tulisan keempat dari seri Tantangan Presiden Terpilih ini membahas tentang agenda ekonomi yang dihadapi oleh pemerintahan era 2004-2009.

 

Pemenang pemilihan presiden (Pilpres) Pemilu tahun 2019, masih akan menghadapi persoalan yang sama dengan era kepemimpinan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang memenangkan Pilpres tahun 2004. Persoalan itu berkutat pada struktur ekonomi yang lemah dan industri keuangan yang inefisien lantaran suku bunga kredit yang tinggi.

Struktur ekonomi Indonesia yang lemah tersebut dikarenakan ketergantungan negeri ini pada hasil komoditas pertambangan dan perkebunan. Pemerintahan SBY-JK sebagai pemenang Pilpres 2004, dalam perjalanannya terlena oleh booming harga komoditas dan perkebunan yang mencapai puncaknya hingga tahun 2007-2008.

Berkembangnya industri pertambangan dan perkebunan kala itu, berbanding terbalik dengan pertumbuhan industri manufaktur. Dan hingga kini, kontribusi industri manufaktur bahkan hanya berkutat di level satu digit.

"Karena mengandalkan sektor tambang dan perkebunan, ekonomi kita menjadi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas," tutur Piter Abdullah Redjalam, Direktur Riset Center Of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Minggu (23/6).

Mantan senior ekonom di Bank Indonesia tersebut memang menyadari, tahun 2004 masih menjadi tahun yang berat bagi pemerintah Indonesia pasca krisis ekonomi 1997-1998. Duet SBY-JK sebagai hasil penyelenggaraan Pilpres secara langsung pertama, kala itu memiliki pekerjaan rumah yang kompleks, baik dalam bidang ekonomi dan politik.

Kondisi ekonomi 2004

Pasca krisis tahun 1997-1998, kondisi perekonomian Indonesia tahun 2004 memang mulai membaik. Bank Indonesia (BI) saat itu mencatat pertumbuhan ekonomi berada di level 5,1%, tertinggi sejak krisis.

Pertumbuhan tersebut didukung kondisi ekonomi dunia yang kondusif. Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini sebesar 5%, tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja perekonomian Amerika Serikat (AS), Jepang, dan China. Permintaan domestik yang tinggi di negara-negara tersebut, menyebabkan peningkatan volume perdagangan dunia sebesar 8,8% yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara lainnya.

Pada saat yang bersamaan, harga komoditas dunia juga ikut melambung karena peningkatan permintaan. Kondisi ini berimbas pada kenaikan inflasi global. Di Indonesia, inflasi tahun 2004 mencapai 6,4%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Guna meredam gejolak inflasi, otoritas moneter pada banyak negara mulai menaikkan suku bunga secara bertahap. Kenaikan suku bunga global, menyebabkan pembalikan dana asing jangka pendek di Indonesia. Alhasil, nilai tukar rupiah terjadi pada akhir triwulan II-2004. Secara rata-rata, nilai tukar rupiah mencapai Rp 8.940 per dollar AS, atau melemah 3,9% dari tahun 2003.

Indikator Makro Ekonomi
Rincian 2002 (%) 2003 (%) 2004 (%)
Pertumbuhan PDB 4,4 4,9 5,1
Inflasi 10,03 5,06 6,4
Nilai tukar rata-rata (Rp/dollar AS) 9.318 8.572 8.940
SBI 1 bulan 12,93 8,31 7,43
Transaksi berjalan/PDB 3,9 3,4 1,1
Tingkat pengangguran 9,2 9,5 9,4
Tingkat kemiskinan 18,2 17,4 16,7
PDB riil per kapita (US$) 761,8 861,4 857,9

 

Dari sisi penguatan nilai tukar, Bank Indonesia menyadari terdapat beberapa kelemahan struktural kala itu yang membutuhkan perbaikan. Salah satu kelemahan yang menurut Bank Indonesia sangat fundamental saat itu adalah struktur lalu lintas modal asing, yang lebih banyak bertopang pada modal asing jangka pendek. Modal asing jangka pendek ini sekaligus menjadi sumber pasokan terhadap permintaan valas dalam negeri.

Beruntung Indonesia masih mendapat dorongan positif dari kenaikan peringkat utang menjadi B+ pada akhir tahun 2003-2004. "Kepercayaan investor yang cukup tinggi disertai dengan naiknya peringkat utang, menjadi faktor utama tingginya laju PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto)," tutur Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Menurut catatan Bank Indonesia, peningkatan kegiatan investasi tahun 2004 khususnya terjadi pada sektor industri pengolahan, komunikasi, dan sektor pertambangan. Salah satu indikasinya adalah pemberian izin usaha tetap (IUT) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk penanaman modal asing (PMA) yang tumbuh 53,4% dari tahun 2003. Sedangkan penanaman modal dalam negeri (PMDN), pada saat yang sama tumbuh 75,6%.

Dari sektor industri pengolahan tersebut, sub sektor yang paling diminati oleh investor adalah industri kimia dan farmasi, makanan, serta industri kertas dan percetakan.

Meski demikian, Piter menegaskan era kepemimpinan SBY-JK periode 2004-2009, belum dapat membangun fundamental struktur ekonomi yang kuat. Anjloknya harga komoditas di tahun 2008, turut menyeret ekonomi Indonesia dalam tekanan. Piter memandang, pembangunan industri manufaktur, hingga kini pun masih menjadi pekerjaan rumah.

Pembangunan infrastruktur yang semakin digalakkan sejak periode 2014, lanjut Piter, menjadi prasyarat guna pembangunan industri manufaktur. 

Tren suku bunga

Era suku bunga kredit tinggi sejak krisis 1998, berangsur-angsur turun. Namun, penurunan tersebut tetap saja dirasa kurang memadai bagi dunia industri.

Suku bunga kredit modal kerja memang sempat menyusut dari level 19,19% di tahun 2001, menjadi 13,41% di tahun 2004. Namun, setelah itu suku bunga kembali merambat naik.

Suku Bunga Kredit Bank Umum (2001-2004)
Jenis Kredit 2001 2002 2003 2004
Kredit Modal Kerja 19,19 18,25 15,07 13,41
Kredit Investasi 17,90 17,82 15,68 14,04
Kredit Konsumsi 20,06 20,21 18,69 16,57

Tahun 2005, suku bunga kredit modal kerja kembali meningkat ke posisi 16,23%. Hingga akhir tahun 2018 lalu, suku bunga kredit modal kerja oleh bank umum sudah turun ke level 10,34%.

"Dalam setahun terakhir, bunga acuan telah naik hingga 125 bps. Pelaku usaha pada akhirnya menunda pencairan komitmen kredit modal kerja dan kredit investasi," imbuh Bhima.

Adapun ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih berpendapat, harus muncul kemauan dari bank-bank BUMN untuk menurunkan bunga kredit. "Pertanyaannya adalah, mau tidak dapat dividen rendah dari bank BUMN?" ujar Lana.

Tuntutan penurunan suku bunga kredit tentu menjadi harapan dunia industri. Apalagi jika membandingkan dengan suku bunga yang berlaku di negara tetangga, yang tergolong lebih rendah dari bunga perbankan di Tanah Air.

Bagikan

Berita Terbaru

Dana Pensiun Lokal Banyak Koleksi Saham Gocap
| Jumat, 24 Januari 2025 | 07:47 WIB

Dana Pensiun Lokal Banyak Koleksi Saham Gocap

Dari 20 besar saham berdasarkan volume terbanyak per akhir tahun 2024, lima diantaranya disuspensi dan masuk Papan Pemantauan Khusus.

Kemenhub Usul 24-27 Maret Diberlakukan WFA
| Jumat, 24 Januari 2025 | 07:37 WIB

Kemenhub Usul 24-27 Maret Diberlakukan WFA

Kemenhub akan mengusulkan dan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lain terkait usulan WFA.untuk antisipasi kemacetan

Laba Kian Menebal, Analis Kompak Rekomendasikan Beli Saham BBNI
| Jumat, 24 Januari 2025 | 07:34 WIB

Laba Kian Menebal, Analis Kompak Rekomendasikan Beli Saham BBNI

Insentif giro wajib minimum (GWM) dan regulasi devisa hasil ekspor (DHE) yang baru bakal menopang kinerja emiten bank, termasuk BBNI.

Bulog Usul Kenaikan Harga Pembelian Beras di Gudang
| Jumat, 24 Januari 2025 | 07:27 WIB

Bulog Usul Kenaikan Harga Pembelian Beras di Gudang

Pemerintah telah menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) senilai Rp 6.500 per kg, naik dari sebelumnya Rp 6.000 per kg.

Revisi UU BUMN Bahas Danantara
| Jumat, 24 Januari 2025 | 07:23 WIB

Revisi UU BUMN Bahas Danantara

Pemerintah yakin penyusunan RUU BUMN merupakan bagian penting dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan BUMN.

 Menangkal Pagar Laut  Tertancap di Wilayah Lain
| Jumat, 24 Januari 2025 | 07:19 WIB

Menangkal Pagar Laut Tertancap di Wilayah Lain

Pemerintah perlu mengantisipasi meluasnya fenomena pagar laut di sejumlah daerah untuk dijadikan reklamasi

Menjelang Long Weekend, Kurs Rupiah Berpotensi Melemah
| Jumat, 24 Januari 2025 | 06:59 WIB

Menjelang Long Weekend, Kurs Rupiah Berpotensi Melemah

Rupiah berpotensi melemah pada perdagangan Jumat (23/1). Rupiah tertekan pelemahan ekonomi kawasan Asia. 

Menjelang Long Weekend Cari Cuan Dulu, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini
| Jumat, 24 Januari 2025 | 06:43 WIB

Menjelang Long Weekend Cari Cuan Dulu, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini

Investor asing kemarin mencatatkan net buy atau beii bersih tipis Rp 18,01 miliar di seluruh pasar. 

Dua Emiten Milik Aguan, PANI dan CBDK Kompak ARB, Hati-hati Volatilitasnya Tinggi
| Jumat, 24 Januari 2025 | 06:41 WIB

Dua Emiten Milik Aguan, PANI dan CBDK Kompak ARB, Hati-hati Volatilitasnya Tinggi

Sentimen pagar laut di Tangerang menyeret turun harga saham emiten milik Sugianto Kusuma alias Aguan.

Bank Bakal Memikul Biaya Dana Berat Lebih Lama
| Jumat, 24 Januari 2025 | 06:30 WIB

Bank Bakal Memikul Biaya Dana Berat Lebih Lama

LPS memutuskan  tetap mempertahankan suku bunga penjaminan di level 4,25% untuk periode  Februari sampai dengan Mei 2025. ​

INDEKS BERITA

Terpopuler