KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak tahun 2021, Indonesia telah memasuki fase penuaan penduduk (ageing population). Bahkan, berdasarkan proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2020, saat ini terdapat 11,93% lanjut usia (lansia) di Indonesia. Di satu sisi, ini mencerminkan kemajuan pembangunan, terutama dalam perbaikan kesehatan dan meningkatnya usia harapan hidup. Namun di sisi lain, penuaan penduduk juga membuka pertanyaan yang lebih mendasar: apakah bertambahnya usia berjalan seiring dengan kualitas hidup yang layak di usia lanjut?
Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa sebanyak 54,21% lansia Indonesia masih bekerja. Angka ini kerap dibaca sebagai indikator bahwa lansia tetap aktif dan produktif, apalagi persentase lansia yang bekerja ini naik hampir lima persen poin dari tahun 2021 yang sebesar 49,46%. Padahal, pembacaan semacam itu perlu kehati-hatian. Berdasarkan data hasil Sakernas Agustus 2025 menunjukkan bahwa dari lansia yang bekerja, 83,12% di antaranya berada di sektor informal. Artinya, sebagian besar lansia bekerja di sektor yang minim kepastian pendapatan, tanpa perlindungan sosial, dan dengan kondisi kerja yang rentan.
Baca Juga: Menanti Tuah Window Dressing di Pekan Pendek, Cermati Saham-Saham Ritel Ini
Dalam konteks ini, bekerja di usia lanjut tidak selalu mencerminkan pilihan. Bagi banyak lansia, bekerja merupakan strategi bertahan hidup. Ketika tabungan terbatas dan jaminan pensiun tidak tersedia, bekerja menjadi penyangga utama kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerentanan lansia bukan semata persoalan usia biologis, melainkan akumulasi kondisi sosial ekonomi yang terbentuk jauh sebelum seseorang memasuki usia tua.
Latar pendidikan menjadi salah satu kunci untuk memahami kondisi tersebut. Berdasarkan data BPS, rata-rata lama sekolah lansia baru mencapai 6,03 tahun pada 2025, setara dengan tingkat sekolah dasar. Kesenjangan terlihat jelas antara laki-laki dan perempuan, serta antara perkotaan dan perdesaan. Lansia perempuan memiliki rata-rata lama sekolah 5,29 tahun, lebih rendah ketimbang laki-laki 6,84 tahun.
Sementara itu, lansia di perdesaan mencatat rata-rata lama sekolah 4,58 tahun, jauh tertinggal dibandingkan lansia perkotaan yang mencapai 7,14 tahun.
Baca Juga: OJK dan KSEI Meluncurkan Integrasi Sistem Perizinan Reksadana
Keterbatasan pendidikan tersebut membatasi jenis pekerjaan yang dapat diakses sepanjang hidup mereka. Hal ini berdampak langsung pada rendahnya peluang untuk memperoleh pekerjaan formal dan jaminan hari tua. Tidak mengherankan jika hanya 16,88% lansia yang bekerja di sektor formal, jauh di bawah rata-rata penduduk usia kerja secara keseluruhan. Lansia hari ini adalah generasi yang tumbuh ketika akses pendidikan dan pasar kerja formal belum merata.
Struktur pekerjaan sepanjang daur hidup itu tecermin dalam kondisi ekonomi lansia. Data BPS menunjukkan bahwa lansia lebih banyak ditemukan pada kelompok kesejahteraan bawah. Semakin rendah tingkat kesejahteraan, semakin meningkat pula proporsi lansianya. Menurut data Susenas Maret 2025, sebanyak 41,75% lansia berada pada rumah tangga dengan distribusi pengeluaran 40% terbawah. Selain itu, dalam rumah tangga lansia, sumber penghidupan masih didominasi oleh pendapatan anggota rumah tangga yang bekerja, sementara peran pensiun relatif kecil dan hanya dinikmati oleh sebagian terbatas lansia yang pernah bekerja di sektor formal. Masih sedikit lansia yang memiliki perlindungan finansial dalam bentuk tabungan di lembaga keuangan maupun investasi.
Baca Juga: Tax Holiday Deras, Investasi IKN Terkuras
Meski pola tinggal bersama keluarga sering dipandang sebagai kekuatan sosial masyarakat Indonesia, nyatanya ketergantungan yang tinggi pada keluarga juga menyimpan kerentanan. Ketika generasi yang lebih muda menghadapi tekanan ekonomi, pekerjaan yang tidak stabil, atau kenaikan biaya hidup, kemampuan menopang lansia ikut terpengaruh. Dengan demikian, kesejahteraan lansia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pasar kerja dan ekonomi penduduk usia produktif.
Aspek kesehatan
Aspek kesehatan menambah lapisan tantangan lain dalam kehidupan lansia. Hasil Susenas Maret 2025 menunjukkan bahwa 44,02% lansia mengalami keluhan kesehatan, dan 21,21% terganggu aktivitas sehari-harinya karena memiliki keluhan tersebut. Temuan ini menegaskan bahwa persoalan kesehatan masih menjadi bagian penting dari pengalaman menua di Indonesia.
Baca Juga: ASII Masih Melirik Peluang Bisnis di Sektor Kesehatan
Namun, tantangan kesehatan lansia tidak berhenti pada persoalan medis semata. Keluhan kesehatan berkaitan erat dengan keterbatasan mobilitas, akses terhadap fasilitas layanan, serta kondisi sosial ekonomi. Bagi sebagian lansia, terutama yang tinggal di wilayah perdesaan atau berada pada kelompok kesejahteraan bawah, penurunan kesehatan kerap berjalan seiring dengan menyempitnya ruang sosial, meningkatnya risiko isolasi, serta berkurangnya kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Membaca penuaan penduduk melalui lensa kualitas hidup membuat diskusi demografi menjadi lebih substantif. Peningkatan usia harapan hidup tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas hidup. Hidup lebih lama tidak otomatis berarti hidup lebih sehat, lebih mandiri, atau lebih aman secara ekonomi. Tanpa dukungan yang memadai, tambahan usia justru berpotensi memperpanjang periode kerentanan. Kondisi ini membawa implikasi luas bagi struktur sosial dan ekonomi.
Baca Juga: Pelemahan Daya Beli Memicu Lonjakan PHK
Mulai dari meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan dan perawatan jangka panjang, hingga naiknya rasio ketergantungan lansia terhadap penduduk usia produktif yang menuntut respons kebijakan lintas sektor dan lintas generasi. Dalam konteks ini, isu lansia tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan kualitas pendidikan, struktur pasar kerja, dan sistem perlindungan sosial yang dibangun selama puluhan tahun. Lansia yang hari ini masih bekerja di sektor informal merupakan cerminan dari kondisi pasar kerja masa lalu yang belum sepenuhnya inklusif dan protektif.
Ke depan, penuaan penduduk menuntut peninjauan ulang kebijakan sosial. Persiapan menuju usia tua tidak cukup dilakukan melalui intervensi di usia lanjut, melainkan perlu dimulai jauh lebih awal melalui pendidikan yang lebih merata, kesempatan kerja yang lebih berkualitas, serta sistem perlindungan sosial yang mampu menjangkau pekerja di berbagai sektor, termasuk sektor informal, agar masa tua tetap layak dan bermartabat.
Baca Juga: Kebijakan Diskon Tarif Jalan Tol Mulai Berlaku
Indonesia kini berada di persimpangan demografi. Bonus demografi perlahan bergerak menuju fase penuaan penduduk. Perubahan ini bukan sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi perlu dikelola cermat agar kualitas hidup lansia menjadi bagian dari perencanaan pembangunan jangka panjang, dan memastikan keberlanjutan dukungan publik adil bagi semua kelompok lansia.
Pada akhirnya, penuaan penduduk bukan hanya soal bertambahnya jumlah lansia, melainkan soal kesiapan sosial dan ekonomi untuk menyertai proses tersebut. Lansia hari ini adalah hasil dari kebijakan dan struktur sosial di masa lalu. Cara kita membaca dan merespons penuaan penduduk hari ini akan menentukan bagaimana generasi mendatang menjalani usia tuanya kelak.
