KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hiruk-pikuk masalah beras akhir-akhir seperti dejavu. Beras memang komoditas strategis yang jadi episentrum masalah melibatkan berbagai kepentingan. Isu kelangkaan, kenaikan harga, hingga manipulasi kualitas seolah jadi siklus tak habis-habis.
Salah satu instrumen kebijakan yang selalu jadi sorotan adalah Harga Eceran Tertinggi (HET). Pembentukan HET beras bukanlah barang baru. Sejak era Orde Baru, kontrol harga seolah melekat dengan perdagangan komoditas strategis. HET beras dalam bentuknya sekarang, mulai diimplementasikan lebih terstruktur dari sekitar 2017.
Dengan HET, pemerintah berharap tercipta keseimbangan antara produsen, pedagang, dan konsumen. Namun, implementasi HET selalu dihadapkan pada tantangan pelik. Realitas di lapangan seringkali berbeda dengan regulasi di atas kertas. Fluktuasi pasokan akibat cuaca, biaya produksi, hingga rantai distribusi yang panjang seringkali membuat HET sulit dipatuhi.
Ketika Menteri Pertanian menuding adanya praktik oplosan beras premium dengan beras medium, tentu saja memicu kegaduhan. Pelaku yang paling mungkin melakukan praktik ini adalah pihak-pihak di tingkat penggilingan besar atau distributor besar. Tapi kalau kita melihat lebih dalam, aturan HET ini seperti jebakan batman.
Definisi beras premium menurut Permentan No 31 Tahun 2017 adalah beras dengan persentase butir patah maksimal 15%, kadar air maksimal 14%, derajat sosoh minimal 95%, dan tidak mengandung benda asing atau butir gabah. Sementara beras medium adalah beras dengan persentase butir patah maksimal 25%, kadar air maksimal 14%, derajat sosoh minimal 90%.
Secara teoretis, klasifikasi ini membantu konsumen memilih produk sesuai kebutuhan dan daya beli. Tapi dalam praktiknya, mata awam mana yang bisa membedakan kualitas medium dan premium?
Bagi para pengusaha keuntungan tentu jadi motif utama. Walau selisih harga beras premium dan medium tak besar, selisih ini jadi signifikan saat volume penjualan massif.
Jadi untuk mengatasi persoalan beras pemerintah perlu pendekatan lebih komprehensif. Seperti misalnya peninjauan ulang aturan HET. Fleksibilitas HET mungkin diperlukan agar tidak mematikan mata rantai pasok dan menjaga keterjangkauan harga bagi konsumen.
Pemerintah harus berani bersinergi dengan pelaku usaha untuk menciptakan ekosistem beras yang adil, stabil, dan tanpa drama.