Berita Refleksi

Rupiah yang Berdaulat

Oleh Sandy Baskoro - Redaktur Pelaksana
Sabtu, 29 Juni 2024 | 08:05 WIB
Rupiah yang Berdaulat

ILUSTRASI. TAJUK - Sandy Baskoro

Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mata uang adalah simbol kedaulatan negara. Demikian pula rupiah yang menjadi muruah alias kehormatan bangsa Indonesia.

Kini, valuta Garuda sedang diuji dengan berbagai tekanan internal maupun eksternal. Rupiah masih tak berdaya menghadapi dominasi dolar Amerika Serikat.

Mengacu data Bank Indonesia, Jumat (28/6), posisi rupiah di level Rp 16.394 per dolar AS. Angka ini memang lebih baik ketimbang sehari sebelumnya (Rp 16.421). Namun jika dihitung sejak awal tahun hingga kemarin (year-to-date/ytd), rupiah sudah melorot 6%.

Bahkan rupiah sudah jauh meninggalkan asumsi di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024 yang dipatok Rp 15.000. Akibatnya, defisit APBN berpotensi melebar. 

Selain beban bunga utang valuta asing, pemerintah harus mencermati beban subsidi energi, karena Indonesia masih sebagai net importer untuk urusan minyak.

Jika pemerintah mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, maka daya beli masyarakat bisa rontok. Sebaliknya, jika pemerintah menahan harga jual BBM subsidi, belanja negara siap-siap membengkak.

Selain merongrong fiskal, pelemahan rupiah berimbas ke sektor riil. Harga barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari barang elektronik hingga makanan seperti tempe, juga terancam naik. Maklumlah, bahan baku tempe, yakni kedelai, mayoritas dipasok dari luar.

Korporasi yang mengandalkan bahan impor juga akan tertekan. Sebagai kompensasinya, perusahaan biasanya akan mengerek harga jual kepada konsumen. Namun di tengah situasi yang labil seperti sekarang, rasanya sulit menempuh langkah itu. 

Oleh karena itu, langkah yang paling masuk akal adalah menjaga kedaulatan rupiah sejak dari hulu. Pemerintah, termasuk Bank Indonesia, harus berani menempuh kebijakan konkret agar rupiah kembali pulih.

Kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE-SDA) perlu dibenahi. Pengusaha lebih senang memarkir dananya di Singapura karena tawaran imbal hasil dari negeri seberang lebih menarik ketimbang mereka menyimpan dana hasil ekspornya di Indonesia.

Kebijakan dedolarisasi perlu digenjot secara masif demi mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Ihwal transaksi penggunaan mata uang lokal, Indonesia mesti berani membangun aliansi dan memperluas kerja sama dengan banyak negara.

Pemerintah juga harus serius membangun ekosistem industri agar kita tidak lagi bergantung pada produk impor.

Selanjutnya: Kerugian Peretasan Pusat Data Nasional Sementara Mencapai Rp 1,2 Triliun

Terbaru
IHSG
7.106,84
0.61%
43,26
LQ45
892,33
0.52%
4,60
USD/IDR
16.421
-0,09
EMAS
1.363.000
0,15%