KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satu minggu terahir, para musisi Tanah Air tengah gundah gulana. Penyebabnya adalah mengenai isi dari Rancangan Undang-Undang Permusikan yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Maksud hati, para wakil rakyat adalah supaya kepentingan para musisi Tanah Air bisa terakomodasi. Tapi, rancangan yang digagas sepenuhnya oleh wakil rakyat tersebut belum mendapat tanggapan positif dari musisi Tanah Air.
Sebab, ada beberapa pasal karet yang bisa membatasi kreasi para musisi. Salah satunya di pasal 5 draf beleid tersebut yang bisa membelenggu kebebasan berekspresi para musisi. Malah, kalau ada musisi yang membuat konten musik yang dinilai melanggar pasal tersebut bisa terancam sanksi pidana.
Belum lagi, di pasal 32 yang mengharuskan uji kompetensi agar musisi bisa diakui sebagai profesi. Uji kompetensi itu didasari pada pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang ditetapkan oleh menteri (lihat poin krusial RUU Permusikan).
Menurut Rian Ekky Pradipta, vokalis grup band D'Masiv, seharusnya pasal tersebut tidak perlu ada, karena bisa membunuh kebebasan berekspresi dan kreativitas para musisi yang ada di Tanah Air. Dia juga menyoroti mengenai uji kompetensi musisi yang seharusnya tidak perlu.
Menurut dia, 90% musik itu merupakan skill. "Seperti The Beatles, yang anggotanya belajar musik secara autodidak tapi lewat musik bisa mengubah dunia," kata Rian, akhir pekan lalu.
Ia menyarankan, seharusnya yang diatur dalam rancangan aturan itu adalah soal tata kelola industri musik Tanah Air agar bisa berpihak ke musisi. Misalnya, peraturan mengenai royalti bagi musisi itu sendiri yang sampai saat ini belum diatur secara jelas.
Begitu juga soal hak cipta, yang saat ini belum terselesaikan dengan tuntas, terutama untuk pencipta lagu. "Jadi alangkah membahagiakan RUU ini jangan terlalu mengurusi kreatifnya, tapi bisa mensejahterakan musisi di Indonesia dengan karya yang dimilikinya," jelas Rian.
RUU jadi pelengkap
Pengamat musik Bens Leo menilai, sejatinya beleid ini sangat penting karena merupakan pelengkap dari UU No.28/2014 tentang Hak Cipta, dan UU No.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebab kedua UU ini tidak cukup untuk memayungi para musisi.
Maka dari itu, ia mengimbau musisi dan seniman mencermati betul-betul isi rancangan beleid ini karena masih dalam masa rancangan yang masih bisa didiskusikan. "Ruang untuk tukar pendapat masih sangat lebar, jadi mari dibahas bersama-sama. Tidak cuma soal pasal karet tapi juga pasal lainnya yang harusnya melindungi para musisi," katanya saat dihubungi KONTAN.
Misalnya, lanjut Bens, terkait karya musik yang tidak boleh sembarangan dinyanyikan oleh musisi lain. Hal itu dinilai sangat krusial, apalagi teknologi dan sosial media sudah semakin maju. Secara prinsip, aturan ini nantinya bisa mengakomodasi kepentingan para musisi.
Sambutan positif juga diungkapkan Anggota Komisi X DPR sekaligus musisi, Anang Hermansyah. Ia berpendapat, masukan dari para koleganya yang merupakan musisi tersebut merupakan respon yang positif terhadap RUU ini.
Ia memahami kegelisahan yang timbul atas pasal karet. "Saya sungguh senang, saat ini semua pihak berkomentar atas materi RUU. Namun mari kita selesaikan dengan kepala dingin," tutur dia dalam pernyataan tertulis yang diterima KONTAN.
Sementara mengenai, persoalan keharusan uji kompetensi bagi musisi, Anang menyatakan ketentuan tersebut sejatinya merujuk kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Ia mengakui, pada awalnya tampak tidak elok dan absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji kompetensi. Namun, setelah melewati tahapan tersebut, para seniman dan musisi bisa mendapatkan sertifikat. "Namun globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti itu," kata politisi PAN tersebut.
Ia berharap banyak masukan terkait aturan tersebut. DPR menargetkan pembahasan beleid ini kelar sebelum masa jabatan DPR tuntas.