Berita *Regulasi

Target Penerimaan Cukai Hasil Tembakau Mau Dikerek, Industri HPTL Khawatir Kena Efek

Minggu, 12 September 2021 | 17:36 WIB
Target Penerimaan Cukai Hasil Tembakau Mau Dikerek, Industri HPTL Khawatir Kena Efek

ILUSTRASI. Pekerja meracik cairan rokok elektronik (vape) di industri kawasan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (26/11/2019). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/pras.

Reporter: Tedy Gumilar | Editor: Tedy Gumilar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah mengerek target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan sebesar 11,9% menjadi senilai Rp 203,9 triliun rupanya tidak hanya membuat was-was industri rokok. Para pemain di industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) seperti vape atau rokok elektrik juga ikutan khawatir rencana tersebut ikut membebani mereka.

Maklum, rencana mengerek target penerimaan cukai hasil tembakau itu berlangsung saat pandemi Covid-19 masih berlangsung. Pada Semester I-2021 saja, penjualan HPTL sudah anjlok sampai 50%. Sampai akhir tahun 2021, Ketua Asosiasi Pengusaha Penghantar Nikotin Indonesia (Appnindo) Roy Lefrans memperkirakan penurunan penjualan akan bertambah sekitar 30%.

“Kondisi saat ini memang penjualan sedang lesu. Toko-toko banyak yang tutup permanen. Produsen juga mengurangi produksi sehingga kemampuan produsen untuk memesan pita cukai akan tetap terbatas. Produksi yang turun, otomatis membuat produsen mengerem pemesanan cukai,” ungkap Roy, Minggu (12/9).

Oleh karena itu, Roy dan pelaku usaha berharap pemerintah lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan terkait cukai. Mempertahankan beban cukai seperti yang berlaku sekarang dinilai sebagai pilihan yang paling pas untuk kondisi saat ini. 

Baca Juga: Penuhi Ketentuan Free Float, APRO Financial Lego Saham DNAR di Bawah Harga Pasar

Selain itu, Roy mengklaim mempertahankan beban cukai HPTL juga dapat berguna untuk membatasi peredaran HPTL ilegal. Mengacu data Bea Cukai Kemenkeu tahun 2018, tercatat ada 218 penindakan terhadap produk HPTL ilegal dengan nilai barang hasil penindakan (BHP) Rp 1,59 miliar.

Sedangkan pada 2019, penindakan menurun menjadi 104 kasus dengan nilai BHP Rp 522 juta. Hal itu sedikit banyak mencerminkan bahwa pelaku HPTL cukup patuh membayar cukai. Untuk itu, jangan sampai kenaikan beban cukai malah menimbulkan polemik baru terkati HPTL ilegal. 

Sementara itu, Ketua Umum Koalisi Bebas TAR (Kabar) Ariyo Bimmo mengatakan, selain mempertahankan beban cukai untuk HPTL, pemerintah juga diharapkan membuat aturan cukai khusus bagi HPTL. 

“Regulasi atau PMK khusus jelas perlu ada, karena produk HPTL memiliki profil risiko yang berbeda. Semangat pengawasan cukai adalah soal profil risiko. Saat risiko suatu produk lebih rendah, penghitungan seharusnya dibedakan dan lebih rendah,” kata Ariyo. 

Ketentuan cukai HPTL masih diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan tersebut mengatur besaran tarif cukai untuk HPTL sebesar 57 persen.

Ariyo juga menambahkan, karena memilki sifat harm reduction, produk-produk HPTL bisa menjadi solusi alternatif bagi para perokok dewasa. Ariyo bahkan mendukung diberikannya insentif untuk produk-produk HPTL agar lebih mudah diakses oleh perokok dewasa agar dapat  menurunkan prevalensi merokok.

“Pemerintah harus bisa melihat lebih luas. Kenaikan CHT bisa diimbangi dengan insentif untuk pelaku HPTL yang terus melakukan inovasi agar produknya bisa jauh lebih rendah risikonya. Sehingga perokok dewasa bisa mendapat akses produk rendah risiko,” kata Ariyo.

Baca Juga: Direktur Tipideksus Bareskrim Helmy Santika Beberkan Kasus Deposito BNI Makassar

Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah pun menyepakati hal ini. Ia mengatakan, ada urgensi keberadaan regulasi khusus HPTL karena pengguna HPTL yang makin banyak. Kini ditaksir ada sampai 2 juta pengguna HPTL di Indonesia. 

“Jumlah pengguna HPTL ini makin banyak sehingga perlu dibuat regulasi tersendiri agar ekosistem industri juga bisa berkembang. Karena produk ini juga merupakan produk yang berbeda dari rokok, sehingga perlu diatur pula secara berbeda,” ujar Trubus. 

Trubus menambahkan insentif juga menjadi hal yang penting karena pelaku HPTL mayoritas merupakan UMKM dan bersifat padat karya sehingga berperan penting dalam aspek penyerapan tenaga kerja. Insentif juga bisa diberikan terkait investasi di industri HPTL. 

“Produk HPTL ini merupakan substitusi rokok konvensional, dengan risiko yang lebih rendah. Sehingga industri ini perlu didorong. Pungutan untuk pelaku usaha juga jangan dinaikan karena saat ini sudah relatif tinggi. Stimulus untuk investasi di industri ini juga dibutuhkan,” sambungnya. 

Selanjutnya: Anak Perusahaan BNI Sekuritas, BNI Securities Pte Ltd Resmi Beroperasi di Singapura

 

Terbaru