Utang Konsumtif
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Total utang masyarakat melalui pinjaman daring (pinjol) dan layanan paylater menembus Rp 101,3 triliun per September 2025. Angka fantastis ini diiringi sinyal bahaya: naiknya tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) pinjol menjadi 2,82%, sebuah indikasi risiko gagal bayar yang membesar di tengah ekonomi yang tidak baik-baik saja.
Lonjakan ini mencerminkan dua sisi mata uang industri keuangan digital: perluasan inklusi di satu sisi, dan tumbuhnya ketergantungan konsumtif di sisi lain. Akses pinjaman yang mudah memang membantu masyarakat memenuhi kebutuhan mendesak, tetapi di banyak kasus justru mendorong pola "utang untuk bertahan hidup" — bukan untuk membangun produktivitas.
Tingginya porsi pinjaman konsumtif menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum memanfaatkan fasilitas digital secara bijak. Di tengah pendapatan yang stagnan dan tekanan biaya hidup yang naik, utang digital menjadi penopang semu daya beli rumah tangga. Tanpa literasi finansial yang memadai, pinjol dan paylater mudah berubah menjadi jebakan yang menggerus pendapatan masa depan.
Kredit macet yang mulai naik menjadi peringatan dini. Jika perilaku berutang tidak terkendali, risiko gagal bayar dapat merembet ke lapisan ekonomi bawah, menekan konsumsi, dan memperlemah pertumbuhan jangka menengah.
Namun, tidak semua pinjaman digital bersifat negatif. Sebagian masyarakat, terutama pelaku UMKM dan sektor informal, memanfaatkan pinjol untuk modal usaha. Fenomena ini menunjukkan bahwa pinjaman digital masih punya potensi produktif — asal diimbangi literasi, pengawasan, dan desain produk yang berorientasi pada keberlanjutan, bukan sekadar pertumbuhan transaksi.
Regulator memang mencatat rasio pembiayaan dan risiko industri masih dalam batas aman. Tetapi stabilitas makro tidak cukup diukur dari angka non performing loan (NPL). Ada dimensi sosial yang harus diperhatikan: pemahaman masyarakat tentang utang, kemampuan mengelola cicilan, dan kesadaran membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Tanpa perubahan perilaku, kebijakan pengawasan hanya mengobati gejala.
Pertumbuhan konsumsi yang sehat seharusnya bertumpu pada peningkatan pendapatan riil, bukan kemudahan berutang. Pemerintah dan industri keuangan digital perlu menata ulang arah kebijakan, agar inklusi tidak berubah menjadi ilusi. Jika tidak, ekonomi Indonesia bisa tampak kuat di permukaan, tetapi rapuh di dalam.
