Wake Up Call: Investor Bertanya, Lo Kheng Hong Menjawab Bagian 11

Senin, 10 April 2023 | 07:00 WIB
Wake Up Call: Investor Bertanya, Lo Kheng Hong Menjawab Bagian 11
[]
Lukas Setia Atmaja | Founder HungryStock Community (www.hungrystock.com), IG: lukas_setiaatmaja

KONTAN.CO.ID - Nama Lo Kheng Hong (LKH) sudah tidak asing lagi di pasar saham dalam negeri. Lantaran dikenal mumpuni dalam berinvestasi saham, banyak orang penasaran dengan gaya investasi pria ini.

Artikel ini berisi tanya jawab dengan Lo Kheng Hong sekitar topik seni berinvestasi saham dengan gaya value investing. Materi diambil dari Kuliah Umum di Prasetiya Mulya dan Webinar Lo Kheng Hong.

INVESTOR: Mau tanya bagaimana pendapat bapak mengenai investasi di perusahaan start-up?

LKH: Setahu saya perusahaan start-up itu labanya kecil-kecil, enggak ada yang labanya besar. Saya kan orang gaptek, jangan tanya start-up sama saya. Pakai Zoom aja kalau enggak dibantu anak saya, mungkin enggak bisa. Ada perubahan sedikit saja di zoom, saya enggak bisa benerin, mesti teriak panggil anak saya. Jadi saya enggak mengerti start-up, apalagi yang berbasis teknologi.

Tapi yang saya tahu, perusahaan start-up itu mungkin rugi, kalau untung pun hanya sedikit, tapi valuasinya mahal. Jadi tidak mungkin saya membeli saham perusahaan-perusahaan start-up berbasis teknologi seperti itu. Kalau mau jual saham kepada saya harus terbukti dulu labanya besar, kemudian harganya murah. Ini ditunjukkan oleh price to earning ratio yang rendah, baru saya tertarik beli. Jadi kalau jual ke saya mimpi di masa depan, enggak mungkin saya beli. Kalau dibilang nanti labanya bisa sekian, ya buktikan saja dulu. Enggak gampang sebuah perusahaan bisa buktikan mampu membukukan laba yang besar.

Jadi saya tetap konservatif, yang hanya mau membeli setelah perusahaan itu terbukti bisa membukukan laba yang besar. Sebagai contoh, saya membeli saham PT Clipan Finance Tbk tahun lalu dan sudah terbukti laba Rp 361 miliar. Banyak perusahaan start-up yang belum pernah membukukan laba yang besar, jadi enggak mungkin saya beli perusahaan start-up, karena biasanya start-up itu perusahaan yang rugi. Kalau laba pun jumlahnya kecil dan valuasi super mahal.

Baca Juga: Wake Up Call: Kekayaan Dunia di Genggaman Top 1%

INVESTOR: Kapan waktu yang tepat membeli saham?

LKH: Misalnya saat beli saham PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Saya lihat ini perusahaan bagus. BMTR punya anak usaha PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), yang punya RCTI. Stasiun TV ini punya pendapatan Rp 8 triliun setahun, labanya besar.

Valuasi BMTR saat saya beli sangat murah, hanya tinggal Rp 200. Kemudian kalau saya lihat harga tertingginya pernah Rp 2.800. Kinerja ketika harganya Rp 2.800 dengan kinerja ketika harganya Rp 200 lebih bagus kinerja ketika harga Rp 200. Ya sudah langsung saya beli 6% kepemilikan.

Kalau ada orang pakai teori dollar cost averaging, beli bulan ini Rp 2 miliar, bulan depan Rp 2 miliar lagi, keburu naik harganya. Setiap bulan biaya beli sahamnya jadi tambah mahal. Bulan ini beli di Rp 200, bulan depan di Rp 220, bulan depannya lagi Rp 240, jadi makin mahal. Saya enggak suka teori begitu.

Saya kalau sudah ketemu Mercy yang dijual seharga Bajaj, langsung saya beli dalam jumlah besar. Saya takut Bajaj ini harganya berubah jadi Avanza sehingga biaya beli tambah mahal. Jadi kalau saya lihat suatu perusahaan bagus harganya murah, ya saya beli aja sekaligus banyak, enggak beli bertahap-bertahap. Nanti kalau tiap bulan tambah mahal bagaimana?

Baca Juga: Wake Up Call: Waktu Tepat Masuk Saham Blue Chips

INVESTOR: Kapan Pak Lo akan mulai jual saham PT Indika Energy Tbk (INDY)? Apa ketika PBV sudah mendekati 1 kali?

LKH: Ini pertanyaan yang enggak bisa saya jawab. Tergantung sahamnya. Kalau harga naik kencang, minimal price-to-book 1 kali baru saya jual. Jadi kalau kapan jualnya ya tidak tahu kapan. Minimal ya kalau price-to-book enggak di atas 1 kali saya enggak jual.

Saham-saham saya saham-saham yang Mercy harga Bajaj semua, jadi investasi saya low risk, high gain. Masa beli saham price-to-book 0,2 kali-0,3 kali masih rugi? Aduh, sungguh kelewatan. Jadi kapan jualnya? Enggak tahu kapan, tergantung sahamnya kapan naik, karena saya bukan market maker. Saya juga enggak menggoreng saham saya, jadi saya hanya tidur saja.

Kalau dia naik cepat seperti INDY dari harga ratusan jadi sekitar Rp 4.000, saya jual. Seperti saham INKP yang naik dari Rp 1.000 jadi Rp 20.000, saya jual. Kalau saham saya masih tidur terus ya saya ikut tidur terus.

INVESTOR: Apakah Pak Lo lebih menggunakan patokan PBV minimal 1 kali atau kalau saham sudah naik banyak harganya untuk menjual? Contoh saham INDY, dari Rp 100 jadi Rp 4.000, meski waktu itu PBV masih kurang dari 1 kali?

LKH: Tapi setahu saya PBV INDY sudah lebih dari 1 kali. INDY kan sekarang price-to-book sudah 2 kali. Nilai bukunya mungkin Rp 2.000 dan harga sahamnya Rp 4.000. Tapi juga jangan lihat hanya dari price-to-book value saja, lihat juga labanya.

Waktu itu, kan, harga batubara US$ 100, sehingga laba INDY besar sekali. Jadi lihat juga price earning ratio. Kalau price earning ratio di bawah 5 kali, ya, jangan dijual, Jadi bukan price-to-book value saja, tapi lihat juga price earning ratio.

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan
| Kamis, 18 September 2025 | 08:38 WIB

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan

Pertumbuhan kredit Bank BRI (BBRI) diproyeksikan lebih bertumpu ke segmen konsumer dan korporasi, khususnya di sektor pertanian dan perdagangan. 

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan
| Kamis, 18 September 2025 | 07:55 WIB

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan

Likuiditas simpanan dan penyaluran kredit perbankan yang berpotensi lebih rendah sepanjang tahun ini jadi catatan investor asing.

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah
| Kamis, 18 September 2025 | 07:19 WIB

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah

Meski berisiko, penempatan dana ini bisa jadi sentimen positif bagi saham perbankan, karena ada potensi perbaikan likuiditas dan kualitas aset.

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun
| Kamis, 18 September 2025 | 07:15 WIB

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun

JITEX 2025 diikuti  335 eksibitor dan 258 buyer. Tahun ini kami menghadirkan buyer internasional dari sembilan negara dan lebih banyak investor

 Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi
| Kamis, 18 September 2025 | 07:12 WIB

Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi

Kapasitas produksi dalam negeri dinilai mampu memenuhi kebutuhan food tray program MBG. sehingga tidak perlu impor

Progres Proyek LRT  Fase 1B Capai 69,88%
| Kamis, 18 September 2025 | 07:00 WIB

Progres Proyek LRT Fase 1B Capai 69,88%

Pada Zona 1, yakni Jl. Pemuda Rawamangun dan Jl. Pramuka Raya, progres pembangunan telah mencapai 69,06%

Penjualan Ciputra (CTRA) Bisa Terpacu Tren Bunga Layu
| Kamis, 18 September 2025 | 06:58 WIB

Penjualan Ciputra (CTRA) Bisa Terpacu Tren Bunga Layu

CTRA berada di posisi yang tepat untuk mempertahankan pertumbuhan, margin, dan mendorong nilai jangka panjang

Permintaan Tumbuh, BSDE Rajin Merilis Ruko Baru
| Kamis, 18 September 2025 | 06:57 WIB

Permintaan Tumbuh, BSDE Rajin Merilis Ruko Baru

BSDE mengantongi marketing sales ruko Rp 1,26 triliun atau berkontribusi sekitar 25% dari total pra-penjualan di semester I-2025

Suku Bunga The Fed Turun, Pelemahan Indeks Dolar AS Masih Bisa Berlanjut
| Kamis, 18 September 2025 | 06:55 WIB

Suku Bunga The Fed Turun, Pelemahan Indeks Dolar AS Masih Bisa Berlanjut

Penurunan suku bunga Federal Reserve biasanya turut menyebabkan dolar AS melemah dalam jangka pendek

Izin Ekspor Freeport Tak Diperpanjang
| Kamis, 18 September 2025 | 06:52 WIB

Izin Ekspor Freeport Tak Diperpanjang

Ekspor konsentrat tembaga telah dilarang sejak 1 Januari 2025 berdasarkan Permendag Nomor 22 Tahun 2023 junto Permendag Nomor 20 Tahun 2024.

INDEKS BERITA

Terpopuler