KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inilah drama kesekian kalinya yang dihadapi PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). Baru-baru ini, harga saham emiten energi hijau milik Taipan Prajogo Pangestu itu terguncang lagi akibat keputusan FTSE Russell.
Semula, anak usaha London Stock Exchange Group (LSEG) Inggris itu memasukkan BREN dalam daftar konstituen indeks FTSE yang berlaku efektif pada 23 September 2024. Tapi ia lantas mengeluarkan BREN selang sehari kemudian, dengan dalih konsentrasi kepemilikan pada beberapa pihak saja serta minimnya porsi saham publik (free float). Alasan itulah yang berbuah kontroversi.
Memang, pertimbangan memasukkan atau mengeluarkan emiten dalam sebuah indeks merupakan hak pengelola indeks. Namun, pertimbangan FTSE mengeluarkan BREN dari indeksnya dinilai tidak akurat dan kurang cermat melihat ketentuan di pasar saham Indonesia (Harian KONTAN, 21 September 2024).
Toh, kontroversi tinggal kontroversi. Nasi sudah menjadi bubur. Kini giliran pasar saham Indonesia dan investor harus menanggung dampak dari putusan FTSE itu.
Betapa tidak, harga saham BREN turun 35,8% dalam dua hari perdagangan saham, dari Rp 11.025 per saham menjadi Rp 7.075 per saham, Senin (23/9). Nilai kapitalisasi pasarnya (market cap) pun terkikis Rp 528,45 triliun hanya dalam dua hari. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) gagal lagi menyentuh rekor baru di level 8.000!
Kendati demikian, sejauh ini regulator maupun otoritas bursa saham kita tampak bergeming saja. Mereka menilainya sebagai hal wajar dan melihat penentuan konstituen indeks dari kacamata domain pengelolanya semata.
Padahal lebih dari sekadar urusan BREN yang batal masuk FTSE, persoalan ini sesungguhnya cerminan dari hilangnya momentum bagi Indonesia untuk unjuk gigi di kancah global. Kita asyik menarik masuk perusahaan kecil untuk go public, tapi lupa mendorong emiten besar untuk go global dan bertempur di level dunia. Alhasil, kini tidak ada lagi emiten Indonesia dengan market cap di atas US$ 100 miliar.
Bandingkan dengan negara besar lain di Asia. China memiliki 15 emiten ber-market cap di atas US$ 100 miliar, India dan Jepang masing-masing empat emiten, sementara Korea Selatan punya Samsung dengan market cap di atas US$ 300 miliar.
Banyak hal positif yang bisa diambil ketika sebuah negara memiliki perusahaan global. Ambil contoh India. Hingga September ini, India mampu menarik dana asing ke pasar saham sekitar US$ 8,4 miliar, lebih dari dua kali lipat dari capital inflow ke bursa saham Indonesia. Selain faktor ekonomi dalam negeri, emiten besar di negara itu berandil besar menarik masuk dana asing.
Nah, Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto acap menyatakan impiannya tentang Indonesia yang akan jadi macan Asia, bahkan dunia. Tapi mimpi selamanya hanya menjadi mimpi jika para pemangku kepentingan negara ini tetap bermental kacung dan masih bangga menjadi kucing rumahan.