KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang akhir tahun ini, Indonesia ramai dengan Pilkada yang akan berlangsung esok. Pilkada digadang-gadang bisa mengerek tingkat konsumsi masyarakat menjelang akhir tahun yang biasanya juga lebih tinggi.
Tapi prediksi pertumbuhan ekonomi kuartal keempat tahun ini dari sejumlah ekonomi justru lebih rendah ketimbang kuartal keempat tahun lalu. Satu momok yang mengadang konsumsi masyarakat yang akhirnya berdampak ke pertumbuhan masyarakat adalah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di awal tahun depan.
Biasanya, produsen akan melanjutkan biaya PPN ini ke produk akhir. Artinya konsumen yang pada akhirnya akan membayar lebih untuk mendapatkan barang.
Memang, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% ini masih rencana dan baru berlaku awal tahun 2025. Tetapi dampak rencana ini bisa jadi sudah terasa. Mari melongok sejarah dari Jepang.
Pada 2013, mendiang Perdana Menteri Shinzo Abe mengungkapkan rencana kenaikan PPN sebanyak dua kali, yakni pada 2014 dan 2017. Sebelum kenaikan PPN berlaku, tingkat konsumsi masyarakat Jepang turun 4% menurut salah satu penelitian yang ditulis tahun 2016. Pada saat PPN berlaku, tingkat konsumsi turun lagi 1%.
Penurunan yang lebih kecil ini tercatat karena daya beli sudah jauh turun. Akhirnya, pemerintah Jepang menunda kenaikan PPN kedua dari 2017 menjadi tahun 2019 karena daya beli yang makin lunglai.
Kenaikan PPN di Jepang waktu itu dipandang perlu karena postur fiskal yang berantakan dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari 200%. Bagaimana dengan Indonesia?
Rasio utang terhadap PDB Indonesia akhir tahun ini diprediksi mencapai 38,7%. Angka ini masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata Asia Pasifik sebesar 86,8%. Jadi rasanya kenaikan PPN kok belum mendesak.
Bagi banyak orang, utang Indonesia dipandang berbahaya dan terus meningkat. Tapi ketika pemerintah perlu duit segera untuk hajatan besar seperti Makan Bergizi Gratis, kenaikan PPN belum tentu menjadi senjata yang ampuh.
Tak cuma makan gratis, pembengkakan anggaran juga berpotensi terjadi dengan jumlah kabinet yang besar. Jadi penghematan anggaran per kementerian pun belum tentu terasa bagi APBN.
Jadi apakah janji kampanye Prabowo Subianto akhirnya harus ditanggung oleh rakyat juga?