KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bakal menggotong beban baru. Mulai April 2019 hingga Maret 2020, biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik nasional meningkat 9% dibandingkan BPP pembangkit listrik di periode April 2018 hingga Maret 2019.
Kenaikan BPP pembangkit listrik ada dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 55 K/20/MEM/2019 tentang Besaran Baiaya Pokok Penyediaan Pembangkitan PLN .Secara rinci disebutkan, selama periode (1 April 2018 hingga 31 Maret 2019), BPP pembangkitan nasional Rp 1.025 per kilo watt hour (kWh) atau US$ 7,66 cent per kWh.
Sedangkan besaran BPP pembangkitan nasional pada 1 April 2019 hingga 31 Maret 2020 ditetapkan sebesar Rp 1.119 per kWh atau US$ 7,86 cent per kWh. Ini berarti secara nasional BPP pembangkitan naik sekitar 9% dibandingkan periode sebelumnya.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana menyebutkan, perhitungan BPP dalam berdasarkan sejumlah komponen. Khususnya kurs rupiah dan harga bahan bakar minyak, terutama Indonesian Crude Price (ICP). "Parameter itu dihitung secara global, kami tidak bisa kendalikan, tapi sudah kami kalkulasi," ungkap dia, pekan lalu.
Yang terpenting, perubahan BPP pembangkit listrik tidak akan membebani kondisi keuangan PLN, apalagi tarif listrik tidak akan naik hingga akhir tahun ini. Meski begitu, kata Rida, ini tidak menutup kemungkinan pemerintah akan mengevaluasi kebijakan kenaikan tarif listrik.
"Paling tidak janji pemerintah tidak naik hingga Desember 2019. Setelah itu, kita akan lihat lagi kebijakannya, intinya kalau ada perubahan kami mengkaji terus," terang Rida.
Vice President Public Relation PT PLN, Dwi Suryo Abdullah mengatakan, hingga kini PLN belum mengkaji kenaikan tarif listrik. Manajemen PLN meyakinkan perusahaan setrum pelat merah tersebut akan mempertahan tarif listrik hingga akhir tahun ini."PLN belum akan melakukan kajian atas hal tersebut (kenaikan tarif listrik). Komitmen kami tetap mempertahankan tarif yang sama dengan tahun 2018 sampai akhir tahun 2019," ungkap Dwi saat dihubungi KONTAN, Senin (15/4).
Dwi menjelaskan, sampai saat ini, kenaikan BPP pembangkit masih masuk dalam perhitungan, sehingga PLN belum terbebani dengan kenaikan beban pokok. "Sampai saat ini belum membebani keuangan PLN," ujar dia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential and Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, kenaikan BPP pembangkitan idealnya diiringi dengan penyesuaian tarif listrik. Secara otomatis kenaikan BPP akan membebani keuangan PLN.
Apabila kenaikan BPP pembangkit listrik sampai 9%, idealnya tarif listrik naik pada kisaran 7%–10%. "Logikanya kalau BPP naik, tarif disesuaikan untuk satu tahun ke depan. Jadi sebenarnya wajar kalau tarif naik minimal 7%, atau idealnya 10%," terang dia kepada KONTAN.
Memang, kenaikan tarif listrik tidak mudah diputuskan dan perlu perhitungan yang matang. Hal tersebut mengingat kebijakan kenaikan tarif listrik akan berdampak kepada inflasi serta daya beli masyarakat. Apalagi, saat ini Indonesia berada dalam tahun politik.
Alhasil, Fabby menyarankan kebijakan kenaikan tarif listrik bisa dilakukan secara bertahap. "Tentu dampaknya perlu dikaji, selain upaya peningkatan efisiensi PLN," ungkap dia.
Apalagi, kenaikan BPP juga akan memacu negosiasi bagi pengembang swasta atas listrik yang dibeli oleh perusahaan listrik negara itu.
Menggenjot efisiensi
Sejak tahun 2015, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang terus menahan tarif listrik, bahkan cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. Untuk mengurai kerugian yang diderita, perusahaan listrik pelat merah ini terus menggenjot efisiensi.
Vice President Public Relation PT PLN, Dwi Suryo Abdullah membenarkan, memang strategi efisiensi terus dilakukan oleh PLN. Mulai dari peningkatan performance dan optimalisasi pembangkit serta jaringan transmisi hingga meningkatkan penyerapan tenaga listrik dan penambahan jumlah pelanggan. "Di sisi pelayanan, kami memberikan diskon tambah daya dan harapannya kWh yang tersalur ke pelanggan semakin meningkat," ungkap dia.
Sebelumnya Direktur Keuangan PLN Sarwono mengatakan, salah satu langkah efisiensi PLN adalah melakukan zonasi pasokan. Untuk batubara, misalnya, kebijakan zonasi pasokan batubara bisa menekan ongkos distribusi dan sumber pasokan pembangkit lebih terjamin karena dekat dengan tambang. "Misalnya pembangkit di Sumatra, juga mendapatkan pasokan dari Sumatra," kata dia.