KONTAN.CO.ID - Hampir seluruh kegiatan dan transaksi usaha bertransformasi ke digital, tidak terkecuali operasional bank. Yang dulunya analog atau manual, pelan tapi pasti, berubah jadi digital. Apa pun yang belum digitalisasi dianggap konvensional atau old economy.
Beberapa bank mengklaim telah menjadi bank digital atau akan go digital. Di antara mereka, ada yang dimiliki bank besar, anak perusahaan dari konglomerasi besar, terafiliasi dengan perusahaan teknologi, dan yang bermitra dengan perusahaan fintech.
Kita digiring untuk menerima klasifikasi bank menjadi konvensional dan digital, serta dikotomi old economy dan new economy. Masalah muncul ketika yang lama dianggap tidak berpengharapan dan yang baru dipandang berprospek sangat cerah, sehingga keduanya dinilai berbeda bak bumi dan langit.
Saham bank lama hanya dihargai di bawah 3 kali PBV, kecuali BBCA. Sementara yang baru dengan stempel digital minimal 4,5 kali PBV.
Inilah persepsi yang diciptakan para influencer dan pom-pom di pasar yang rajin memprovokasi para investor ritel, yang umumnya milenial dan tidak berpengalaman. Mereka pun ikut-ikutan membeli tanpa mengerti fundamental sebuah saham, yaitu laba bersih atau earnings per share (EPS), dividen dan pertumbuhan ke depan. Tingkat pertumbuhan pada akhirnya harus dapat dicerminkan oleh kenaikan EPS juga.
Baca Juga: UU Pajak Disahkan, Jerat-Jerat Baru Pungutan Pajak Bertebaran
Ketika kapitalisasi pasar sebuah saham masih kecil, investor institusi biasanya belum tertarik. Akan tetapi, mereka, terutama aset manajemen, terpaksa ikut arus di pasar ketika kapitalisasi emiten menembus 20 besar, masuk kelompok blue chips dan menghuni indeks bergengsi.
Manajer investasi khawatir ada nasabah yang mempertanyakan mengapa mereka tidak memiliki saham itu. Agar tidak ditinggalkan pelanggannya, mereka pun mengoleksi saham yang sedang ngetren itu untuk dimasukkan ke portofolionya. Inilah yang terjadi dengan sebuah saham bank digital yang harganya naik seribuan persen sejak akhir Maret 2020 dan sempat menjadi satu dari lima saham dengan kapitalisasi pasar terbesar.
Saat harga saham bank itu Rp 10.350 akhir April lalu, saya menebak akan terjadi koreksi karena PBV sudah 17,5 kali dan perusahaan masih terus merugi sejak 2015. Yang terjadi harganya tetap naik hingga menembus Rp 16.675 bulan lalu dengan PBV 28,5 kali dan kapitalisasi pasar Rp 231,1 triliun.
Hebatnya lagi, pada harga yang sudah sangat tidak masuk akal ini, masih ada perusahaan sekuritas yang menerbitkan laporan risetnya dengan rekomendasi beli dengan target harga di Rp 21.000. Jika Anda terperdaya, Anda akan gigit jari karena akhir pekan lalu harganya hanya Rp 12.925. Sepengetahuan saya, baru kali ini perusahaan yang konsisten merugi bisa naik terus harganya bahkan masuk lima kapitalisasi pasar terbesar, hanya kalah dari BBCA, BBRI, TLKM dan BMRI.
Baca Juga: Dompet Digital Garap Ekosistem
Soal saham bank kecil yang harganya melesat ratusan hingga ribuan persen, ARTO tidak sendiri. Ada enam saham bank digital lain yang masuk top gainers sepanjang tahun ini, yaitu BBYB, BINA, BABP, BBSI, BBHI dan BANK, yang memberi return mulai 380% hingga 2.599%, masing-masing dengan rerata return 1.020%.
PBV dari enam bank itu pun terbang tinggi menjadi 4,5 hingga 44,9 kali, atau rata-rata 20,8 kali. Dengan nilai buku 1/20,9 kali harga pasar, berarti investor mesti siap hanya menerima 1/20,8 atau 4,8% dari yang dibayarkan, jika perusahaan dilikuidasi.
Sebelum munculnya euforia bank digital, pelaku pasar sepakat PBV wajar bank dan industri keuangan lainnya berada di kisaran 1 hingga 3. Ini karena aset industri keuangan isinya kredit dan pembiayaan, bukan di aset tetap seperti tanah, bangunan, mesin dan pabrik atau aset tidak berwujud, seperti paten dan lisensi.
Porsi aset tetap dan tidak berwujud di sebuah bank umumnya tidak lebih dari 5%. Dus, jika bank dan perusahaan pembiayaan dilikuidasi, kas yang diterima para pemegang saham tidak akan jauh dari nilai bukunya.
Belajar dari negara-negara lain, investor mestinya sadar euforia saham-saham bank kecil sudah sangat berlebihan. Sangat sedikit bank digital yang akan keluar sebagai pemenang.
Baca Juga: BTN Kejar DBS dan CIMB di Kawasan Asia Tenggara
Berdasarkan riset Boston Consulting Group (BCG), dari 249 bank digital yang ada di seluruh dunia, hanya 13 yang menguntungkan. Di Korea Selatan, dari tiga bank digital, hanya satu yang profitable, yaitu Kakao Bank. Sementara di Tiongkok, dari 16 bank digital, hanya empat bank yang untung. Salah satunya adalah WeBank yang menjadi model untuk banyak bank digital.
Di mana pun juga sumber keuntungan utama bank berasal dari spread atau net interest margin, yaitu menyalurkan kredit dalam jumlah besar dengan biaya dana yang kecil (CASA yang tinggi). Sementara fee-based income hanya sebagian kecil dan tidak pernah jadi andalan.
Perusahaan dan individu yang punya uang banyak dan mendominasi dana pihak ketiga (DPK) di perbankan kita yang mencapai Rp 7.100 triliun masih belum mau menaruh tabungan dan giro ratusan juta hingga miliaran rupiah di bank-bank baru itu. Total DPK di bank-bank kecil di atas masih sekitar 5% total DPK.
Selain itu, di bank-bank konvensional besar yang ketemu langsung saja kadang masih ada kasus pembobolan dana nasabah karena permainan oknum. Apalagi jika kedekatan pribadi itu tidak ada, karena semua branchless.
Seperti pandemi, euforia pun cepat atau lambat akan berlalu. Ketika jumlah positif Covid-19 terus turun, menjadi hanya 24.430 orang kemarin, tren yang sama juga akan terjadi di harga saham bank digital.
Selanjutnya: Dana Kelolaan Reksadana Susut Rp 21 Triliun Sepanjang Tahun Ini