KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan berada di atas hukum (rule by law). Begitulah kira-kira sikap yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Menerabas substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalih kegentingan. Sikap rule by law yang dipertontonkan nampak sangat arogan karena terkesan mengesampingkan fungsi dari lembaga-lembaga negara lain.
Keberadaan MK, juga DPR, menjadi seperti tak dianggap oleh pemerintah. Sudah jelas dalam putusannya, MK menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena tata cara pembentukan beleid tersebut tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.
Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi setelah terbit persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Maka itu, Omnibus Law itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan, yaitu 25 November 2020.
Sesuai mandat putusan MK, pemerintah harus memperbaiki beleid sapu jagat yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat tersebut. Tapi, alih-alih memperbaiki, pemerintah justru menerbitkan Perppu. Artinya, bisa dibaca, sikap pemerintah inkosisten dengan putusan MK.
Sebab, jika merujuk putusan MK, jelas yang harus diperbaiki adalah prosedur pembentukan UU Ciptaker. Dengan batas waktu perbaikan selama dua tahun, maka pemerintah harusnya lebih memaksimalkan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melakukan revisi UU Cipta Kerja.
Sebab, perbaikan cacat formil yang dimaksud itu terkait proses legislasinya, dan itu berlangsungnya di DPR.
Bukan justru mengambil jalan keluar dengan menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan. Dengan menerbitkan Perppu, pemerintah justru menghilangkan peran DPR sama sekali.
Ironisnya, selain bermasalah pada proses pembentukan, aspek substansi UU Ciptaker juga bermasalah, sehingga menuai protes dari banyak kalangan, terutama buruh.
Dalam Perppu, substansi yang disoal juga tidak banyak berubah. Pada akhirnya, terbitnya Perppu tetap menyulut gelombang protes.
Tidak menjawab persoalan, Perppu Cipta Kerja justru melahirkan ketidakpastian baru