Berita

Produksi Smelter Mulai Banjir, Pasar Lokal Belum Siap

Selasa, 21 Desember 2021 | 03:15 WIB
Produksi Smelter Mulai Banjir, Pasar Lokal Belum Siap

ILUSTRASI. Suasana?groundbreaking pabrik smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus Gresik, Selasa (12/10/2021).

Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung, Muhammad Julian | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Program hilirisasi mineral terus bergulir. Hasilnya pun mulai tampak. Kini, produk olahan bahan mineral dari smelter di Tanah Air terus membanjir pasar lokal. Persoalannya, daya serap pasar dalam negeri atas produk olahan smelter terbilang rendah.

Sebagai gambaran, kini tercatat  27 smelter nikel sudah beroperasi, dan total 53 smelter beroperasi hingga tahun 2024. Dari jumlah itu, ada dua smelter besar tembaga, yakni smelter milik Freeport Indonesia berkapasitas 600.000 ton, dan smelter Amman Mineral berkapasitas 250.000-300.000 ton per tahun. Kemudian ada 13 smelter alumina yang siap beroperasi dalam waktu dekat. 
 
Toh, pasar produk smelter ini belum jelas. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengungkapkan, saat ini penyerapan pasar lokal untuk produk dari smelter masih rendah. "Industri antara yang ada sedikit sekali," kata dia, kemarin.
 
Prihadi menjelaskan, produk olahan nikel bisa terserap maksimal jika pabrik baterai mulai terbangun. Namun penyerapan saat ini masih rendah. Sebab baru pabrik stainless steel di Morowali yang menyerap produk tersebut.
 
Sementara untuk produk olahan tembaga, penyerapannya hanya sepertiga dari total produksi. "Karena ada perbedaan sistem pembayaran dan kurangnya pendanaan di industri dalam negeri," imbuh Prihadi. Dia menilai, perlu ada kebijakan yang bisa menarik investor luar negeri mendirikan pabrik di Indonesia. 
 
Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama menyatakan, progres proyek smelter Gresik sudah 11% per Oktober 2021. Smelter ini berkapasitas 600.000 ton per tahun. Output katoda tembaga dari pabrik smelter baru ini akan diekspor. "Belum ada yang bisa menyerap dari industri lokal. Bahkan sampai saat ini output dari PT Smelting yang beroperasi sejak 1998 hanya terserap setengahnya di dalam negeri," kata dia.
 
Soal kesiapan industri domestik, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Fabby Tumiwa menggambarkan, untuk sel surya umumnya butuh bahan baku seperti tembaga. Namun saat ini industri lokal baru berupa perakitan modul surya. 
 
Tembaga juga penting untuk industri kabel. Menurut Fabby, setiap 1 megawatt (MW) instalasi PLTS butuh 4 ton-5 ton tembaga. 
 
Dengan industri yang hanya merakit modul surya, maka ada banyak komponen yang impor, seperti sel surya, hingga material pendukung seperti low iron tempered glass yang masih sebagian impor. "Idealnya di Indonesia ada produsen sel surya dan modul surya terintegrasi," kata dia.  

Ini Artikel Spesial

Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.

Sudah berlangganan? Masuk

Berlangganan

Berlangganan Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi, bisnis, dan investasi pilihan

Rp 20.000

Kontan Digital Premium Access

Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari

Rp 120.000

Berlangganan dengan Google

Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.

Terbaru
IHSG
7.288,81
0.29%
-21,28
LQ45
985,97
0.44%
-4,40
USD/IDR
15.853
0,35
EMAS
1.249.000
2,21%