KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepastian tentang siapa yang memimpin negeri ini selama lima tahun mendatang akhirnya muncul. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (30/6) menetapkan calon pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) nomor 1, Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Penetapan presiden dan wapres terpilih ini berselang lebih dari sebulan sejak KPU mengumumkan hasil perhitungan suara pemilihan presiden.
Seperti telah kita ketahui, hasil perhitungan suara KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf dengan perolehan 55,5 % suara, digugat oleh paslon nomor 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pasangan yang mengantongi 44,5% suara itu mengajukan sengketa hasil perhitungan suara ke Mahkamah Konstitusi. Namun MK, pada Kamis pekan lalu, menolak gugatan dari kubu Prabowo-Sandiaga. Penolakan ini otomatis mengesahkan hasil perhitungan suara KPU.
Usai dari penetapannya sebagai presiden terpilih, Jokowi menyatakan akan segera bekerja menyiapkan pemerintahannya. Ya, pernyataan itu sesungguhnya tidak keliru. Maklumlah, tugas yang mengadang pemerintahan baru, khususnya di bidang ekonomi, sangatlah tidak mudah.
Ada banyak tugas yang harus segera dibereskan pemerintahan mendatang, seperti mengungkit kembali pertumbuhan dari kisaran 5%. Ini sungguh tugas yang tidak ringan mengingat perekonomian dunia sedang lesu-lesunya akibat konflik dagang di antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat dan China.
Pemerintahan yang baru juga perlu melanjutkan upaya memperbaiki struktur ekonomi negeri ini. Reformasi struktural ini penting jika pemerintahan Jokowi-Maruf ingin memperbaiki ekspor berikut penanaman modal di negeri ini.
Untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang tugas yang akan dihadapi pemerintahan di periode 2019-2024, Kontan menampilkan artikel tentang pemerintahan baru dan tugas ekonomi yang menantinya. Selain menguraikan tentang permasalahan yang dihadapi pemerintahan yang akan bertugas mulai Oktober nanti, kami juga menyajikan agenda ekonomi yang dihadapi oleh tiga pemerintahan terdahulu.
Tulisan ketiga dari seri Tantangan Presiden Terpilih ini membahas tentang agenda ekonomi yang dihadapi oleh pemerintahan era 2009-2014.
Krisis ekonomi global 2008 mewarnai transisi masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode pertama dengan periode kedua.
Terpilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014, SBY, yang di periode kedua didampingi Boediono sebagai wakilnya, memikul beban berat untuk memimpin Indonesia keluar dari krisis ekonomi global.
Krisis finansial 2008 bermula dari krisis kredit pemilikan rumah yang dikenal dengan sebutan subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) yang mulai terkuak sejak medio 2017.
Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi.
Krisis subprime mortgage dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter The Federal Reserve yang secara bertahap mengerek suku bunga hingga mencapai puncaknya di tingkat 5,25% pada Juni 2006. Akibatnya, pasar perumahan AS terpukul memicu terjadinya kredit macet. Kredit macet tersebut melibatkan sekitar 2,2 juta orang AS dan total nilai sekitar US$ 950 miliar.
Bukan cuma itu, gelombang gagal bayar dan jatuhnya harga rumah di AS menyeret banyak institusi keuangan. Maklum, produk subprime mortgage telah dikemas dalam berbagai produk sekuritisasi aset dan produk derivatif yang melibatkan berbagai institusi keuangan dunia.
Krisis subprime mortgage mengakibatkan banyak institusi keuangan dunia merugi. Morgan Stanley, misalnya, mengalami kerugian US$ 9,4 miliar sementara Citigroup dan Merrill Lynch merugi masing-masing US$ 19,9 miliar dan US$ 22,4 miliar. Dampak paling buruk dialami oleh Lehman Brothers hingga akhirnya dinyatakan bangkrut pada September 2008.
Imbas krisis mortgage meluas mencapai Eropa dan asia. Bursa saham global jatuh dan terus mengalami tekanan hingga 2008.
Krisis kredit perumahan yang berimbas ke sektor keuangan dan pasar modal pada gilirannya mengganggu kinerja sektor riil dan pertumbuhan ekonomi global.
Perlambatan laju pertumbuhan ekonomi di 2008 terutama terlihat di negara-negara maju. Perekonomian AS, yang menopang hampir 30% pertumbuhan ekonomi dunia, melemah dan mencatatkan penurunan pertumbuhan sebesar 0,85% pada kuartal IV-2008.
Laju pertumbuhan negara maju lainnya seperti Inggris, Jerman, dan Jepang, juga menurun masing-masing 0,85%, 1,61%, dan 1,65% pada kuartal IV-2008.
Sentimen eksternal
Tren pelemahan ekonomi di negara-negara maju, cepat atau lambat, pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Makanya, pemerintah SBY-Jusuf Kalla (JK), di awal tahun sejak awal mulai melakukan antisipasi.
Meski tahun anggaran 2008 baru berjalan sebulan, pemerintahan SBY-JK mulai membahas Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P).
Maklum, asumsi makro yang mendasari penyusunan anggaran, khususnya asumsi pertumbuhan ekonomi, sudah tidak sejalan dengan situasi terbaru.
Dalam APBN 2008 yang disahkan pada Oktober 2007, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%. Namun, di APBN-P 2008, pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi menjadi 6,4%.
Toh, meski sudah diturunkan, target pertumbuhan ekonomi di dalam APBN-P 2008 itu tetap saja meleset. Realisasinya, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2008 hanya melaju sebesar 6%.
Memasuki 2009, krisis ekonomi gloal masih berlanjut. Ketidakstabilan di pasar keuangan global tetap terjadi dan pengetatan likuiditas tetap berlanjut.
Imbasnya, laju pertumbuhan ekonomi global di awal 2009 terus terus tertekan. Lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), beberapa kali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun 2009.
Pada April 2009, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia menurun sebesar 1,3%. Padahal, pada November 2008, IMF masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia sepanjang 2009 masih bisa melaju 2,2%.
Seiring penurunan pertumbuhan ekonomi global, perdagangan dunia juga mengalami kontraksi. Volume perdagangan dunia pada April 2009 diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 11%, jauh di bawah kinerja 2008 yang tumbuh 3%.
Pada gilirannya, kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia mengkibatkan penurunan permintaan komoditas global. Bisa ditebak, penurunan permintaan ini mengakibatkan harga komoditas global tertekan.
Dampak krisis
Situasi global yang merupakan dampak negatif krisis finansial inilah yang mesti SBY hadapi saat kembali memenangkan pemilihan presiden (pilpres) yang digelar pada Juli 2009.
Ekonom David Sumual mengatakan, tantangan bagi pemerintahan SBY jilid 2 berasal dari eksternal, yakni dampak krisis ekonomi 2008. "Ini tantangan paling berat," ujar David.
Di 2009, David bilang, banyak orang khawatir karena tidak tahu ke mana rupiah akan bergerak. Banyak dana asing hengkang dari Indonesia dan berpindah ke aset safe haven.
Perpindahan tersebut, menurut David, terbilang wajar. Di saat ada guncangan di dunia, dana asing biasanya memang akan lari ke safe haven.
Ekonom Adrian Panggabean mengatakan, tantangan terberat di 2009 sebetulnya berkaitan dengan sentimen dan ketidakpastian dari sudut pandang arah pergerakan aset global.
Karena krisis finansial, banyak orang bingung mau menempatkan uangnya. Saat itu, banyak orang memilih mengalihkan dana ke aset dalam dollar AS sebagai safe haven. Maklum, meski meski AS menjadi episentrum krisis finansial global, dollar AS tetaplah dipandang sebagai reserve currency.
Selain dollar AS, pelaku pasar memindahkan asetnya ke safe haven lainnya seperti euro, yen, dan franc Swiss. "Jadi, kita dihadapkan pada kondisi global flow pada waktu itu," ujar Adrian.
Imbasnya adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadao dollar AS. Memasuki awal 2009, nilai tukar rupiah terus melemah. Pada Maret 2009, nilai tukar rupiah sempat mencapai titik terendah di posisi Rp 12.020 per dollar AS.
Tantangan lain yang harus SBY hadapi, menurut David, adalah tren perlambatan ekonomi dan penurunan kinerja ekspor.
Sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas, pelemahan ekonomi global beserta tren penurunan harga komoditas jelas memukul perekonomian Indonesia.
Di awal 2009, kinerja ekpor Indonesia terus melemah. Sepanjang paruh pertama di tahun itu, nilai ekspor Indonesia tercatat US$ 50,02 mliar. Angka tersebut turun 28,94% dibandingkan nilai ekspor semester I-2008.
Laju perekonomian Indonesia juga menunjukkan perlambatan. Sepanjang semester I-2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,2%.
Ekonomi Makro Indonesia Saat Krisis 2008 | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|
APBN 2008 | APBN-P 2008 | Realisasi 2008 | APBN 2009 | APBN-P 2009 | Realisasi 2009 | |
Pertumbuhan Ekonomi (%) | 6.8 | 6.4 | 6 | 6 | 4.3 | 4.5 |
Tingkat Inflasi (%) | 6 | 6.5 | 11.1 | 6.2 | 4.5 | 2.8 |
Rata-Rata Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) | 9,100 | 9,100 | 9,691 | 9,400 | 10,500 | 10,408 |
Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) | 7.5 | 7.5 | 9.3 | 7.5 | 7.5 | 6.5 |
Harga Minyak ICP (US$/Barel) | 60 | 95 | 96.8 | 80 | 61 | 80 |
Lifting Minyak (Juta Barel/Hari) | 1 | 0.927 | 0.931 | 0.96 | 0.96 | 0.944 |
Sumber: Kementerian Keuangan |
Meski melambat, ekonomi Indonesia masih lebih baik dibanding banyak negara lain. Sebab, di awal 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif. Sementara pertumbuhan ekonomi di banyak negara mengalami kontraksi.
Menurut David, Indonesia beruntung masih bisa tumbuh di kisaran 4%. Ini karena ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik.
Dengan pasar yang begitu besar, ekonomi Indonesia memang tidak terlalu bergantung pada pasar ekspor. Kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya di kisaran 24%. Bandingkan dengan ekonomi Thailand atau Singapura yang kontribusi ekspornya di atas 100%.
"Saat itu, IMF dan World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 1%-2%. Namun, saya optimistis, optimistis, pertumbuhan ekonoi Indonesia paling tidak mencapai 3,5% karena kontribusi konsumsi domestik mencapai 56%,' ujar David.
Stimulus fiskal
Di awal tahun 2009, pemerintahan SBY-JK merilis program stimulus fiskal. Program ini merupakan paket kebijakan yang ditujukan untuk meredam dampak negatif krisis ekonomi global. Saat itu, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 73,2 triliun untuk melaksanakan program tersebut.
Melalui program ini, pemerintah memberikan stimulus baik pada sisi pendapatan maupun belanja. Tujuannya, pertama, memeliharan daya beli masyarakat.
Kedua, menjaga daya tahan sektor usaha dalam menghadapi krisis global. Ketiga, meningkatkan daya serap tenaga kerja dan meredam pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya.
Di sisi penerimaan, pemerintah memberikan stimulus melalui pemotongan pajak dan subsidi pajak. Sedangkan di sisi belanja, pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk penurunan harga solar, diskriminasi tarif listrik bagi industri, perluasan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan tambahan belanja infrastruktur.
Di bidang perpajakan, pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk pemotongan pajak berupa penyederhanaan lapisan penghasilan, penurunan tarif pajak penghasilan, dan kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Tentu saja, kebijakan pemberian stimulus ini berdampak terhadap keuangan negara. Maklum, pemotongan pajak jelas berpotensi menurunkan pendapatan negara. Di sisi lain, tambahan belanja infrastruktur membuat anggaran belanja bertambah.
Perubahan anggaran tersebut, beserta perubahan asumsi makro akibat krisis global, diakomodasi dalam APBN-P 2009 yang disahkan pada Agustus 2009.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) berupaya mendorong perekonomian domestik dengan melonggarkan kebijakan moneter. Sepanjang 2009, BI beberapa kali menurunkan BI Rate dari 9,25% di akhir 2008 menjadi 6,5%.
Menurut David, stimulus fiskal merupakan bentuk kebijakan countercyclical yang dilakukan saat ekonomi dalam kondisi buruk Jadi, saat siklus ekonomi sedang turun, perlu kebijakan untuk mendorong pemulihan.
Nah, kebijakan countercyclical dengan tujuan menjaga daya beli masyarakat merupakan langkah tepat. David mengatakan, sumber kekuatan ekonomi kita berada di konsumsi masyarakat dengan kontribusi saat itu mencapai 56% terhadap PDB.
Nah, kekuatan itulah yang perlu dipompa. Inilah yang disebut pump priming, langkah untuk menstimulasi ekonomi melalui pengurangan pajak, belanja pemerintah, dan pemangkasan suku bunga.
Bagi Adrian, strategi pemerintahan SBY dalam menghadapi dampak krisis 2008 melalui stimulus fiskal sejatinya merupakan jurus lama. Jurus seperti itu sudah digunakan sejak krisis moneter 1998.
"Namanya saja yang diganti-ganti namun intinya sama, yakni targeted spending untuk mendorong belanja masyarakat di tingkat bawah," ujar Adrian.
Booming komoditas
Bagaimana pun, konsumsi domestik pada saat itu memang menjadi penolong ekonomi Indonesia menghadapi dampak krisis 2008.
Maklum, selain konsumsi masyarakat merupakan kontrubitor paling besar terhadap PDB, ekonomi Indonesia saat itu tidak bisa berharap dari sumber lainnya seperti investasi maupun ekspor.
Saat SBY-Beodinono dilantik secara resmi menjadi presiden dan wakil presiden, kondisi ekonomi Indonesia relatif sudah lebih baik. Tantangan bagi SBY di awal periode kedua relatif lebih ringan dibandingkan dengan akhir masa pemerintahannya di periode pertama.
Ekonomi dunia memang pulih lebih cepat. Langkah pemerintah negara maju dan berkembang merilis paket stimulus mulai membuahkan hasil. Konsumsi rumah tangga di banyak negara mulai menunjukkan perbaikan.
Begitu juga, injeksi likuiditas yang dilakukan bank sentral di banyak negara berhasil meredakan pengetatan likuiditas.
Pada kuartal III-2009, aktivitas ekonomi global mulai membaik yang ditunjukkan oleh membaiknya aktivitas industri.
Indonesia, David bilang, termasuk negara yang paling cepat pulih. Memasuki kuartal III-2009, tanda-tanda pemulihan sudah mulai tampak.
Di kuartal IV-2009, saat SBY mulai menjabat sebagai presiden periode kedua, ekonomi Indonesia bisa dikatakan jauh lebih baik dibandingkan periode awal 2009.
Nilai tukar rupiah, misalnya, yang pada Maret 2009 sempat menyentuh Rp 12.000 per dollar AS mulai menguat. Di akhir 2009, rupiah ditutup di posisi Rp 9.425 per dollar AS.
Kinerja ekspor mulai menggeliat. Meski nilai ekspor sepanjang 2009 tercatat menurun dibandingkan 2008, kinerja ekspor di semester II-2009 mulai menunjukkan kenaikan dibandingkan periode awal tahun.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2009 tercatat 4,5%. Meski melambat dibandingkan 2008, pertumbuhan ekonomi 2009 tercatat lebih baik dibandingkan proyeksi awal. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat tertinggi ketiga setelah China dan India.
Pada tahun-tahun berikutnya, Adrian mengatakan, pemerintahan SBY jilid 2 lebih banyak mendapat keuntungan dari faktor eksternal.
Kebijakan ekonomi global yang akomodatif sejak 2009 menjadi pendorong kenaikan harga komoditas di pasar dunia. Permintaan komoditas seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batubara meningkat, khususnya dari China yang saat itu sudah menjadi jangkar perekonomian global.
Booming harga komoditas yang melanda sejak 2010 itu menjadi berkah bagi Indonesia sebagai pengekspor komoditas.
Di saat harga komoditas mencapai puncak dan akan jatuh di 2012, The Federal Reserve mulai menggelar quantitative easing (QE). Pasokan uang berlimpah hingga membanjiri negara berkembang. Aliran dana asing ke Indonesia mengucur deras. Investment booming ini lagi-lagi menjadi berkah bagi Indonesia.
Dua fenomena ini, booming harga komoditas dan booming investasi, menjadi faktor eksternal yang menguntungkan perekonomian Indonesia di masa kepemimpinan SBY jilid 2.