Berita Market

Stable Coin Bisa Jadi Hedging Saat Aset Kripto Lain Terkoreksi

Selasa, 01 Maret 2022 | 04:45 WIB
Stable Coin Bisa Jadi Hedging Saat Aset Kripto Lain Terkoreksi

Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang antara Rusia dan Ukraina masih berkecamuk. Periode penuh ketegangan ini membuat pasar diselimuti ketidakpastian. 

Imbasnya, aset berisiko dijauhi. Pelaku pasar mengalihkan dana ke safe haven. Akibatnya, harga aset kripto berguguran, setelah sebelumnya tertekan kebijakan bank sentral berbagai negara. 

Dalam kondisi ini, pengamat pasar kripto menyarankan investor kripto hedging ke stable coin. COO Digital Exchange Indonesia Duwi Sudarto Putra menyebut, investor bisa melindungi nilai portofolio investasi di tengah penurunan nilai kripto belakangan ini dengan masuk ke stable coin. "Posisi ini berguna bagi investor untuk mendapatkan selisih keuntungan," jelas Duwi.

Baca Juga: Waspada Crypto Winter di Tahun Ini

Menurut Duwi, stablecoin bisa jadi pilihan safe haven yang menarik lantaran punya proses pengiriman yang cepat dan biaya yang lebih kompetitif dibandingkan dengan instrumen safe haven konvensional, seperti dollar Amerika Serikat atau emas. 

CEO Triv Gabriel Rey menjelaskan, stablecoin jauh lebih menguntungkan dibandingkan dollar Amerika Serikat (AS) berbentuk fisik. Salah satu keunggulannya adalah potensi melakukan staking untuk mendapatkan bunga. 

Staking adalah salah satu bentuk investasi kripto di mana investor mengunci posisi kriptonya di dompet digital dalam durasi tertentu untuk mendapat keuntungan. Keuntungan diperoleh karena dana yang disimpan digunakan untuk memvalidasi transaksi dalam konsensus algoritma proof of stake (PoS).

Gabriel mencontohkan, di Triv, investor bisa melakukan staking melalui TerraUSD (UST). Bunga yang didapat bisa mencapai 10%. Jadi, walau secara harga pergerakan stablecoin selalu stabil, tapi bunga dari staking bisa dijadikan sumber keuntungan.

Baca Juga: Menimbang Aset Kripto yang Paling Menarik untuk Tahun 2022

Sementara risiko stablecoin, menurut Duwi, bisa dilihat dari masing-masing penerbit stablecoin, dalam hal transparansi dan proses audit. Ia mencontohkan, stablecoin seperti tether (USDT) punya risiko lebih tinggi karena kurang bisa dipercayai. USDT punya underlying dollar AS, namun uang tersebut disimpan di bank offshore yang kurang bisa dipercaya. USDT pun tidak diaudit rutin. 

Sementara Binance USD (BUSD) diaudit setiap bulan untuk memastikan uang yang ada di bank sama dengan BUSD yang beredar. Lalu USD Coin (USDC) mengikuti regulasi AS dan bekerjasama dengan bank dan auditor untuk diaudit setiap bulan. 

"Menggunakan USDC dan BSUD sebagai pair lebih aman dibandingkan menggunakan USDT," kata Duwi. Gabriel menyarankan, Tether tidak dipegang dalam jumlah banyak. Investor juga bisa dollar cost averaging (DCA) pada bitcoin. 

Baca Juga: Intip Kinerja Tiga Aset Kripto Dengan Kapitalisasi Terbesar Sepanjang 2021

Terbaru