Ted Sioeng, Tudingan Pengemplang Utang Hingga Jadi Buronan Interpol
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar tak sedap menyapa pemilik Sioeng Group, Ted Sioeng. Sebuah dokumen Interpol Red Notice (IRN) yang dupublikasikan 27 April 2023 atas permintaan Bareskrim Polri, menempatkan pria kelahiran Jakarta, 16 November 1945 tersebut menjadi buronan internasional.
Penyebabnya, Ted Sioeng mangkir dari kewajiban pembayaran utang. Hingga akhirnya, putusan pailit dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor putusan 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 5 Juni 2023.
Kreditur Ted Sioeng adalah PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA). Dalam dokumen IRN tersebut diterangkan, Ted Sioeng awalnya mengajukan fasilitas kredit senilai Rp 203 miliar, kepada Bank Mayapada per tanggal 1 September 2014.
Dana tersebut dikatakan debitur, akan dipakai untuk berinvestasi di bidang properti dan sebagai modal kerja. Pada perjalanannya, Ted Sioeng hanya membayar sebagian dari pinjaman yang dia terima.
Dari total nilai pinjaman Rp 203 miliar, masih tersisa Rp 130 miliar yang masih menjadi kewajiban Ted Sioeng. Bank Mayapada telah melayangkan tiga kali surat somasi kepada Ted Sioeng, yakni tertanggal 12 September, 29 September, dan 24 November 2022. Namun Ted Sioeng tidak pernah merespon surat somasi tersebut.
Dalam dokumen IRN tersebut dikatakan, aksi Ted Sioeng dibantu oleh putrinya yang bernama Jessica Gatot Elnitiarta (Jessica). "Jessica Elnitiara saat ini juga menjadi tersangka dan subjek IRN, karena memalsukan dokumen perusahaan (Ted Sioeng) yang dijadikan jaminan kredit," tulis pihak berwajib dalam dokumen tersebut.
Akhirnya, kasus fasilitas kredit itu pun berakhir di meja hijau. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pailit kepada Ted Sioeng dengan nomor putusan 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 5 Juni 2023. Bertindak sebagai kurator dalam kasus kepailitan tersebut adalah Risma Situmorang dan Joni Khurniawan.
Tidak hanya Ted Sioeng, pada saat yang sama Jessica juga dijatuhi putusan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat dengan nomor putusan 58/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 5 Juni 2023. Adapun Mohammad Khoironi bertindak sebagai kurator dalam perkara kepailitan tersebut.
Guna menindaklanjuti kedua putusan tersebut, agenda sidang rapat kreditur pun disusun. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Rapat kreditur pertama diagendakan pada tanggal 27 Juni 2023.
2. Batas akhir pengajuan tagihan para kreditur dan pajak pada 11 Juli 2023.
3. Rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak pada 25 Juli 2023.
Berubah nama
Seorang sumber KONTAN menceritakan bahwa Ted Sioeng dahulu bernama Gatot S. "Rahasia umum, di era 80-an, orang ini sangat ditakuti oleh perusahaan asuransi," tutur sumber KONTAN beberapa waktu lalu.
Hal itu karena Ted Sioeng diduga kerap membakar properti dan kapal-kapal yang diasuransikan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan klaim. "Properti dibakar, kapal ditenggelamkan. Hal itu yang membuat perusahaan-perusahaan asuransi harus menanggung kerugian dari pembayaran klaim," imbuh sumber KONTAN.
Daftar perbuatan Ted Sioeng inilah yang menjadi perguncingan dan sampai ketelinga pemerintah Orde Baru. Sumber KONTAN menambahkan, sejak saat itu, Gatot menjadi incaran pemerintahan Orde Baru, karena dianggap meresahkan.
Namun, Ted Sioeng yang lebih dahulu mengetahui bocoran mengenai rencana pemerintah kala itu, langsung melarikan diri ke luar negeri.
Dia ditehaui pernah menetap di Amerika Serikat (AS), dan kemudian berpindah ke China. Sebelum akhirnya kembali ke Indonesia dengan menggunakan nama Ted Sioeng.
Kembalinya Gatot ke Indonesia dengan menggunakan nama baru Ted Sioeng, seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang dwi kewarganegaraan UU ini menganut asas kewarganegaraan tunggal, sehingga tidak akan ada lagi seseorang warga negara Indonesia yang memiliki dwi kewarganegaraan
Hal ini lantaran berdasarkan Undang-Undang Kebangsaan China Tahun 1909, menyatakan bahwa setiap keturunan Tionghoa dimanapun mereka dilahirkan akan tetap dianggap sebagai warga negara China. Akibatnya, setiap orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia memiliki dwi kewarganegaraan. Alhasil, Gatot telah menjelma menjadi Ted Sioeng setelah tahun 2006.
KONTAN mencoba menelusuri jejak Ted Sioeng guna meminta konfirmasi berdasarkan alamat yang tertera dalam Putusan Pailit Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat No.55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 5 Juni 2023.
Alamat yang tertera putusan hakim adalah Jalan Gunung Sahari XII/12A RT 016/RW 003 Kelurahan Gunung Sahari Utara, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Namun sayang, alamat rumah nomor 12A tidak ada di daerah itu. Warga sekitar pun tidak mengenal Ted Sioeng.
Namun, sejumlah warga menyebut mengenal pria berperawakan wajah india berambut putih yang mereka kenal dengan nama Gatot. Orang ini dahulu dikenal sebagai orang kaya, hingga akhirnya keberadaannya tidak diketahui lagi.
"Dulu ada warga bernama Gatot. Dia memang berperawakan India berambut putih. Penguasaha, namun jarang berkumpul bersama warga," ujar wanita lanjut usia yang merupakan warga sekitar yang sudah mendiami kawasan ini sejak 60 tahun silam, kepada KONTAN, Sabtu (17/6).
Alhasil, upaya KONTAN mendapatkan konfirmasi pengenai Ted Sioeng pun belum berhasil.
Satu lagi yang perlu dicatat, Ted Sioeng menyematkan nama Gatot kepada lima anaknya, hasil pernikahan dengan Sundari Elnitiarta. Mereka terdiri dari Jessica Gatot Elnitiarta, Sandra Gatot Elnitiarta, Laureen Gatot Elnitiarta, Yopie Gatot Elnitiarta dan Yaohan Gatot Elnitiarta.
Cerita dari AS
Bukan hanya di Indonesia, jejak kontroversial Ted Sioeng juga terekam hingga Negeri Paman Sam. Di Amerika Serikat (AS), pada 1996 silam, Sioeng diduga terlibat dalam aktivitas ilegal atau tidak pantas sehubungan dengan kampanye Pemilu AS. Dia diketahui telah menyumbangkan dananya ke Konvensi Nasional Partai Demokrat (DNC). Di AS, partai politik maupun calon presiden/wakil presiden dilarang menerima sumbangan dana kampanye dari orang dan entitas asing.
Berdasarkan investigasi Senate Committee On Governmental Affairs, Ted Sioeng terlibat dalam aktivitas ilegal atau tidak pantas sehubungan dengan kampanye Pemilu AS pada tahun 1996.
Hubungan Sioeng dengan Pemerintah China telah menjadi bahan spekulasi media sejak awal 1997. Berdasarkan penyelidikan Komite, diketahui bahwa Sioeng bekerja, dan mungkin masih berfungsi, atas nama pemerintah China.
Sioeng secara teratur berkomunikasi dengan kedutaan RRC dan pejabat konsuler di berbagai lokasi di Amerika Serikat, dan sebelum penyelidikan dana kampanye mencuat, dia sering bepergian ke Beijing di mana Sioeng dilaporkan dan mendapatkan pengarahan oleh pejabat Partai Komunis China.
The Times melaporkan, sebagaimana dikutip Los Angeles Times pada 18 Mei 1997, penyelidikan Sioeng berasal dari komunikasi rahasia antara Beijing dan kedutaan besar China di Washington yang dicegat oleh intelijen AS. Komunikasi tersebut diduga menguraikan rencana rahasia untuk memperluas pengaruh China dalam proses politik AS. Sioeng dan keluarganya segera membantah tudingan sebagai mata-mata Tiongkok.
Selama penyelidikan, Komite menerima informasi terbatas mengenai rencana Beijing untuk mempromosikan kepentingan Pemerintah China di Amerika Serikat selama siklus pemilu 1996.
Rencana Tiongkok menyusul kekhawatiran mereka terhadap tanda-tanda suksesnya lobi sukses Taiwan -- seteru abadinya -- terhadap Washington. Hal itu, misalnya tecermin dari kebijakan AS pada Juni 1995 yang memberikan izin kepada Presiden Taiwan untuk memasuki AS dalam rangka kunjungan informal ke Universitas Cornell, almamaternya.
Sebagian besar kekayaan Sioeng diperoleh setelah pemerintah China memberinya hak untuk mengekspor merek rokok paling populer di negara itu, Red Pagoda Mountain (Hong Ta Shen). Catatan menunjukkan keluarganya memiliki hotel, kondominium mewah, dan bisnis lain di daerah Los Angeles. Namun menurut sumber KONTAN, pada bisnis rokok di AS Ted Sioeng kabarnya memalsukan sokok merek Marboro, sehingga seorang anaknya yang bernama Yopie Gatot Elnitiarta harus meringkuk dibalik jeruji besi.
Akuisisi keluarganya atas surat kabar berbahasa Mandarin di Monterey Park memberi Sioeng kendaraan untuk s citranya sebagai pembela kepentingan Tiongkok. Misalnya, selama kunjungan Presiden China Jiang Zemin ke New York pada tahun 1995, surat kabar Sioeng memuat foto halaman depan mereka bersama.
Koran tersebut, dengan sirkulasi yang dilaporkan sekitar 20.000 eksemplar, didistribusikan di Los Angeles, San Francisco dan kota-kota lain dengan populasi masyarakat Tionghoa yang cukup besar.