Wacana Badan Penerimaan Negara

Senin, 28 Oktober 2024 | 05:25 WIB
Wacana Badan Penerimaan Negara
[ILUSTRASI. stvgott]
Prianto Budi Saptono | Dosen Tetap Departemen Ilmu Administrasi Fiskal UI; Direktur Eksekutif Pratama-Institute for Fiscal Policy and Governance Studies

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik pada 20 Oktober 2024. Mereka akan mengemban amanah sebagai pemimpin eksekutif tertinggi hingga lima tahun mendatang. Belum lekang dalam ingatan tentang upaya Prabowo-Gibran yang berambisi meningkatkan tax ratio Indonesia hingga angka 23%. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang bersifat otonom.

Tidak lama setelah dilantik, wacana pembentukan BPN kembali menyeruak. Bukan mengenai kepastian pembentukannya, namun justru penundaan. Pertanyaan kemudian muncul: apakah Presiden Prabowo masih akan merealisasikan janji kampanyenya untuk membentuk BPN guna meningkatkan tax ratio? 

Seperti diketahui, tidak lama setelah dilantik, Prabowo mengeluarkan instruksi mengenai perombakan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tidak lagi di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029.

Baca Juga: Konversi Utang BNBR Jadi Saham, Pemiik SMIL Juga Pemegang Saham BTEK Bersama Asabri

Melalui mandat tersebut, tupoksi Kemenkeu akan langsung berada di bawah koordinasi/komando Presiden. Artinya, Menteri Keuangan akan berkoordinasi langsung kepada Presiden perihal keuangan negara. Pada akhirnya, kebijakan tersebut kembali memunculkan pertanyaan mengenai apakah BPN batal dibentuk lagi. Pasalnya, wacana pembentukan BPN mengemuka bukan baru-baru ini saja. Usulan pembentukan BPN sudah ada sejak 2016, yaitu melalui Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) 2016. RUU itu menargetkan BPN mulai efektif beroperasi pada 1 Januari 2017.

Akan tetapi, menurut Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan saat itu, pilihan paling rasionalnya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) tetap di bawah Kemenkeu. Alasannya agar Menkeu bisa lebih powerful secara kelembagaan dan kebijakan fiskal. 

Baca Juga: Belajar dari Kepailitan Sritex (SRIL): Sejarah Berdiri Hingga Nasib Investor

Kini, era baru dimulai. Mandat Menteri Keuangan kembali jatuh ke pundak Sri Mulyani. Tak lama setelah kembali menjadi Menkeu, Sri Mulyani dalam pertemuannya dengan Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan, menegaskan bahwa pemerintah baru akan menunda pembentukan BPN. Hal tersebut semakin mengerucut pada kesimpulan bahwa BPN akan kembali batal dibentuk. Alasannya, belum ada urgensi yang mendesak untuk membentuk BPN. 

Narasi tersebut cukup beralasan mengingat DJP dan DJBC masih menjadi bagian dari kebijakan fiskal dari sisi penerimaan di APBN. Sementara itu, dari sisi pengeluaran, terdapat kebijakan berupa belanja negara dan transfer ke daerah yang kedua peran tersebut juga dikelola oleh Kemenkeu. Fungsi-fungsi tersebut dianggap masih berjalan baik di bawah kendali Kemenkeu.

Baca Juga: PBRX Perpanjang PKPU Sementara SRIL Pailit, Jalan Terjal Pebisnis TPT di Indonesia

Selanjutnya, faktor regulasi juga menjadi variabel yang mengakibatkan pembentukan BPN tertunda. Sejauh ini, otoritas kebijakan fiskal berada di tangan Menkeu yang mendapat kuasa dari presiden sesuai Pasal 6 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Selain itu, organisasi Kemenkeu saat ini masih mengacu Peraturan Presiden No. 57/2020 tentang Kementerian Keuangan yang menegaskan bahwa DJP dan DJBC masih di bawah Kemenkeu. 

Ketika dua aturan tersebut tidak diubah oleh pemerintah, secara ototmatis DJP dan DJBC tetap berada di bawah Kemenkeu. Artinya, BPN sebagai badan penerimaan negara yang bersifat semi otonom tidak bisa dibentuk. Dengan demikian, wacana pembentukan BPN sepertinya akan terus sebatas wacana.  

Efektivitas BPN

Berdasarkan beberapa riset dan fakta empirik di banyak negara, model BPN ini berkaitan dengan konsep kelembagaan yang biasa disebut sebagai Semi Autonomous Revenue Authority (SARA). Contohnya adalah IRAS Inland Revenue Authority di Singapura, Amerika Serikat melalui Internal Revenue Service (IRS), di Australia ada Australian Tax Office (ATO), dan Malaysia dengan Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN).

Baca Juga: Pasar Mobil Lesu Darah, Pabrikan Mobil Pangkas Target Penjualan

Beberapa di antara lembaga SARA tersebut terbukti mampu menjaga tax ratio di angka yang ideal. IRS sebagai contoh nyata keberhasilan lembaga penerimaan negara bersifat otonom yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi tingginya tax ratio negeri Paman Sam. IRS terbilang cukup agresif dalam mengumpulkan pajak. Melalui Internal Revenue Code Section 7602, IRS bisa memperoleh data/informasi wajib pajak dalam bentuk apapun dari bank. 

Kehadiran BPN diharapkan mampu menjawab persoalan paling mendasar mengenai peningkatan tax ratio (perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestrik bruto atau PDB). Ketika rasio pajak meningkat, pemerintah punya keleluasaan lebih banyak untuk mengalokasikan belanja negara dan transfer ke daerah. Jika rasio pajak tak kunjung meningkat, sedangkan belanja negara cenderung terus meningkat, defisit anggaran jadi keniscayaan dan biasanya ditutup dengan pinjaman negara.

Baca Juga: Prabowo Siapkan Rencana Penyelamatan Sritex

Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022, tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2022. Capaian tax ratio Indonesia pada 2023 hanya 10,21%. Sebagai negara dengan potensi pajak yang besar, rendahnya tax ratio tentu menjadi pekerjaan rumah yang kolosal dan berkepanjangan.

Kompleksitas persoalan turut menuntut pemerintahan baru untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meningkatkan penerimaan negara. Terlebih nasib fiskal sebuah negara sangat bergantung pada efisiensi dan efektivitas pemungutan hingga pengelolaannya. Tak berhenti sampai di situ, seberapa patuhnya warga negara dalam membayar pajak juga menjadi faktor kunci yang tidak terpisahkan. 

Baca Juga: Mandiri Herindo Adiperkasa (MAHA) Mengangkut Cuan dari Jasa Angkutan Tambang

Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan jika ke depannya BPN jadi dibentuk. Pertama, BPN harus berperan aktif terhadap peningkatan literasi pajak di kalangan masyarakat. Harapannya, kesadaran pajak semakin meningkat. Kedua, pembentukan BPN sebaiknya diiringi reformasi kebijakan perpajakan yang berorientasi pada penyederhanaan aturan perpajakan. Simplifikasi ini diharapkan bisa menurunkan tingginya biaya kepatuhan pajak dan meningkatkan tax compliance wajib pajak.

Pekerjaan rumah meningkatkan tax ratio praktis menjadi urgen untuk dituntaskan oleh pemerintahan Prabowo Subianto. Dibentuk atau tidaknya BPN, isu utama kebijakan fiskal di Indonesia masih berkutat pada upaya peningkatan tax ratio. Untuk itu, urgensi keberadaan BPN tidak terlepas dari perannya menjadi alternatif upaya meningkatkan tax ratio. 

Baca Juga: Negara Berkembang Jadi Tumpuan Ekonomi Global Hingga 2035, Indonesia di Posisi ke-4

Berbagai cara telah dilakukan, dari menyesuaikan kebijakan, hingga mereformasi undang-undang perpajakan, yang belum membawa dampak signifikan pada tax ratio. Di tengah kebuntuan upaya untuk menaikkan tax ratio, wacana pembentukan BPN yang terpisah dari Kemenkeu sebetulnya patut dicoba. Pertanyaannya, apakah pemerintah akan cukup berani?

Selanjutnya: Pemuda Gen Z

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Kasus Dugaan Gratifikasi 5 Mantan Karyawan BEI Bergulir ke Bareskrim, Ini Detailnya
| Senin, 28 Oktober 2024 | 21:18 WIB

Kasus Dugaan Gratifikasi 5 Mantan Karyawan BEI Bergulir ke Bareskrim, Ini Detailnya

Kasus gratifikasi yang melibatkan 5 eks karyawan PT BEI menjadi delik tindak pidana.

Kreditur Ramai-Ramai Buka Suara Ihwal Kasus Utang dan Vonis Pailit Sritex
| Senin, 28 Oktober 2024 | 21:01 WIB

Kreditur Ramai-Ramai Buka Suara Ihwal Kasus Utang dan Vonis Pailit Sritex

Bank yang memiliki piutang paling besar ke PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA).

Menghitung Dampak Program 3 Juta Rumah Prabowo ke Permintaan Semen di 2025
| Senin, 28 Oktober 2024 | 18:59 WIB

Menghitung Dampak Program 3 Juta Rumah Prabowo ke Permintaan Semen di 2025

Penurunan anggaran APBN infrastruktur di tahun 2025, kebutuhan semen bagi infrastruktur mencapai 18,4 juta ton. 

Penyelamatan Sritex yang Terancam Pailit, Perlukah?
| Senin, 28 Oktober 2024 | 18:18 WIB

Penyelamatan Sritex yang Terancam Pailit, Perlukah?

Opsi dan skema penyelamatan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex akan disampaikan dalam waktu secepatnya.

Aroma Intervensi di Investasi Dana Pensiun Milik OJK
| Senin, 28 Oktober 2024 | 16:43 WIB

Aroma Intervensi di Investasi Dana Pensiun Milik OJK

 Awal tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis beleid yang mengatur ulang soal investasi dana pensiun.

Antar Sesuai Titik: GOTO Menuju Target Tiga Nol di 2030
| Senin, 28 Oktober 2024 | 13:48 WIB

Antar Sesuai Titik: GOTO Menuju Target Tiga Nol di 2030

Saham GOTO layak masuk pertimbangan para investor yang mengutamakan dampak terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. 

Melihat Tren Energi Global di 2025 Versus Kebijakan Energi Pemerintah Prabowo
| Senin, 28 Oktober 2024 | 12:39 WIB

Melihat Tren Energi Global di 2025 Versus Kebijakan Energi Pemerintah Prabowo

Regulasi Pemerintah RI di bidang energi hijau dinilai belum jelas.

Prabowo Punya PR Besar Kembalikan Kepercayaan Pasar
| Senin, 28 Oktober 2024 | 12:38 WIB

Prabowo Punya PR Besar Kembalikan Kepercayaan Pasar

Pasar masih diwarnai sejumlah keraguan karena belum banyak kejelasan teknis program unggulan. 

Biarkanlah Keuntungan Mengalir dan Membatasi Kerugian
| Senin, 28 Oktober 2024 | 11:58 WIB

Biarkanlah Keuntungan Mengalir dan Membatasi Kerugian

Tanpa trader, pasar saham sepi, likuidtas berkurang. 

Tarik Investasi Asing ke Indonesia, Skema Power Wheeling Terbatas Bisa Jadi Opsi
| Senin, 28 Oktober 2024 | 10:00 WIB

Tarik Investasi Asing ke Indonesia, Skema Power Wheeling Terbatas Bisa Jadi Opsi

Jika tidak ada kemudahan akses energi hijau, dikhawatirkan investor asing lebih memilih negara lain.

INDEKS BERITA

Terpopuler