KONTAN.CO.ID - Break-even effect merupakan salah satu bias prilaku keuangan yang dialami investor individual. Bias ini bisa dianggap sebagai kelanjutan efek disposisi.
Kecenderungan investor individual menahan saham rugi lebih lama dibanding menahan saham untung telah membuka kesempatan pembelian tambahan saham rugi lebih besar, dibanding pembelian tambahan saham untung. Tujuan pembelian tambahan saham rugi ini untuk menurunkan average price atau level break-even. Efek break-even jadi salah satu penyebab investor individual merugi ketika bertansaksi di pasar saham.
Thaler dan Johnson (1990) mengatakan, ketika investor merugi pada sebuah transaksi atau saham, kemungkinan dapat keluar dari posisi tersebut tanpa mengalami kerugian menjadi sebuah ide yang sangat menarik.
Investor individual terjebak dengan melakukan pembingkaian (framing) bahwa pembelian tambahan saham yang merugi itu adalah keputusan yang baik. Harganya juga lebih murah dari harga pembelian awal dan menurunkan harga pembelian rata-rata.
Sebenarnya, membeli tambahan saham rugi adalah keputusan yang tidak tepat, kerena mengalokasikan sumber daya pada investasi rugi. Bayangkan, kita memiliki bisnis pakaian yang menjual tiga baju, yakni merah, biru dan kuning. Ternyata baju merah sangat laku dan diminati konsumen, sedangkan baju kuning penjualannya biasa saja. Di sisi lain baju biru tidak laku. Ini menyebabkan harga baju biru turun dan diskon di pasaran.
Baca Juga: Wake Up Call: Waran Terstruktur, Investasi Baru di Bursa
Sebagai pedagang pakaian, apa kita akan menghabiskan stok baju merah dan kuning, kemudian membeli baju biru yang tidak laku tetapi harganya sedang turun? Apakah kita berharap baju biru mendadak di minati dan penjualannya naik sehingga harga naik? Ini yang kurang lebih dilakukan pelaku pasar saham yang melakukan averaging down.
Fenomena efek break-even ini bisa dijelaskan oleh mental akuntasi yang dikemukan R. Thaler (1985). Investor individual melihat setiap saham sebagai akun-akun terpisah dan tidak menghitungnya secara bersama-sama sebagai sebuah portofolio. Investor individual tidak melihat keuntungan dan kerugian total dari seluruh saham dalam portofolio tetapi fokus kepada keuntungan dan keurigan per saham.
Dengan membeli tambahan saham rugi, harga rata-rata pembelian sebuah saham akan turun. Ketika harga saham mulai naik, lebih mudah untuk keluar pasar dalam kondisi impas atau break-even.
Fenomena averaging down juga dapat dijelaskan dengan teori propek yang dikemukakan Kahneman dan Tversky (1979). Investor individual memakai fungsi utilitas yang mirip huruf S. Harga beli saham menjadi titik tengah fungsi utilitas S dan menjadi titik referensi untuk menambah pembelian dan atau penjualan.
Harga referensi ini menjadi anchoring bagi investor individual untuk membuat keputusan beli dan jual di kemudian hari. Membeli tambahan saham rugi membuat titik referensi menurun. Ini seolah-olah menjadi keputusan yang tepat.
Di sisi lain investor individual melakukan averaging up atau menambah saham untung cenderung menaikkan titik referensi. Inilah yang membuat keputusan averaging down terlihat lebih menarik dibandingkan keputusan averaging up.
Baca Juga: Wake Up Call: Investasi di Saham Grup Konglomerat
Bentuk utilitas investor individual yang seperti huruf S yang curam di awal lalu melandai di belakang menambah rasa sakit berkurang ketika harga saham turun. Ini membuat investor individual lebih berani menambah posisi saham rugi karena rasa sakit karena kerugian yang bertambah menurun.
Di sisi lain utilitas investor individual berbentuk huruf S juga mempengaruhi kepuasan investor individual ketika mendapatkan keuntungan. Kenaikan kepuasan yang melandai ketika keuntungan bertambah membuat investor individual tidak terlalu tertarik menambah saham untung atau averaging up.
Menjual saham rugi dengan melakukan cut loss juga bisa menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Bila saham rugi tersebut dijual dan kemudian hari saham tersebut naik, akan timbul penyesalan. Inilah yang membuat investor individual lebih memilih menahan saham rugi lebih lama. Selain itu investor individual lebih memilih fokus menyelamatkan posisi rugi dengan averaging down daripada cut loss.
Menambah saham yang sudah untung juga berpotensi menimbulkan rasa penyesalan di kemudian hari. Pembelian tambahan saham untung atau averaging up menyebabkan rata-rata harga beli naik. Di kemudian hari bila harga saham turun akan memicu penyesalan yang besar. Alhasil, investor individual lebih memilih menjual saham untung lebih cepat daripada averaging up.
Kecenderungan manusia tidak mau disalahkan juga menimbulkan bias ini. Keputusan cut loss atau jual rugi seolah-olah memaksa investor individual mengakui kesalahannya. Melakukan cut loss merupakan pengakuan kesalahan pembelian saham tersebut. Karena tidak ingin mengakui kesalahan, investor cenderung menahan saham rugi dan memilih averaging down untuk menyelamatkan posisi.
Baca Juga: Wake Up Call: Pelaku Pasar Indonesia Mengalami Efek Disposisi
Investor individual perlu memperbaiki kesalahan tersebut dengan tidak melakukan averaging down, dan mengelola dana di pasar dengan pendekatan portofolio. Tidak masalah satu atau dua saham terpaksa direalisasikan kerugiannya, terutama bila tidak ada prospek di saham tersebut.
Yang penting adalah total keseluruhan saham dalam portofolio megalami keuntungan atau kerugian. Lebih baik menjual saham rugi yang tidak mempunyai prospek dengan cut loss, kemudian dana penjualan tersebut dibelikan saham untung yang lebih punya prospek.
Jangan terjebak dalam akuntansi mental, sehingga ingin keluar dari setiap posisi terbuka yang untung. Investor individual harus lebih fokus pada keuntungan menyeluruh, dan melepas saham rugi.