Berita Opini

Wake Up Call: Natal Putih, Sinterklas dan January Effect

Oleh Lukas Setia Atmaja - IG: lukas_setiaatmaja; www.hungrystock.com
Senin, 13 Desember 2021 | 11:54 WIB
Wake Up Call: Natal Putih, Sinterklas dan January Effect

ILUSTRASI. Lukas Setia Atmadja. KONTAN/Baihaki/12/5/2015

Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Banyak alasan yang membuat orang-orang menyukai akhir Desember. Liburan, bonus tahunan, kedamaian Natal, Sinterklas yang rajin membagikan hadiah, perusahaan melakukan tutup buku, investor menghitung cuan alias keuntungan dan mulai menyusun rencana investasi baru.

Desember juga mengekspresikan keceriaan para pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia. Dari analisis saya terhadap daily returns Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode Januari sejak tahun 2000 hingga 2009, rata-rata imbal hasil harian di bulan Desember mengalahkan bulan lainnya.

Di Amerika Serikat (AS) bahkan muncul takhayul mengenai hubungan Natal dengan harga saham di bursa, yang disebut Boston Snow Indicator. Menurut takhayul tersebut, jika kota Boston diselimuti salju putih pada hari Natal, maka harga saham di bursa saham AS pada tahun berikutnya biasanya akan naik.

Misalnya, pada natal 1995, Boston dihujani salju tebal. Ternyata, pada tahun 1996, indeks saham S&P 500 naik lebih dari 20%. Harap maklum, walau saat musim dingin, tidak setiap hari salju turun di Boston. Lagipula untuk bisa dikategorikan sebagai White Christmas, tebal salju minimal mencapai 1 inci pada jam 7 pagi.

Baca Juga: Simak Arah IHSG Sepekan di Tengah Sentimen RDG dan FOMC

Secara logika, tentunya tidak ada korelasi antara lebatnya salju saat Natal di Boston dengan kinerja bursa saham AS. Bukti-bukti yang mendukung Boston Snow Indicator terjadi secara kebetulan saja.

Namun orang bisa saja mengemukakan argumen bahwa White Christmas di Boston membuat mood para investor di AS menjadi bagus, sehingga mereka lebih bergairah untuk membeli saham. Sebagaimana lirik dalam lagu Natal klasik yang dipopulerkan oleh suara emas Bing Crosby,I'm dreaming of a white Christmas

Ah, menjelang akhir tahun ada pula Santa Claus Rally di bursa saham. Ini merujuk pada fenomena kenaikan harga saham antara Natal dan tahun baru. Profesor Richard Sias dari Washington State University mencari bukti empiris dengan meneliti sampel dari periode 1984 sampai dengan periode 2004.

Hasilnya terdapat kenaikan harga saham dengan rata-rata 5,5% dalam waktu seminggu menjelang tutup tahun. Bukti empiris juga mengindikasikan bahwa sejak tahun 1945, indeks saham S&P 500 mengalami kenaikan dengan rata-rata penguatan 1,7% pada bulan Desember.

Baca Juga: Garuda (GIAA) Berstatus PKPU, Harapan Kementerian BUMN Terwujud

Angka tersebut berbeda nyata dibanding dengan rata-rata kenaikan bulanan yang hanya sebesar 0,7%. Indeks saham S&P 500 juga memberikan imbal hasil positif pada bulan Desember sebanyak 77% dari semua Desember sejak 1945.

Hasil yang senada saya peroleh ketika meneliti pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, dengan mengambil sampel pada periode 2002-2009. Setiap tahun, posisi IHSG di akhir Desember selalu lebih tinggi daripada di awal Desember, dengan rata-rata kenaikan sebesar 5,3%.

Saya juga mencoba menghitung kenaikan harga saham dari sehari sebelum Natal hingga akhir tahun, selama periode 2002 sampai dengan 2009 tersebut. Setiap tahun, kecuali pada 2002, harga saham selalu bergerak naik hingga akhir tahun, dengan rata-rata kenaikan mencapai 1,4%.

Artinya Santa Claus juga berminat ikut rally di lintasan balap Bursa Efek Indonesia. Meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan di bursa saham AS.

Baca Juga: Pemilik Supermal Karawaci Dimohonkan PKPU Oleh Investement Opportunities V

Melihat perilaku IHSG menjelang akhir tahun ini, ada harapan IHSG juga akan ditutup lebih tinggi daripada angka saat pembaca menyimak artikel ini. Tentunya para trader saham sudah siap dengan strategi beli sekarang dan jual pada awal tahun nanti.

Santa Claus Rally juga memiliki hubungan dengan January Effect, yang jauh lebih populer. January effect adalah fenomena di mana harga saham, terutama saham perusahaan kecil, biasanya naik sejak seminggu sebelum pergantian tahun hingga dua minggu pertama di bulan Januari.

Fenomena ini sering juga disebut turn-of-the-year effect. Di bursa saham AS, dengan mengambil sampel pada periode 1950-2004, ditemukan bukti bahwa rata-rata imbal hasil di pasar saham selama tiga minggu periode turn-of-the year tersebut mencapai 14,4%. Angka ini jauh di atas rata-rata imbal hasil periode tiga minggu di hari-hari perdagangan biasa, yang hanya sebesar 3,9%.

Saya juga mencoba menghitung imbal hasil IHSG di periode turn-of the year tersebut, dengan mengambil data sejak Natal 2002 hingga Januari 2010. Dari delapan tahun pengamatan, hanya ada dua kali kejadian di periode ini di mana pasar saham memberikan imbal hasil negatif, yaitu pada 2002 dan 2006.

Baca Juga: Sentimen Window Dressing Mulai Terbatas

Rata-rata kenaikan harga saham jika investor membeli saham sehari sebelum Natal dan menjual pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya mencapai 3,1%. Tapi hati-hati, jangan sampai terlambat menjual saham tersebut.

Jika investor membeli sehari sebelum Natal dan menjual pada akhir Januari tahun berikutnya, maka imbal hasil yang bisa diterima akan melorot menjadi 1,7%. Bahkan dari delapan tahun pengamatan tersebut, ada empat kali di mana imbal hasilnya negatif, jika investor menunggu hingga akhir bulan Januari untuk menjual sahamnya.

Tentunya perlu diingat, bahwa riset ini dilakukan dengan menggunakan pergerakan IHSG, bukan saham-saham perusahaan kecil.

Ada berbagai teori yang diusung untuk menerangkan anomali yang terjadi di bursa saham menjelang akhir tahun tersebut. Misalnya, ada yang menyebut hal tersebut terjadi karena alasan pajak, window dressing yang dilakukan oleh para fund manager, pembagian bonus yang meningkatkan daya beli, hingga teori bahwa para investor pesimistis sudah mulai berlibur.

Namun bagi para trader saham, yang lebih menarik adalah bagaimana menikmati suasana akhir tahun di bursa saham dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara itu para investor jangka panjang mungkin memilih berlibur dulu dan baru kembali hunting saham murah pada akhir Januari tahun depan.

Terbaru