KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembang properti tampaknya menjadi salah satu golongan pebisnis paling berbahagia saat ini. Betapa tidak, pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto terlihat punya atensi besar terhadap industri ini.
Wujudnya bukan cuma pembentukan Kementerian Perumahan. Program ambisius yang diiringi dengan guyuran insentif jumbo juga telah digadang. Program satu juta rumah per tahun di masa Jokowi sejak 2015 dimodifikasi dengan target yang lebih canggih di era Prabowo; tiga juta rumah per tahun.
Belum cukup, insentif pajak sebesar 16% pun akan diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Perinciannya, penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tarifnya 11% dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%.
Program dan stimulus di bidang properti ini diusung demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, mengingat properti punya efek berantai ke berbagai kegiatan ekonomi. Plus, mengejar backlog perumahan yang saat ini mencapai 12,7 juta rumah.
Tentu ambisi ini tak salah, apalagi tujuannya memang baik. Namun, bagaimana pemerintah akan mewujudkannya, menarik untuk dicermati. Soal anggaran misalnya, di masa Jokowi, untuk membangun satu juta rumah per tahun butuh anggaran Rp 20 triliun. Jika menggunakan patokan ini, artinya diperlukan anggaran Rp 60 triliun setahun untuk mengerjakan program Prabowo, atau Rp 300 triliun dalam lima tahun.
Untuk ukuran negara, anggaran sebesar itu tentu bisa dicari. Masalahnya, pada waktu yang bersamaan Prabowo juga punya sederet program ambisius yang juga memerlukan dana besar, seperti program makan bergizi gratis.
Kapasitas pendapatan negara punya keterbatasan. Penerimaan pajak tak bisa digenjot berlebihan, terutama jika pemerintah hanya menyasar wajib pajak yang itu-itu saja.
Menarik utang lebih besar pun belum tentu jadi pilihan bijak. Mengingat warisan utang super jumbo yang ditinggalkan Pemerintah Jokowi. Hingga 2027 saja, beban utang yang mesti dibayar pemerintah mencapai Rp 800 triliun per tahun.
Belum lagi persoalan non-anggaran yang bisa jadi hambatan. Kabinet gemuk guna mengakomodir kepentingan koalisi, tak bisa dipungkiri kerap meminggirkan faktor profesionalitas, kredibilitas dan kapabilitas dalam memilih pejabat negara.
Dus, bagi-bagi jabatan jadi motif utama. Sementara program nan indah cuma jadi gimmick semata. Semoga tidak terjadi.