KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergantian tahun menuju 2025 tinggal menghitung hari. Namun, optimisme masyarakat dalam menyongsong tahun baru perlahan memudar. Pasalnya, di awal tahun depan masyarakat justru disambut kado pahit dari pemerintah, yang bakal menggerus isi dompet. Jelas, masyarakat khawatir, bahkan panik, lantaran beban hidup bakal tambah berat.
Kesimpulan itu tidak berlebihan mengingat ada banyak rencana kebijakan pemerintah yang akan diterapkan dalam waktu dekat, yang itu semua bakal memicu kenaikan berbagai harga barang dan jasa.
Beberapa yang sudah memiliki dasar hukum dan sudah pasti berlaku awal tahun depan adalah kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok dan penerapan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan opsen bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) mulai 2025.
Baca Juga: Gas Murah Ditambah, Hulu Gas Bakal Berdarah
Tidak berhenti disitu, ada banyak kebijakan lain yang sekarang masih tahap kajian. Sebut saja rencana pengetatan distribusi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar, kenaikan harga tiket KRL Commuter Line Jabodetabek dengan cara menentukan besaran subsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hingga rencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan
Selain itu, ada pula rencana mewajibkan pekerja dengan upah minimum regional (UMR) untuk mengikuti program iuran Tapera, serta rencana mengenakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan.
Terbitnya aneka kebijakan itu jelas menambah beban kelas menengah Indonesia pada tahun depan. Pertanyaannya, mengapa pemerintah semakin berhemat dan gencar memacu penerimaan negara?
Jawabannya, tak lain, pemerintah butuh anggaran yang besar, seiring adanya program populis yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto. Beberapa yang santer diberitakan adalah program makan bergizi gratis da program pembangunan 3 juta rumah.
Baca Juga: Fintech Semakin Kepincut Channeling Bank
Publik memahami, program pemerintah yang memakan biaya besar dibutuhkan untuk menstimulasi perekonomian. Akan tetapi, berbagai rencana menggenjot pendapatan negara itu bisa semakin menekan daya beli masyarakat. Ketika daya beli terpukul, penjualan dunia usaha juga bisa terpengaruh dan menyeret pertumbuhan ekonomi.
Jika demikian adanya, rasanya mustahil target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada 2025 yang dicanangkan Presiden Prabowo bisa terwujud.