KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum genap satu bulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sudah muncul kebijakan populis. Kebijakan yang membawa angin semilir bagi dunia usaha, kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sebab, tidak sedikit jumlah debitur UMKM yang tak mampu lagi melunasi utang-utangnya di bank.
Merujuk catatan BRI (2024), hingga akhir triwulan II-2024, Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyalurkan total kredit senilai Rp 1.336,78 triliun. Dari total kredit itu, 81,96%-nya atau sekitar Rp 1.095,62 triliun merupakan kredit kepada segmen UMKM. Sementara per Juni 2024, non performing loans (NPL) BRI untuk kredit mikro sebesar 2,95%.
Sementara data kolektibilitas kredit UMKM pada himpunan bank milik negara (Himbara) per-31 Desember 2022, nasabah yang masuk kategori kolektibiltas 2 (dalam perhatian khusus) mencapai 912.259 debitur. Sedangkan nasabah kolektibilitas 5 (kredit macet) mencapai 246.324 debitur, dengan nilai kredit mencapai sekitar Rp 8,7 triliun (OJK, 2024).
Baca Juga: Mr.DIY (MDIY) IPO Rp 4,71 Triliun, 90% Dana dari Investor Masuk ke Kantong Pengendali
Kredit macet UMKM tersebut bukan semata-mata karena kesengajaan tidak mau membayar utang, atau ngemplang. Melainkan, lantaran kinerja keuangan usahanya memburuk akibat terdampak pandemi Covid-19, dan bencana alam berupa gempa bumi, likuifaksi, longsor, banjir bandang dan lainnya.
Regulasi yang dinilai pro-rakyat tersebut, dituangkan melalui Peraturan Peraturan (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan piutang macet kepada UMKM. Kebijakan ini menyasar sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan, peternakan serta sektor lainnya yang mendukung penguatan ketahanan pangan.
Baca Juga: Bisnis Tumbuh Terus, Anak Usaha Erajaya (ERAL) Ambil Alih Saham JV dengan JD Sport
Namun tidak semua kredit macet UMKM bisa dihapuskan. Terutama, hanya diperuntukkan bagi nasabah UMKM yang memiliki kredit macet pada Himbara, meliputi, BRI, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Tabungan Negara (BTN). Selain itu, program ini hanya berlaku selama enam bulan sejak PP tersebut diberlakukan.
Terdapat sejumlah kriteria penghapusan tagih kredit. Pertama, penghapusan kredit macet bisa dilakukan setelah adanya penghapusan kredit macet secara administratif. Atau menurut narasi PP, penghapustagihan piutang macet bisa dilakukan setelah adanya penghapusbukuan minimal 5 tahun hingga PP itu diberlakukan.
Baca Juga: The Waiting Game Menghantui Pasar Saham
Sementara itu, yang dimaksud penghapusbukuan, tindakan administratif oleh bank untuk menghapus piutang macet dari laporan posisi keuangan bank sebesar kewajiban debitur/nasabah tanpa menghapus hak tagih bank kepada debitur/nasabah.
Sedangkan penghapustagihan merupakan tindakan penghapusan hak tagih oleh bank atas suatu tagihan kepada debitur/nasabah setelah penghapusbukuan dilakukan.
Kedua, penghapusbukuan terhadap piutang macet telah dilakukan upaya restrukturisasi sesuai ketentuan yang berlaku pada bank. Lalu, bank telah melakukan upaya penagihan secara optimal termasuk upaya restrukturisasi tetapi tetap tidak tertagih.
Baca Juga: Harga Membaik, Kinerja Emiten Perkebunan Sawit Terungkit
Ketiga, nilai pokok kredit macet paling banyak sebesar Rp 500 juta per debitur/nasabah. Kemudian, bukan kredit yang dijamin dengan asuransi atau penjaminan kredit. Serta tidak terdapat agunan kredit atau terdapat agunan kredit, namun dalam kondisi tidak memungkinkan untuk dijual atau agunan sudah habis terjual tetapi tidak dapat melunasi pinjaman nasabah.
Keempat, penghapusan secara mutlak piutang negara macet terhadap piutang dana bergulir, dan piutang kredit program pemerintah yang telah dilakukan penghapusan secara bersyarat.
Baca Juga: Transaksi QRIS di Thailand Belum Lancar
Adapun yang dimaksud penghapusan secara bersyarat, kegiatan untuk menghapuskan piutang negara dari pembukuan pemerintah pusat dengan tidak menghapuskan hak tagih negara. Sedangkan penghapusan secara mutlak merupakan penghapusan piutang negara setelah penghapusan secara bersyarat, dengan menghapuskan hak tagih negara.
Kawal kebijakan
Kemunculan regulasi yang menggembirakan tersebut patut diapresiasi semua pihak. Pasalnya, kebijakan ini bakal membantu 600.000 petani/nelayan dalam mengembangkan usahanya, dan terbebas dari lilitan utang (Kemenkeu, 2024).
Hal itu lantaran debitur UMKM bisa mengakses kembali pembiayaan perbankan, setelah semua utangnya dihapuskan oleh pihak perbankan. Serta dihapuskan dari daftar hitam (black list) debitur perbankan.
Baca Juga: Tata Kelola Stabilisasi Harga Pangan
Namun sehebat apapun aturan, tetap saja ada celah penyimpangan (moral hazard) yang bisa dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Setidaknya ada sejumlah celah penyimpangan, sehingga tidak tepat sasaran pada penerima manfaat kebijakan tersebut.
Pertama, sengaja berniat tidak membayar utang (ngemplang), atau membayar sebagian kecil dari nilai total kredit macet. Perilaku ini berkaitan dengan moral hazard debitur. Hal ini bisa saja terjadi dengan cara memoles laporan keuangan usaha, seolah keuangan usahanya dalam keadaan kesulitan likuiditas (financial distress). Sehingga dinilai oleh bank tidak lagi mampu membayar utang.
Baca Juga: Awas, Program Makan Bergizi Gratis Bisa Memperlebar Defisit Anggaran
Kedua, potensi terjadinya kesepakatan di "bawah meja" antara pihak pengusaha (yang memiliki kredit macet di atas Rp 500 juta) dengan oknum pegawai bank. Demi memenuhi kriteria penghapusbukuan dan penghapustagihan, bisa saja besaran kredit macet "dikreasi" seolah tidak sampai batas Rp 500 juta.
Ketiga, tidak tepat sasaran. Hal tersebut berpotensi terjadi pada korporasi besar (bukan UMKM) yang memanfaatkan klausul "nilai pokok kredit macet paling banyak sebesar Rp 500 juta per debitur/nasabah". Celahnya, bisa saja pengusaha memecah nilai kredit macetnya yang lebih dari Rp 500 juta.
Baca Juga: Hore! Harga Tiket Pesawat Turun di Masa Nataru
Misalnya, total kredit macetnya senilai Rp 100 miliar, untuk bisa ikut program penghapustagihan piutang, oknum pengusaha memecah total kreditnya menjadi masing-masing di bawah Rp 500 juta. Sehingga muncul ratusan nama nasabah/debitur baru yang sebenarnya milik satu pengusaha yang sama.
Keempat, kurangnya intensitas sosialisasi dan literasi kebijakan pemutihan utang UMKM, terutama kelompok usaha mikro dan ultra-mikro di pedesaan dan/atau desa-desa di daerah tertinggal. Walhasil, kebijakan luhur ini tidak banyak dimanfaatkan oleh nasabah/debitur yang sejatinya membutuhkan penghapusan kredit macet.
Baca Juga: Penetapan UMP Molor, Pengusaha Bisa Tekor
Dengan demikian publik berharap, kebijakan populis itu tidak sekadar ngeyem-ngeyemi rakyat yang bersifat sporadis. Melainkan, kebijakan tersebut berimbas pada pertumbuhan aset UMKM yang signifikan. Sebab, melalui penghapustagihan piutang, UMKM mempunyai akses pembiayaan kembali. Serta bagi bank dapat menjadi sumber pertumbuhan kredit baru.