Paradoks Akhir Tahun: Pemerintah Tebar Diskon, Alam Bunyikan Alarm Bahaya
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menghadapi situasi paradoks di penghujung 2025. Di satu sisi, pemerintah tancap gas menggelontorkan stimulus diskon tiket perjalanan demi mendongkrak ekonomi libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Di sisi lain, alam justru menarik rem darurat lewat ancaman banjir, tanah longsor, hingga cuaca ekstrem.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan telah membunyikan alarm peringatan. Masyarakat diminta waspada penuh menghadapi kondisi alam di pengujung tahun ini hingga awal 2026.
Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani membeberkan, curah hujan tinggi hingga sangat tinggi bakal mengepung sejumlah wilayah pada periode Desember 2025 hingga Januari 2026. Intensitasnya diprediksi mencapai kisaran 300 hingga 500 milimeter per bulan.
“Wilayah yang berpotensi meliputi Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. Sementara itu, sebagian besar wilayah Kalimantan secara klimatologis berada dalam musim hujan sepanjang tahun,” tegasnya dalam keterangan resmi.
Puncak musim hujan di Lampung, Bengkulu, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diprediksi terjadi pada Januari hingga Februari 2026. Sedangkan sebagian besar Sumatra (kecuali Bengkulu dan Lampung), puncaknya justru berlangsung pada Desember ini. Kondisi ini jelas menuntut langkah antisipatif ekstra jelang libur akhir tahun.
Baca Juga: Tahun Depan, ADHI Membidik Kontrak Baru Rp 23 Triliun
Ancaman di Langit dan Laut
Tak cuma di darat, BMKG juga mewanti-wanti sektor penerbangan. Potensi pertumbuhan awan Cumulonimbus siap menghantui langit Indonesia selama periode Nataru.
Pada Desember 2025, rute penerbangan yang rawan terdampak meliputi Laut Natuna, Selat Karimata bagian selatan, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, serta Papua bagian utara. Memasuki Januari 2026, awan Cumulonimbus diprediksi bergeser ke rute Samudra Hindia barat Sumatra hingga selatan Nusa Tenggara, Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Banda, Laut Arafura, serta Papua.
Di sektor laut, gelombang kategori sedang (1,25–2,5 meter) pada Desember 2025 mengintai perairan barat dan selatan Sumatra, Selat Sunda, selatan Jawa hingga NTT, serta Natuna. Waspada ekstra diperlukan di Laut Natuna Utara yang berpotensi diamuk gelombang setinggi 2,5 hingga 4 meter pada Januari 2026.
Ancaman banjir rob juga belum surut. Pada pertengahan Desember, wilayah Banten, Jakarta (terutama Pantai Utara), serta Pantura Jawa Barat masih dalam bayang-bayang pasang air laut.
Merespons sinyal bahaya ini, sejumlah kepala daerah mengambil langkah taktis. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperpanjang status siaga darurat bencana hidrometeorologi. Data BPBD DIY mencatat tiga kawasan wisata rawan longsor: Perbukitan Menoreh, Pegunungan Sewu, dan Perbukitan Patuk Imogiri.
Langkah tegas juga diambil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ia memutuskan menghentikan pemberian izin perumahan baru. Ini sinyal keras tingginya kerawanan bencana di salah satu wilayah yang menjadi tujuan utama pelesir warga Jakarta.
Baca Juga: Jurus Kalbe Farma (KLBF) Kejar Cuan, Genjot Radiofarmaka hingga Pabrik Alkes
Guyuran Stimulus Pemerintah
Kontras dengan kewaspadaan bencana, pemerintah justru agresif memberi insentif. Sejak November 2025, Program Diskon Tiket Transportasi Libur Nataru 2025/2026 resmi dibuka.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) memangkas harga tiket sebesar 30% untuk 156 KA Reguler dan 26 KA Tambahan kelas ekonomi komersial. Diskon ini menyasar 1.509.080 penumpang.
Di sektor laut, PT PELNI memberikan diskon tarif dasar 20% (setara 16%-18% total harga tiket) bagi 405.881 penumpang kelas ekonomi. Sementara PT ASDP Indonesia Ferry menggratiskan 100% tarif jasa kepelabuhanan. Ini setara diskon riil rata-rata 19% dari tarif terpadu di 8 lintasan pada 16 pelabuhan, dengan target 2,34 juta penumpang (konversi dari penumpang dan kendaraan).
Tak ketinggalan, tiket pesawat mendapat diskon 13%-14% bagi sekitar 3,59 juta penumpang, ditambah perpanjangan jam operasi bandara.
Apakah diskon ini efektif? Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai insentif ini memang masif. Data ekonomi Oktober 2025 menunjukkan daya beli masih kuat, terlihat dari kenaikan penjualan eceran 4,3% dan lonjakan penumpang angkutan umum.
“Bila faktor keselamatan dianggap terkendali, diskon bisa efektif menurunkan penghalang biaya (barrier to entry),” ujar Josua kepada KONTAN, Rabu (17/12/2025).
Namun, Josua memberi catatan tebal: insentif harga takkan mempan melawan rasa takut akan bencana. Persepsi keselamatan jauh lebih mahal daripada potongan harga tiket.
“Dalam situasi bencana, diskon tarif tidak menurunkan risiko. Jadi, tidak selalu mampu mengimbangi kenaikan rasa takut,” imbuhnya.
Diskon hanya efektif bagi mereka yang nekat atau bepergian ke wilayah aman, namun tidak akan mengubah keputusan keluarga yang mementingkan keselamatan anak dan lansia.
Baca Juga: Analisis Saham PPRE, Potensi Tekanan Jangka Pendek dan Prospek Fundamental
Jakarta Menikmati, Daerah Gigit Jari
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Azril Azahari memprediksi pola wisata akan terbelah. Kalangan menengah atas cenderung pelesir ke luar negeri (outbound) mengejar tiket murah ke Malaysia, Singapura, atau Thailand. Sebaliknya, masyarakat menengah bawah akan memilih destinasi lokal yang dekat dari rumah.
“Destinasi yang dituju masih repeated travel. Seperti warga Jakarta ke Bandung atau sekitaran ibu kota,” kata Azril.
Josua menambahkan, ketakutan akan bencana membuat warga Jakarta cenderung menghabiskan liburan di dalam kota—ke mal, taman kota, atau kebun binatang.
Implikasinya serius bagi pemerataan ekonomi. Jika warga Jakarta batal ke luar kota, perputaran uang yang seharusnya dinikmati penginapan, restoran, dan UMKM daerah akan terkunci di Jakarta.
“Manfaat pemerataan ekonomi antardaerah menjadi lebih kecil. Ketimpangan penguatan ekonomi musiman justru cenderung meningkat,” tutup Josua.
