KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai generasi X angkatan terakhir, saya termasuk orang yang merasa beruntung pernah mengalami berbagai perubahan. Saya pernah cukup piawai menyalakan lampu teplok hingga kini memasang lampu LED.
Saya juga pernah dipercaya orangtua untuk membayar iuran televisi saat petugas datang ke rumah, hingga kini saya membayar langganan Netflix. Saya juga mengalami era telepon dengan dial memutar, dial tombol, sampai era smartphone.
Ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya mempelajari bagaimana dunia berubah seiring globalisasi dan bagaimana Amerika Serikat (AS) menyerukan perdagangan bebas. Kini, saya jadi salah satu yang ikut menyaksikan AS menggelorakan proteksionisme dan mulai runtuhnya execptionalism AS.
Pagi ini, saya membaca kabar bahwa China akhirnya bersedia melepas statusnya sebagai negara berkembang di WTO. Negeri tempat kuil-kuil Shaolin ini siap melepas berbagai perlakuan istimewa yang didapat negara berkembang. Banyak pihak mulai mewaspadai efek perubahan ini ke tatanan global.
Posisi China di global memang makin kuat. Menurut data yang dipublikasikan Kementerian Perdagangan China dan State Administration of Foreign Exchange (SAFE) China, total investasi China ke luar negeri mencapai 1.16 triliun yuan di 2024, setara Rp 2.557,18 triliun. Nilai itu naik 11,3% secara tahunan.
Bandingkan dengan investasi AS di dunia. Bureau of Economic Analysis (BEA) AS mencatat, di periode yang sama investasi AS di luar negeri mencapai US$ 6,83 triliun. Nilai tersebut setara sekitar Rp 110.181,56 triliun. Naiknya cuma sekitar 3% secara tahunan.
China saat ini juga menjadi negara mitra dagang terbesar bagi banyak negara. Di AS, Inggris, Uni Eropa, hingga Jepang, nama China ada di daftar lima besar mitra dagang. Bagi negara-negara Asia Tenggara, China adalah mitra dagang nomor satu.
Perkembangan ini juga bakal membuat dinamika antara AS dan China, sebagai dua negara terbesar di dunia, berubah. Perebutan pengaruh, seiring upaya masing-masing negara mengamankan kepentingannya, bakal mempengaruhi kondisi global, termasuk dari sisi ekonomi.
Memang, bisa jadi, ketidakpastian yang menyertai jadi semakin panjang. Tapi di sisi lain, perkembangan global ini membuka peluang baru, termasuk bagi Indonesia. Tentu saja, Indonesia harus siap menghadapi perubahan ini. Kalau tidak, Indonesia cuma akan kebagian sisa dan cuma jadi pasar.