KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kegagalan melunasi bunga dari dua seri medium term notes, di bulan Mei tahun lalu, memicu serangkaian nasib buruk bagi PT Sunprima Nusantara Pembiayaan. Perusahaan yang lebih popular disebut SNP Finance itu, seperti yang kita ketahui kemudian, harus berurusan dengan restrukturisasi di pengadilan, yang berujung pada kebangkrutan. (Lihat timeline)
Kegagalan melunasi utang juga menggiring perubahaan yang terafiliasi dengan Columbia Group, pemain lama di bisnis ritel household appliance itu ke ranah hukum. Selain kreditur perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyeret orang-orang kunci di perusahaan pembiayaan tersebut ke penegak hukum
Proses hukum yang berawal dari pengaduan OJK itu sudah memasuki tahap persidangan sejak pertengahan bulan lalu. Dalam sidang perdana yang berlangsung pada 15 April di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jaksa membacakan dakwaan terhadap tersangka Leo Chandra, pendiri Columbia Grup, sekaligus komisaris utama di SNP Finance.
Dalam dakwaannya, jaksa memaparkan masalah keuangan yang membelit SNP Finance sejatinya sudah tercium Direktorat Pengawas Lembaga Pembiayaan (DPLP) di Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK sejak Desember 2017. Radar para pengawas industri pembiayaan berbunyi karena adanya informasi yang beredar di market tentang kondisi kesehatan SNP Finance. Maklumlah, di masa itu SNP Finance mendadak gencar menerbitkan surat utang berjangka menengah alias medium term notes (MTN).
Saat menghadap para pengawas di OJK, direksi SNP menyatakan kondisi perusahaan dalam keadaan baik dan berjalan normal. Namun OJK tidak lantas percaya begitu saja keterangan direksi SNP. Itu sebabnya, pada tanggal 5 Maret-16 Maret 2018, tim pemeriksa OJK melakukan pemeriksaan terhadap kantor pusat SNP.
Pernyataan bersalah
Masih menurut keterangan dalam dakwaan jaksa, SNP tidak memberikan informasi secara lengkap dan utuh, terutama terkait penyediaan sampel dokumen debitur. SNP pun mendapat sanksi peringatan pertama, pada 12 Maret 2018 lewat surat bernomor S-242/NB.22/2018.
Pemeriksaan OJK lantas dikembangkan ke kantor SNP cabang Mataram. Mataram dipilih dengan pertimbangan kantor cabang tersebut merupakan salah satu kantor cabang dengan jumlah debitur yang besar mengacu data Sistem Informasi Pelaporan Perusahaan Pembiayaan (SIPP). Pemeriksaan dilakukan pada periode 19 Maret-24 Maret 2018.
Dari hasil pemeriksaan kantor SNP cabang Mataram, tim pemeriksa OJK menemukan indikasi dokumen perjanjian pembiayaan yang dimiliki SNP tidak sesuai dengan jumlah debitur yang dilaporkan. Terdapat kekurangan yang sangat mencolok, antara jumlah debitur new booking periode Juni 2017, Desember 2017 dan Januari 2018 dengan data debitur yang dilaporkan SNP ke SIPP. Semisal, jumlah new booking yang dilaporkan SNP ke SIPP pada Desember 2017 mencapai 8.680 debitur. Namun, dokumen yang tersedia hanya sebanyak 276 debitur.
Dihadapkan pada setumpuk bukti hasil pemeriksaan, pengelola SNP Finance kesulitan untuk mengelak. Akhirnya pada 23 Maret 2018, Direktur Risk dan Keuangan serta Manajer Akuntansi SNP Finance memberikan pernyataan tertulis ke OJK. Ada empat poin penting yang termuat dalam surat pernyataan tersebut.
Pertama, pejabat SNP tersebut menyatakan data yang dilaporkan SNP Finance dalam SIPP menggunakan data dan informasi yang tidak benar. Kecurangan itu dilakukan SNP Finance setelah kesulitan melunasi utangnya ke bank sejak tahun 2010. Kecurangan itu misalnya me-mark up nilai piutang hampir empat kali lipat. Dalam laporan SIPP, SNP Finance mengklaim nilai piutangnya mencapai Rp 4,5 triliun, padahal nilai sebenarnya hanya Rp 1,2 triliun.
Kedua, pejabat SNP tersebut menyatakan untuk mendapatkan pendanaan dari pihak bank, SNP menjaminkan piutang secara berulang tanpa didukung dengan dokumen pembiayaan. Sehingga, mayoritas piutang yang dijaminkan kepada masing-masing kreditur perbankan adalah piutang fiktif.
Ketiga, yang bertanggung jawab atas seluruh kondisi perusahaan adalah pemegang saham. Dan keempat, pengelola SNP berkomitmen untuk memberikan data yang sebenarnya dari tahun 2010 sampai dengan Januari 2018 paling lambat 27 Maret 2018.
Setelah mengantongi surat pengakuan dosa berat semacam itu, sayangnya OJK tak segera menjatuhkan hukuman berat ke SNP Finance. Plt Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK, yang berwenang memeriksa SNP Finance, hanya menerbitkan surat No.311/NB.22/2018. Inti surat itu adalah menyatakan perusahaan pembiayaan itu, maupun pengelolanya, terlarang untuk melakukan empat hal.
Hal pertama yang tak boleh dilakukan pengelola SNP Finance adalah menggunakan dana keuangan perusahaan dan atau melakukan transaksi keuangan yang tidak wajar. Kedua, SNP Finance dilarang menambah penerbitan surat utang dalam bentuk apapun termasuk MTN. Ketiga, SNP dilarang mengambil tindakan dan atau perbuatan hukum yang bisa memperburuk kondisi perusahaan. Keempat, SNP dilarang melakukan pergantian pengurus perusahaan tanpa persetujuan OJK.
Tidak wajib dipublikasi
Yang patut dicatat, OJK hanya mengirimkan surat itu ke pemegang saham, dewan komisaris dan direksi SNP Finance. OJK juga tidak mengumumkan surat itu dalam laman pengumuman yang berada di situsnya.
Karena isi surat itu tidak bergaung ke mana-mana, pengelola SNP Finance pun melakukan pembangkangan. Mengutip dakwaan jaksa, Leo meneken surat pernyataan pemegang saham pada 9 April 2018 yang memberi kuasa ke pengelola SNP Finance untuk, tetap menerbitkan MTN VI Tahap II Seri A dan Seri B tahun 2018. Nilai total surat yang diterbitkan pada 12 April 2018 itu adalah Rp 100 miliar.
Upaya SNP Finance menambah utang melalui MTN bisa berjalan mulus karena MTN merupakan instrumen yang tidak memiliki pengaturan khusus di Indonesia. “MTN bisa diterbitkan, hanya atas dasar perjanjian antara penerbit dan pembeli,” tutur Ricardo Simanjuntak, praktisi hukum dari Kantor Hukum Ricardo Simanjuntak & Partners.
Surat utang SNP Finance yang kemudian dicatatkan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) itu, dibeli oleh empat bank lokal. Masing-masing adalah PT Bank Sinarmas Tbk, PT Bank Pundi Indonesia Tbk (kini PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk), PT Bank Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Bank Sulselbar), dan PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara Tbk (Bank Sumut).
Salah satu pembeli MTN, Bank Sumut menyatakan tidak tahu menahu tentang larangan yang diberlakukan OJK ke SNP Finance untuk menambah utang baru. “Kami baru mengetahui ada surat itu saat pertemuan dengan OJK saat rapat umum pemegang MTN (RUPMTN) pada 23 Mei 2018," tutur Syahdan Siregar, Sekretaris Perusahaan Bank Sumut mengutip pernyataan divisi treasuri Bank Sumut, ke KONTAN, Senin (22/4).
Hal senada juga disuarakan Direktur Utama KSEI, Friderica Widyasari Dewi. Peraih gelar Doktor Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada ini mengatakan, KSEI tidak mendapat informasi dari pengawas OJK tentang kondisi SNP. "Infonya, MNC Sekuritas sebagai arranger dan BNI sebagai agen pengawas juga tidak tahu. Tapi Anda harus pastikan ke mereka langsung," tulis Friderica dalam pesan singkatnya kepada KONTAN, Selasa (16/4).
Sama dengan dua narasumber KONTAN sebelumnya, MNC Sekuritas selaku arranger MTN VI SNP juga menegaskan tidak tahu tentang larangan OJK. "MNC Sekuritas tidak diberitahu, sehingga tetap menjadi arranger MTN SNP April 2018," terang Susy Meilina, Presiden Direktur MNC Sekuritas kepada KONTAN, Selasa (16/4). Sementara Meiliana, Sekretaris Perusahaan PT Bank BNI Tbk (BNI) tidak memberikan jawaban atas pertanyaan KONTAN
OJK tidak membantah tentang ketidaktahuan perbankan, arranger maupun agen atas pelarangan SNP Finance menambah utang. Bambang W. Budiawan, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK menyatakan surat No.311/NB.22/2018 merupakan bentuk komunikasi antara pengawas dengan perusahaan yang diawasi.
Ia menyatakan, OJK tidak memiliki kewajiban untuk mempublikasikan ke publik seluruh korespondensi yang terjadi di antara pengawas dan perusahaan diawasi. "Yang wajib diumumkan adalah status pengawasan sesuai regulasi. Misal, pembekuan kegiatan usaha dan pencabutan izin usaha," ujarnya.
Bahkan, Bambang menilai, bisa gawat kalau surat tersebut diumumkan ke publik. "Publiknya bisa guncang! Harus diingat multifinance itu lembaga kepercayaan juga," imbuh Bambang. Pertimbangan Bambang bisa jadi tidak keliru. Namun dalam kasus SNP Finance, keputusan merahasiakan korespondensi itu pada akhirnya juga menyebabkan guncangan, paling tidak ke kantong para pembeli MTN perusahaan pembiayaan tersebut.
Tanggal | Keterangan |
Desember 2017 | Direktorat Pengawas Lembaga Pembiayaan (DPLP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta keterangan dari direksi PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) atas informasi dari pasar dan peningkatan jumlah penerbitan MTN. Saat itu manajemen SNP menyatakan kondisi perusahaan dalam keadaan baik dan berjalan normal. |
9 Februari 2018 | SNP menerbitkan MTN V tahap II Tahun 2018. MTN bernilai Rp 200 miliar ini bertenor 24 bulan, dengan bunga 10,50%. |
5-16 Maret 2018 | OJK melakukan pemeriksaan di kantor pusat SNP. Saat itu, SNP tidak memberikan informasi secara lengkap dan utuh, antara lain terkait penyediaan sampel debitur. Pada 12 Maret 2018, OJK memberikan sanksi peringatan pertama. |
7 Maret 2018 | SNP menerbitkan MTN VI tahap I Tahun 2018 seri A dan B. Seri A bernilai Rp 100 miliar, bertenor 18 bulan dengan bunga 10,25%. Adapun seri B bernilai Rp 50 miliar, bertenor 24 bulan dengan suku bunga 10,50%. |
19-24 Maret 2018 | OJK melakukan pemeriksaan di kantor SNP cabang Mataram. OJK menemukan indikasi bahwa dokumen perjanjian pembiayaan yang dimiliki SNP tidak sesuai dengan jumlah yang dilaporkan SNP. |
23 Maret 2018 | Direktur Risk dan Keuangan serta Manajer Akuntansi SNP memberikan surat pernyataan tertulis yang isinya antara lain sebagai berikut: |
1. Data yang dilaporkan SNP ke dalam SIPP menggunakan data dan informasi yang tidak benar. Hal tersebut dilakukan karena SNP mengalami kesulitan pembayaran utang ke perbankan. | |
2. Untuk mendapatkan pendanaan dari pihak bank, SNP menjaminkan piutang secara berulang, tanpa didukung dokumen pembiayaan, sehingga mayoritas piutang yang dijaminkan kepada masing-masing bank adalah piutang fiktif. | |
3. Yang bertanggung jawab atas seluruh kondisi SNP adalah pemegang saham. | |
4. SNP berkomitmen untuk memberikan data yang sebenarnya dari tahun 2010 sampai dengan bulan Januari 2018 paling lambat 27 Maret 2018. | |
3 April 2018 | Plt Kepala Departemen Pengawas IKNB 2B menerbitkan surat No.113/NB.22/2018 yang pada pokoknya berisi sebagai berikut: |
1. Melarang SNP menggunakan dana keuangan perusahaan dan atau melakukan transaksi keuangan yang tidak wajar. | |
2. Melarang SNP menambah penerbitan surat utang dalam bentuk apapun, termasuk MTN. | |
3. Melarang SNP mengambil tindakan dan atau perbuatan hukum yang memperburuk kondisi perusahaan. | |
4. Melarang SNP melakukan pergantian pengurus perusahaan tanpa persetujuan OJK. | |
2-4 April 2018 | OJK memeriksa kantor SNP cabang Semarang. |
4-7 April 2018 | OJK memeriksa kantor SNP cabang Yogyakarta. |
12 April 2018 | SNP menerbitkan MTN VI tahap II tahun 2018 seri A dan B senilai total Rp 100 miliar. Pembelinya adalah Bank Sinarmas, Bank Pundi (kini Bank Banten), Bank Sulselbar, dan Bank Sumut. |
8 Mei 2018 | KSEI mengumumkan pernyataan manajemen SNP tentang penundaan pembayaran bunga MTN V tahap II ke-1. |
8-9 Mei 2018 | PT Pemeringkan Efek Indonesia (Pedindo) menurunkan rating SNP dari semula idA menjadi idCCC dan akhirnya menjadi idSD (selective default). |
11 Mei 2018 | KSEI mengumumkan pernyataan manajemen SNP tentang penundaan pembayaran bunga MTN III tahun 2017 seri B ke-2. |
23 Mei 2018 | Digelar Rapat Umum Pemegang MTN (RUPMTN) SNP Finance |
28 Agustus 2018 | Kementerian Keuangan menjatuhkan sanksi kepada akuntan publik Merlinna dan Merliyana Syamsul. OJK juga menjatuhkan sanksi kepada kantor akuntan publik (KAP) Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia). |
17 September 2018 | Tersangka Leo Chandra, Komisaris Utama SNP Finance, menyerahkan diri ke polisi. |
17 September 2018 | OJK bekukan Izin usaha pembiayaan SNP Finance. |
26 Oktober 2018 | SNP dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. |
5 April 2019 | Surat dakwaan atas kasus pidana Leo Chandra dibacakan di PN Jakarta Pusat. Leo didampingi tim kuasa hukumnya yang terdiri dari Harry Syahputra, Ibnu Setyo Hastomo, dan Defika Yufiandra. |