Wake Up Call: Ekonomi Global di Tepi Jurang Resesi

Selasa, 14 Juni 2022 | 07:00 WIB
Wake Up Call: Ekonomi Global di Tepi Jurang Resesi
[]
Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Bank Dunia beberapa waktu lalu mengingatkan risiko resesi semakin nyata. Saat ini risiko global meningkat akibat inflasi yang tinggi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Risiko global pertama yang berpotensi mendorong ekonomi ke jurang resesi adalah inflasi tinggi.

Harga komoditas energi dan pangan terlihat masih terus naik dan bertahan di level tinggi. Ini tidak lepas dari dampak perang Ukraina-Rusia. Sanksi negara barat terhadap Rusia juga menimbulkan masalah.

Di satu sisi ekonomi Rusia pasti terpukul, tetapi di sisi lain negara Eropa yang mengenakan sanksi juga menghadapi kendala pasokan yang berakibat inflasi tinggi dan kelangkaan. Inflasi zona Eropa pada Mei bertengger di 8,1%, naik dari 7,4% di April. Mayoritas negara di kawasan zona Eropa mengalami inflasi tinggi sebagai dampak kenaikan harga energi dan pangan.

Inflasi mulai terlihat meningkat ketika ekonomi dunia mulai keluar dari pandemi Covid-19. Kembali dibukanya perekonomian mendorong masyarakat lebih aktif melakukan konsumsi. Di sisi lain ada gangguan pasokan, sehingga produsen tidak dapat cepat memenuhi permintaan masyarakat.

Ketika pandemi datang, bisnis berhenti dan terjadi gelombang PHK. Waktu ekonomi di buka kembali tidak mudah bagi perusahaan menemukan pekerja yang sesuai kriteria. Sebagian pekerja sudah pindah kerja, memilih pekerjaan dengan upah lebih baik.

Baca Juga: Inflasi AS Panggang Kekhawatiran Kebijakan Agresif Bank Sentral, Saham Dunia Jatuh

Gangguan pasokan pasca Covid jadi awal inflasi tinggi. Di sisi lain, ketika Tiongkok menerapkan lockdown ketat, timbul masalah pasokan. Banyak bahan baku dan barang jadi dari Tiongkok yang tidak terkirim selama periode lockdown.

Beruntung inflasi Indonesia relatif terkendali, meski terlihat ada tren kenaikan sejak tengah tahun lalu. Inflasi Indonesia di Mei tercatat 3,55% yoy, naik dari 3,47% di April. Di 2022 inflasi Indonesia ditargetkan 4,2%. Level ini bisa dicapai bila administered price terkendali.

Artinya, pemerintah tidak menaikkan harga BBM Pertalite, gas LPG 3 kg dan tarif dasar listirik. Konsekuensinya tentu subsidi pemerintah pasti akan membengkak.

Perubahan kebijakan moneter dan likuiditas yang makin ketat juga dapat menyebabkan ekonomi terperosok ke jurang resesi. Dampak inflasi tinggi telah memaksa bank sentral negara maju menyesuaikan kebijakannya, salah satunya menaikkan suku bunga.

Indeks harga konsumen AS di Mei telah mematahkan harapan bahwa inflasi AS telah mencapai puncak di Maret 2022. Inflasi naik 8,6%, level tertinggi sejak 1981. Level ini lebih tinggi dari prediksi ekonom di 8,3%.

Faktor pendorong inflasi datang dari harga energi yang naik 34,6% dan harga pangan yang naik 10,1%. Ini pertama kali inflasi pangan naik di atas level 10% sejak Maret 1981.

The Fed hampir dapat dipastikan akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan Juni dan Juli. The Fed berpeluang melanjutkan kenaikan 50 bps pada pertemuan September. Ekonom malah melihat tidak ada jeda kenaikan suku bunga sampai tahun depan.

Baca Juga: Guncangan di Bursa Saham Belum Usai

Pertanyaannya adalah apakah bunga AS cuma akan naik hingga 1,75 % atau mencapai 3,5 % di akhir tahun? Kenaikan suku bunga cenderung mendorong likuiditas global jadi lebih ketat.

Yield government bond negara maju cenderung naik sehingga mendorong dana keluar dari negara berkembang untuk membeli government bond negara maju yang telah terdiskon. Outflow dana asing berpotensi menekan perekonomian, memperlemah nilai tukar mata uang dan pasar saham negara berkembang. Ini berpotensi meningkatkan votalitas dan memberikan tekanan pada pasar keuangan global.

The Fed tidak hanya berencana menaikkan suku bunga tetapi juga melakukan normalisasi neraca. Sebelum pandemi, neraca Fed di bawah US$ 4 triliun. Saat ini nilainya US$ 8,9 triliun. The Fed akan membiarkan balance sheet turun sebesar US$ 47,5 miliar per bulan pada Juni hingga Agustus. Pengurangan akan meningkat jadi US$ 95 miliar per bulan mulai September.

The Fed tidak sendirian mengubah kebijakan moneternya. Banyak negara maju lain mengikuti langkah tersebut. European Central Bank (ECB) akan segera mengakhiri pembelian obligasi pada 1 Juli dan pada 21 Juli, serta berpotensi menaikan suku bunga sebesar 25 bps. Ini kenaikan pertama sejak September 2011. ECB berpotensi menaikan suku bunga lebih besar pada pertemuan September jika inflasi tak kunjung membaik.

Kebijakan suku bunga tinggi cenderung tidak baik bagi perekonomian. Biaya utang meningkat akibat nilai tukar yang melemah dan suku bunga yang tinggi. Suku bunga tinggi juga mendorong masyarakat mengurangi konsumsi dan investasi, sehingga pertumbuhan ekonomi turun. Pasar saham cenderung terkoreksi saat inflasi dan bunga tinggi, diikuti perlambatan ekonomi.

Ekonomi global juga menghadapi risiko terperosok ke jurang resesi karena adanya potensi stagflasi dan risiko resesi berkepanjangan. Inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi lemah telah disejajarkan dengan tahun 1970-an, ketika perekonomian mengalami stagflasi. Inflasi tinggi telah mengakibatkan kenaikan tajam dalam suku bunga di negara maju dan memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.

Inflasi yang saat ini terjadi lebih disebabkan cost push inflation akibat gangguan pasokan dan imported inflation yang lebih merupakan supply side inflation. Langkah bank sentral menaikkan suku bunga sebenarnya cocok untuk mengatasi inflasi yang disebabkan oleh demand pull inflation. Memang memperbaiki sisi supply butuh waktu dan berlangsung lama, karena itu kenaikan suku bunga menjadi pilihan, karena dapat cepat dilakukan. Tetapi kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif diperkirakan tidak efektif menekan inflasi.

Kenaikan suku bunga cenderung mendorong ekonomi global masuk ke jurang resesi. Bila ini terjadi, maka inflasi tinggi plus pertumbuhan ekonomi negatif akan cukup sulit diatasi.

Bagikan

Berita Terbaru

Menakar Prospek Saham BBCA di Tengah Penurunan BI Rate
| Kamis, 18 September 2025 | 18:03 WIB

Menakar Prospek Saham BBCA di Tengah Penurunan BI Rate

Fundamental yang kuat disertai dengan tata kelola perusahaan yang baik, menyebabkan banyak investor masih meyakini saham BBCA cukup baik ke depan.

Pemerintah Siap Kucuri Dana Ke Koperasi Merah Putih, 20.000 Koperasi Bakal Kebagian
| Kamis, 18 September 2025 | 16:23 WIB

Pemerintah Siap Kucuri Dana Ke Koperasi Merah Putih, 20.000 Koperasi Bakal Kebagian

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan saat ini sudah terdapat 1.064 Kopdes Merah Putih yang telah menyerahkan proposal pinjaman.

Beleid Co-Payment Siap Rilis Lagi, Besarnya 5% dan Ganti Nama Jadi Re-Sharing
| Kamis, 18 September 2025 | 15:30 WIB

Beleid Co-Payment Siap Rilis Lagi, Besarnya 5% dan Ganti Nama Jadi Re-Sharing

Perusahaan asuransi wajib menyediakan produk tanpa fitur pembagian risiko, tapi juga diperbolehkan menawarkan produk dengan skema re-sharing.

Pemerintah Mengubah Postur Anggaran, Defisit Kian Lebar dan Transfer ke Daerah Naik
| Kamis, 18 September 2025 | 15:19 WIB

Pemerintah Mengubah Postur Anggaran, Defisit Kian Lebar dan Transfer ke Daerah Naik

Banggar DPR RI bersama pemerintah telah menyetujui perubahan postur RAPBN 2026. Pendapatan, belanja, dan defisit disesuaikan.

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan
| Kamis, 18 September 2025 | 08:38 WIB

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan

Pertumbuhan kredit Bank BRI (BBRI) diproyeksikan lebih bertumpu ke segmen konsumer dan korporasi, khususnya di sektor pertanian dan perdagangan. 

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan
| Kamis, 18 September 2025 | 07:55 WIB

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan

Likuiditas simpanan dan penyaluran kredit perbankan yang berpotensi lebih rendah sepanjang tahun ini jadi catatan investor asing.

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah
| Kamis, 18 September 2025 | 07:19 WIB

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah

Meski berisiko, penempatan dana ini bisa jadi sentimen positif bagi saham perbankan, karena ada potensi perbaikan likuiditas dan kualitas aset.

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun
| Kamis, 18 September 2025 | 07:15 WIB

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun

JITEX 2025 diikuti  335 eksibitor dan 258 buyer. Tahun ini kami menghadirkan buyer internasional dari sembilan negara dan lebih banyak investor

 Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi
| Kamis, 18 September 2025 | 07:12 WIB

Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi

Kapasitas produksi dalam negeri dinilai mampu memenuhi kebutuhan food tray program MBG. sehingga tidak perlu impor

Progres Proyek LRT  Fase 1B Capai 69,88%
| Kamis, 18 September 2025 | 07:00 WIB

Progres Proyek LRT Fase 1B Capai 69,88%

Pada Zona 1, yakni Jl. Pemuda Rawamangun dan Jl. Pramuka Raya, progres pembangunan telah mencapai 69,06%

INDEKS BERITA

Terpopuler