KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tok! Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyetujui rancangan undang-undang yang masuk sebagai Program Legislasi Nasional tahun 2025. Dalam rapat paripurna yang digelar November 2024, para wakil rakyat sepakat bahwa terdapat 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan dibahas pada tahun 2025 mendatang.
Salah satu undang-undang yang akan dibahas oleh anggota parlemen pada tahun depan adalah undang-undang terkait dengan pengampunan pajak atau tax amnesty. Usulan pembahasan beleid amnesti itu datang dari Komisi X DPR RI.
Belum banyak yang diketahui mengenai apa materi pembahasan perubahan Undang-Undang Amnesti Pajak. Yang jelas, khalayak ramai sudah telanjur sibuk dengan diskursus dan pembahasan terkait pro dan kontra program pengampunan pajak. Pasalnya, pemerintah telah beberapa kali melaksanakan program serupa.
Baca Juga: Geliat Saham FILM, Crossing Rp 1,26 Triliun Hingga Jejak Transaksi Asing di 2024
Sisi lain beberapa pihak merasa bahwa program pengampunan pajak masih perlu dilakukan karena program yang telah digulirkan belum terlaksana secara maksimal. Selain itu, pemerintah terpilih juga memerlukan dana segar untuk melaksanakan program dan kegiatannya.
Jika dirunut ke belakang, maka Indonesia pertama kali melaksanakan amnesti pajak pada tahun 2016. Melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016. Di situ pemerintah mengatur bahwa wajib pajak yang mengungkap harta dan dan membayar uang tebusan tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan.
Baca Juga: Kuasai 75% Tambang Timah, Produksi TINS Rendah Imbas Korupsi dan Pertambangan Ilegal
Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui program amnesti pajak kala itu. Pertama, mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta. Kedua, mendorong reformasi perpajakan serta perluasan basis pajak yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi. Ketiga, meningkatkan penerimaan pajak.
Pada akhir periode amnesti pajak 2016, setidaknya terdapat 921.744 wajib pajak yang mengikuti program pengampunan tersebut. Jumlah uang tebusan, deklarasi dan repatriasi yang diraup tidak main-main. Kementerian Keuangan mencatat uang tebusan sebagai hasil program pengampunan pajak tahun 2016 mencapai Rp 130 triliun dengan deklarasi harta Rp 4.813,4 triliun dan repatriasi senilai Rp 46 triliun.
Baca Juga: Laba Bersih & Kredit 4 Bank Besar Positif Hingga Oktober, Tapi Sahamnya Masih Memble
Seolah ingin mengulang kesuksesan yang sama, pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah menyelenggarakan program sejenis yang diberi label Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Melalui Undang- Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela dengan cara membayar pajak penghasilan atas pengungkapan harta.
Tujuan dari program tersebut cukup jelas, yakni memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang telah mengikuti amnesti pajak pada tahun 2016 untuk dapat mengungkapkan hartanya yang belum diungkap. Pada akhir periode program pengungkapan sukarela pada 30 Juni 2022, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 247.918 wajib pajak telah mengikuti program tersebut. Jumlah uang tebusan yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp 61,01 triliun. Adapun deklarasi harta yang berhasil dicatat dalam laporan itu sebesar Rp 594,82 triliun.
Baca Juga: Pemerintah Segera Memutuskan Status PSN PIK 2
Jika dibandingkan program amnesti pajak tahun 2016, jumlah wajib pajak yang mengikuti Program Pengungkapan Sukarela pada tahun 2022 jauh mengalami penurunan. Jumlah uang tebusan dan deklarasi harta yang disampaikan oleh wajib pajak pun kalah jauh. Mungkin hal ini yang menjadi rasionalisasi DPR untuk membahas mengenai perubahan Undang-Undang Amnesti Pajak pada tahun 2025 mendatang.
Risiko amnesti pajak
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa program amnesti pajak yang terlampau sering membawa risiko di masa mendatang. Penelitian yang dilakukan Leonard dan Zeckhauser (1987) misalnya menyebutkan bahwa program amnesti pajak yang terlampau sering akan menimbulkan persepsi di mata wajib pajak bahwa akan ada amnesti pajak lagi di masa mendatang. Sehingga hal ini mendorong wajib pajak untuk tidak patuh dan menunggu momen amnesti berikutnya.
Baca Juga: Kader Daerah Jadi Ujung Tombak Makan Bergizi
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Stella (1991) juga menemukan bahwa program amnesti pajak dapat menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Artinya, program amnesti pajak dapat menimbulkan keraguan publik atas kemampuan atau kesungguhan pemerintah dalam melakukan penegakan hukum.
Bahkan Luitel dan Sobel (2007) menemukan bahwa dalam jangka pendek program amnesti pajak memang dapat menghasilkan penerimaan pajak. Namun dalam jangka panjang, program amnesti pajak justru berpotensi menggerus penerimaan karena penurunan kepatuhan pasca amnesti.
Baca Juga: Risiko Legal Danantara
Menilik hasil yang diperoleh pada amnesti pajak kedua serta mempertimbangkan pendapat dan temuan para peneliti mengenai amnesti pajak, maka sebaiknya DPR bersama pemerintah mempertimbangkan ulang apabila ingin menyelenggarakan amnesti pajak lagi. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menjaga wibawa pemerintah di mata wajib pajak.
Selain itu, hal tersebut juga penting untuk menjaga kepatuhan wajib pajak yang telah mengikuti program pengampunan pajak pada periode sebelumnya.
Baca Juga: Adu Kuat Dedolarisasi Versus Kebijakan Proteksi Amerika Serikat
Sebaliknya, pemerintah seharusnya memperkuat sisi penegakan hukum perpajakan. Lantaran berdasarkan laporan tahunan DJP diketahui bahwa jumlah kasus banding yang dimenangkan oleh DJP pada tahun 2022 adalah sebesar 38,05% (DJP, 2022). Artinya, jumlah kasus banding yang dimenangkan oleh wajib pajak justru jauh lebih besar. Selain itu, berdasarkan laporan tersebut diketahui rasio cakupan pemeriksaan atau audit coverage ratio pada tahun 2022 sebesar 0,88% dari keseluruhan wajib pajak.
Selain memperkuat sisi penegakan hukum, hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menghasilkan penerimaan adalah melakukan evaluasi terhadap insentif perpajakan yang diberikan pemerintah. Berdasarkan laporan Belanja Perpajakan diketahui bahwa banyak insentif yang ditawarkan pemerintah tidak cukup mendapatkan respons yang baik dari wajib pajak. Sebut saja, insentif tax holiday untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan kawan industri yang belum dimanfaatkan oleh wajib pajak sejak tahun 2019 sampai tahun 2022 (Badan Kebijakan Fiskal, 2023).
Baca Juga: Antisipasi Likuiditas Ketat, Pemerintah Perlu Buka Peluang Cari Dana di Pasar Global
Selain itu, ada juga kebijakan tax allowance untuk industri padat karya tertentu yang belum dimanfaatkan oleh para wajib pajak. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menginventarisir dan mereformulasi kebijakan insentif perpajakan. Sehingga insentif perpajakan yang diberikan benar-benar mampu menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi serta mampu berperan sebagai shock absorber dalam kondisi turbulensi ekonomi.