KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang bukanlah hal yang baru dan mengejutkan. Sudah sejak jauh-jauh hari, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif 12% dicanangkan untuk berlaku, paling lambat 1 Januari 2025. Artinya, sejak 2022 hingga saat ini, pemerintah sudah berhasil menaikkan PPN sebesar 20% setelah bertahun-tahun lamanya kita terbiasa dengan tarif PPN sebesar 10%.
Kenaikan tarif PPN pada barang mewah mungkin tidak terlalu memengaruhi permintaan karena konsumen di segmen ini kurang sensitif terhadap harga. Namun, bagi barang kebutuhan pokok, hal ini secara signifikan memengaruhi kesejahteraan kelompok masyarakat rentan. Maka, PPN tidak bisa dilihat secara agregat, namun perlu dilihat sektor demi sektor.
Dampak PPN terhadap pendapatan nasional sangat bervariasi dan berbeda antara satu sektor dengan sektor lain (Yani et al., 2024). Pengenaan tarif PPN 12% pada sektor usaha atau komoditas tertentu bahkan dapat memberikan dampak negatif terhadap nilai PDB secara keseluruhan (Tarmizi, 2023). Oleh karena itu, kebijakan PPN perlu dirancang secara hati-hati dengan mempertimbangkan dampak sektoral dan distribusional.
Baca Juga: Ada Rumor Bakmi GM Mau Jual Sebagian Saham Rp 2,1 Triliun, Apa Kabar Bisnis Resto?
Sebagai instrumen fiskal, PPN memang memiliki peran penting dalam menggenjot penerimaan negara. Apalagi di tengah banyaknya janji-janji politik yang harus ditunaikan, peran pajak semakin menjadi lebih krusial. Namun pertanyaannya, apakah aturan dalam UU Harmonisasi Pajak itu adalah sebuah aturan fatalistis?
Manfaat dan mudarat
Pemerintah tidak bisa berdalih bahwa PPN 12% sebagai sebuah keharusan hanya karena menyitir Pasal 7 ayat 1 UU No. 8/1983 jo. UU No. 7/2021. Pasal soal tarif 12% itu bukanlah pasal paku mati. Pada Pasal 7 ayat 3 UU No. 8/1983 jo. UU No. 7/2021 dalam beleid yang sama mengatur bahwa tarif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).
Baca Juga: Pemerintah Pastikan B40 Berlaku 1 Januari 2025
Artinya, jika memang kondisi mengharuskan, pemerintah bahkan bisa menunjukkan keberpihakan dengan menurunkan PPN sampai hanya menjadi 5%.
Kalaulah pemerintah begitu murni dan konsekuennya ingin menaati UU Harmonisasi Perpajakan, selalu ada jalan. Begitu dikeluarkan aturan untuk memberlakukan PPN 12%, beberapa menit kemudian bisa dikeluarkan aturan baru untuk menurunkan PPN tersebut. Toh, konstitusi saja bisa diubah dan membuat aturan secepat kilat bukanlah "hil yang mustahal" di republik ini. Kuncinya adalah soal keberpihakan.
Baca Juga: DPR Serahkan Keputusan Tarif PPN 12% ke Prabowo
Kita perlu berhenti untuk menggunakan alasan-alasan legalistik untuk hal-hal yang tidak sepenuhnya relevan untuk kepentingan publik yang lebih besar.
Menggunakan argumentasi yuridis sebagai justifikasi tanpa mempertimbangkan fleksibilitas juga secara inheren diberikan oleh hukum sama saja dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kebijakan fiskal.
Baca Juga: Upah Tahun Depan Naik 6,5%
Kebijakan perpajakan, terutama PPN, tidak seharusnya sekadar menekankan kepatuhan terhadap undang-undang, tetapi juga harus mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat, terutama mereka yang paling rentan terhadap dampak ekonomi.
Dengan bayang-bayang potensi inflasi yang tinggi, daya beli masyarakat yang menurun, atau ketimpangan ekonomi yang melebar, justru pemerintah lebih punya justifikasi untuk menurunkan PPN alih-alih menaikkannya.
Baca Juga: Inflasi Medis Selangit, Regulator dan Industri Benahi Asuransi Kesehatan
Hal ini jauh lebih sejalan dengan prinsip keadilan dalam pajak yang menitikberatkan proporsionalitas antara kemampuan membayar dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
Keberpihakan
Kebijakan pajak bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan. Keberpihakan pada konsumen bahwa uang yang dimilikinya bukan cuma sekadar cukup untuk menyambung hidup hari demi hari, namun juga untuk mengaktualisasikan diri. Keberpihakan pada pengusaha bahwa beban pajak tidak membuat mereka kehilangan daya saing atau mengurangi kemampuan untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja baru.
Baca Juga: Jatah Makan Bergizi Gratis Rp 10.000 per Orang
Keberpihakan seperti ini mencerminkan fungsi utama pajak sebagai alat redistribusi yang mendukung keadilan sosial, bukan semata-mata sebagai sumber pendapatan negara.
Penggunaan argumen legalistik tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Prinsip negara hukum tidak hanya berarti mematuhi aturan yang ada, tetapi juga memastikan bahwa aturan tersebut diterapkan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama.
Isu PPN ini adalah ujian pertama bagi pemerintahan baru tentang bagaimana menghadirkan negara yang benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan hanya kepada angka-angka dalam neraca fiskal.
Baca Juga: Mewaspadai Saham Berisiko Tinggi di Bursa
Kebijakan ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa negara hadir tidak hanya sebagai pemungut pajak, tetapi sebagai pelindung dan penggerak utama bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Pemerintah harus menjadi mercusuar yang baik.
Mercusuar tidak hanya berdiri megah untuk memungut pajak dari kapal yang lewat, tetapi juga harus menjadi panduan yang memastikan kapal-kapal tersebut tetap di jalur aman, menghindari karang berbahaya dan tiba dengan selamat di pelabuhan. Jika mercusuar hanya berfokus pada memungut biaya dari kapal tanpa peduli pada keselamatan navigasi, maka kapal-kapal bisa karam, merugikan semua pihak.
Baca Juga: Putar Otak Cari Dana Program Tiga Juta Rumah
Demikian pula, pemerintah melalui kebijakan perpajakan seperti PPN, tidak hanya bertugas mengumpulkan penerimaan negara tetapi juga memastikan kebijakan tersebut memandu masyarakat menuju kesejahteraan yang lebih baik. Ini berarti mendukung daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan sektor usaha, dan menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Jika tidak, maka yang kita dapati hanya pajak pertambahan nilai tanpa adanya nilai tambah bagi kesejahteraan bersama.