Ancaman Resesi di Depan Mata, Cermati Tanda-Tandanya

Kamis, 26 September 2019 | 18:40 WIB
Ancaman Resesi di Depan Mata, Cermati Tanda-Tandanya
[ILUSTRASI. Ilustrasi resesi]
Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Resesi global dikhawatirkan bakal terjadi dalam waktu dekat. Meski hal ini masih menjadi perdebatan para ekonom, sejumlah riset menunjukkan tanda-tanda resesi semakin nyata dan bisa mengancam ekonomi tahun depan. 

Yang terbaru, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam laporannya memberi peringatan kalau resesi global bisa terjadi di tahun 2020. UNCTAD melihat tanda-tanda resesi muncul dari memanasnya tensi perdagangan, pergerakan mata uang dunia, utang korporasi, Brexit tanpa kesepakatan, dan kurva yield obligasi AS yang terbalik (inverted yield curves). 

Baca Juga: Konsumsi dapat sokong pertumbuhan ekonomi, Pemerintah; PTKP sudah mentok

"Ini adalah salah satu sinyal bagi para pemangku kebijakan untuk mempersiapkan diri atas gejolak tersebut," ujar laporan UNCTAD yang dirilis Kamis (26/9) seperti dilansir New Strait Times. 

Laporan itu menyerukan agar para pembuat kebijakan tetap fokus pada peningkatan lapangan kerja, upah, dan investasi publik. Bahkan dengan mengabaikan risiko penurunan terburuk, laporan itu memproyeksikan pertumbuhan global bakal turun menjadi 2,3% pada 2019 dibandingkan dengan 3% pada 2018. 

Laporan itu menyebut, beberapa negara berkembang sudah masuk ke jurang resesi. Sementara beberapa negara maju, termasuk Jerman dan Inggris sangat dekat dengan resesi. 

UNCTAD juga menilai pertumbuhan perdagangan akan melambat tajam di tahun ini menjadi 2% dari 2,8%, menyusul pelemahan permintaan global yang diperparah oleh tarif sepihak yang diberlakukan pemerintah Amerika Serikat (AS). 

Baca Juga: ADB prediksi ekonomi Indonesia tahun tumbuh 2020 5,2%, ini pandangan CORE 

Bahkan, 10 tahun setelah krisis keuangan tahun 2008-2009, ekonomi global dinilai masih sangat rapuh. Laporan itu juga mencatat bahwa utang telah menjadi pendorong dominan pertumbuhan global. Namun, sayangnya tetap gagal mendorong investasi produktif. Sebaliknya, utang tinggi malah memicu spekulasi keuangan. 

Negara-negara berkembang telah melihat kalau utang sudah berubah dari instrumen pembiayaan jangka panjang, menjadi aset keuangan yang berisiko tinggi. 

Resesi merupakan kontraksi ekonomi yang ditandai dengan penurunan pertumbuhan signifikan setidaknya selama enam bulan atau dua kuartal berturut-turut. Setidaknya, tanda-tanda awal resesi terlihat dari lima indikator ekonomi, yakni produk domestik bruto (PDB) riil, data pendapatan, pekerjaan, manufaktur, dan penjualan ritel. 

Banyak yang mengatakan resesi terjadi ketika tingkat pertumbuhan PDB negatif (negative growth) dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih. Tetapi resesi juga bisa dimulai sebelum laporan data PDB triwulanan keluar. Itu sebabnya,  the National Bureau of Economic Research mengukur empat faktor lainnya dalam resesi. Ketika indikator ekonomi ini menurun, PDB juga akan turun.

Probabilitas resesi
 
Tak dipungkiri, investor semakin takut terhadap resesi global. Hal ini setidaknya terlihat dari berbagai survey yang dilakukan terhadap aset manajemen besar di dunia. 

Dari survei Absolute Strategy Research peluang terjadinya resesi mencapai 52%. ASR mensurvei lebih dari 200 lembaga yang mengelola aset gabungan senilai US$ 4,1 triliun. Prospek kepercayaan bisnis dan pendapatan perusahaan telah meredup. Tingkat pengangguran AS juga diprediksi meningkat sepanjang tahun depan.

Baca Juga: Agustus, pertumbuhan kredit perbankan melambat  

UBS melakukan survei terhadap 360 kantor keluarga global dengan kekayaan keluarga rata-rata US$ 1,2 miliar. Hasilnya, 55% di antaranya memprediksi resesi pada 2020. Untuk memitigasi risiko itu, 45% responden sudah menyesuaikan portofolio mereka termasuk beralih ke obligasi dan properti. Sementara 42% lainnya meningkatkan cadangan dana kas. 

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, dalam teori ekonomi, kecemasan awal pelaku pasar akan resesi benar-benar bisa memicu terjadinya resesi. Pasalnya, pelaku pasar yang berpikir negatif akan cenderung menahan konsumsi. Sehingga permintaan akan turun dan ekonomi melambat. 

"Ada peluang resesi negara-negara maju bisa terjadi," ujarnya kepada KONTAN. 

Tanda-tanda resesi

Dari sejumlah analisis ekonom dan pelaku pasar, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi tanda-tanda bahwa resesi kian nyata, di antaranya: 

1. Yield kurva terbalik AS

Kurva imbal hasil obligasi yang terbalik atau inverted yield curve dapat menjadi tanda awal resesi ekonomi. Kurva imbal hasil terbalik menandakan bunga obligasi pemerintah jangka pendek lebih tinggi ketimbang bunga obligasi jangka panjang. 

Dalam ekonomi yang sedang tumbuh, tingkat pengembalian yang lebih tinggi diperlukan sebagai kompensasi bagi investor untuk menahan uang mereka dalam jangka waktu lebih lama. Namun, ketika kurva imbal hasil berbalik, investor menganggap prospek ekonomi jangka panjang tidak menarik.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diproyeksikan Stabil, Investasi di Reksadana Tancap Gas

Sejak tahun 1955, setiap resesi yang terjadi di AS didahului oleh kurva imbal hasil terbalik. Sehingga, ketika yield obligasi 10 tahun AS untuk pertama kalinya sejak tahun 2007 jatuh di bawah imbal hasil obligasi dua tahun pada Agustus lalu, investor langsung cemas bahwa ini merupakan tanda resesi lagi. Menurut Credit Suisse, resesi terjadi sekitar 22 bulan setelah terjadi inversi rata-rata. 

2. Perlambatan ekonomi Eropa dan AS

Resesi juga kemungkinan terjadi di Eropa, terlihat dari data pertumbuhan ekonomi yang terus melemah. Di Jerman, data purchasing managers’ index (PMI) semakin mencemaskan, yakni 49,1 pada September, turun dari 51,7 pada bulan Agustus. 

"PMI tersebut juga menjadi tanda bahwa ekonomi Jerman semakin pesimis," ujar Hans. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Jerman telah mengalami perlambatan terbesar dalam aktivitas pabrik sejak krisis keuangan, yang meningkatkan kecemasan bahwa ekonomi zona Eropa juga tengah menuju jurang resesi. 

Sementara itu, PDB AS juga melambat. Ekonomi kuartal II hanya tumbuh 2%, turun dari 3% dari kuartal sebelumnya dan menjadi yang terendah sejak kuartal IV 2018 lalu. 

3. Laba bersih korporasi menyusut

Mengutip CNBC, salah satu tanda-tanda resesi AS juga terlihat dari pertumbuhan laba bersih perusahaan AS yang turun drastis tahun ini. Akhir Desember lalu, analis memperkirakan earnings growth S&P 500 akan berkisar 7,6%. Saat ini, angka tersebut hanya berkisar 2,3%. 

Bahkan, Goldman Sachs dan Citigroup Strategist sudah memangkas estimasi laba bersih untuk perusahaan di indeks S&P 500, sejalan dengan perlambatan ekonomi dan devaluasi mata uang. 

4. Kontraksi manufaktur

Pertumbuhan industri manufaktur AS melambat ke level terendah sejak 10 tahun terakhir pada Agustus lalu. PMI manufaktur As mencapai 49,9 pada bulan Agustus, turun dari 50,4 di bulan Juli. Angka ini di bawah ambang batas netral untuk pertama kalinya sejak September 2009. 

5. Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi Meningkat

Economic Policy Uncertainty Index (EPU) atau Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi, sebuah indeks yang dirancang untuk mengukur kekhawatiran terkait kebijakan di seluruh dunia, mencapai level tertinggi sepanjang masa, yakni 342 pada Juni lalu.

Indeks EPU melacak berapa kali artikel surat kabar menggunakan kata kunci yang terkait dengan ketidakpastian ekonomi dan politik. Selain itu, ini mengukur spektrum ketidaksepakatan di antara para ekonom: Semakin banyak perbedaan pendapat, semakin tinggi indeks berjalan.

Indeks membara di bulan Juli ke level 280 di tengah harapan kesepakatan perdagangan antara AS dan China akan terselesaikan.

Berbagai tanda-tanda resesi global ini harus diwaspadai lantaran Indonesia juga bakal terdampak. "Sebagai negara net importir pasti kita terkena dampak. Pemerintah juga sudah memandang ekonomi tahun depan cenderung konservatif," tandas Hans. 

Bagikan

Berita Terbaru

Demi Geothermal, Kemenhut Rayu UNESCO Lepas Sebagian Hutan Warisan Dunia di Sumatra
| Rabu, 17 September 2025 | 20:32 WIB

Demi Geothermal, Kemenhut Rayu UNESCO Lepas Sebagian Hutan Warisan Dunia di Sumatra

Sejumlah perusahaan besar memiliki proyek panas bumi di sekitar taman nasional yang menjadi warisan dunia Unesco.

Masih Naik Kendati Masuk UMA, Ini Prospek Saham Dwi Guna Laksana (DWGL)
| Rabu, 17 September 2025 | 19:35 WIB

Masih Naik Kendati Masuk UMA, Ini Prospek Saham Dwi Guna Laksana (DWGL)

Pada semester I-2025, penjualan DWGL meng.alami peningkatan 4,58% dari Rp 1,66 triliun menjadi Rp 1,74 triliun

Prospek Saham HMSP Bergantung Pada Revisi Tarif Cukai yang Lebih Rendah
| Rabu, 17 September 2025 | 18:59 WIB

Prospek Saham HMSP Bergantung Pada Revisi Tarif Cukai yang Lebih Rendah

Pada 2024, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp 217 triliun, dengan 95% di antaranya berasal dari cukai rokok.

Biar Masalah Uang Tak Menjadi Sumber Kecemasan
| Rabu, 17 September 2025 | 18:07 WIB

Biar Masalah Uang Tak Menjadi Sumber Kecemasan

Kondisi pengeluaran yang lebih besar dari pemasukan, bisa memicu stres finansial. Simak upaya untuk mencegahnya!

Menguji Taji Bitcoin cs Hadapi September Effect & Suku Bunga The Fed
| Rabu, 17 September 2025 | 18:03 WIB

Menguji Taji Bitcoin cs Hadapi September Effect & Suku Bunga The Fed

Bulan ini, pasar aset kripto menghadapi ujian September Effect dan agenda suku bunga The Fed. Bagaimana strategi investor?

Presiden Prabowo Subianto Kembali Reshuffle, Ada Menpora dan Menkopolkam Baru
| Rabu, 17 September 2025 | 15:43 WIB

Presiden Prabowo Subianto Kembali Reshuffle, Ada Menpora dan Menkopolkam Baru

Prabowo melantik Djamari Caniago resmi dilantik sebagai Menkopolkam dan Erick Thohir sebagai Menpora

BI Rate Turun 5 Kali Hingga September 2025 Demi Menopang Pertumbuhan Ekonomi
| Rabu, 17 September 2025 | 15:19 WIB

BI Rate Turun 5 Kali Hingga September 2025 Demi Menopang Pertumbuhan Ekonomi

BI memangkas suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 basis poin (Bps) menjadi 4,75% pada RDG yang digelar pada 16-17 September 2025.

BUVA Bakal Rights Issue Buat Ekspansi, Happy Hapsoro Profit Taking Rp 100 Miliar
| Rabu, 17 September 2025 | 13:00 WIB

BUVA Bakal Rights Issue Buat Ekspansi, Happy Hapsoro Profit Taking Rp 100 Miliar

Dalam waktu dekat, BUVA akan melaksanakan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) alias rights issue.

Arah IHSG Hari Ini Rabu (17/9) Masih Menanti Keputusan BI dan The Fed
| Rabu, 17 September 2025 | 07:51 WIB

Arah IHSG Hari Ini Rabu (17/9) Masih Menanti Keputusan BI dan The Fed

Investor menanti hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur BI mengenai suku bunga acuan. Harap-harap cemas ini berbarengan arah suku bunga The Fed.

IPO Merdeka Gold (EMAS) Berpotensi Meraup Dana Rp 4,65 Triliun
| Rabu, 17 September 2025 | 07:44 WIB

IPO Merdeka Gold (EMAS) Berpotensi Meraup Dana Rp 4,65 Triliun

PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) mematok harga initial public offering (IPO) di Rp 2.880 per saham.

INDEKS BERITA

Terpopuler