Gagal Bayar Obligasi Anak Usaha Duniatex Group, Siapa Berikutnya?

Senin, 22 Juli 2019 | 15:18 WIB
Gagal Bayar Obligasi Anak Usaha Duniatex Group, Siapa Berikutnya?
[]
Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Yuwono Triatmodjo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi korporasi Indonesia mendapat tantangan baru. Ini menyusul keputusan lembaga pemeringkat utang S&P Global Ratings yang memangkas peringkat kredit obligasi dollar yang dijual oleh anak perusahaan Duniatex Group, PT Delta Merlin Dunia Textile, Kamis (18/7).

Pemicunya: anak perusahaan produsen tekstil yang disebut terbesar di Indonesia ini yakni PT Delta Dunia Sandang Textile gagal membayar utang yang jatuh tempo pada 10 Juli lalu. Kondisi terjadi hanya berselang empat bulan setelah anak perusahaan lain di grup ini PT Delta Merlin ini menerbitkan obligasi senilai $ 300 juta. Bahkan, obligasi perusahaan ini sempat mendulang permintaan lebih dari US$ $ 1 miliar.

S&P Global Ratings pun lantas memangkas peringkat kredit obligasi dolar yang dijual oleh anak perusahaan Duniatex Group itu menjadi CCC-, dari sebelumnya BB-. Tantangan likuiditas yang signifikan menjadi masalah anak usaha perusahaan tekstil yang bermarkas di Solo, Jawa Tengah ini.

S&P juga menyebut, ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok yang berlangsung lama memukul telak pasar tekstil Indonesia. Likuiditas Duniatex dipengaruhi oleh anjloknya harga karena kelebihan pasokan kain murah impor dari China.

Fitch Ratings kemudian juga memangkas skor kredit Delta Merlin Dunia Textile menjadi B- dari sebelumnya BB-. Ini mencerminkan peningkatan pembiayaan kembali dan risiko likuiditas. Fitch menyebut, perusahaan ini menghadapi efek tular dari afiliasi yang dapat membatasi akses perbankan dan pasar modal.

Catatan KONTAN, 6 Maret 2019,  anak usaha Duniatex Grup yakni PT Delta Merlin Dunia Textile menerbitkan obligasi berdenominasi dollar Amerika Serikat (AS) senilai US$ 300 juta. Obligasi bertenor lima tahun itu menjanjikan kupon sebesar 8,625%. BNP Paribas SA dan Standard Chartered Plc bertindak sebagai arranger dalan penjualan obligasi tersebut.

Saat itu, dua perusahaan pemeringkat, Fitch Ratings dan Standard and Poor's (S&P) Global Ratings menyematkan obligasi Delta Merlin dengan peringkat awal di posisi BB-.   Kala itu, Fitch beralasan, peringkat awal Delta Merlin itu didorong oleh posisinya sebagai perusahaan tenun terbesar di Indonesia, struktur biaya yang rendah, serta hubungannya yang mapan dengan pelanggan.

Peringkat tersebut, kata Fitch dengan asumsi  mengasumsikan bahwa Delta Merlin akan mengumpulkan dana yang cukup dari penerbitan obligasi untuk membiayai kembali berbagai fasilitas kredit dari perbankan.

Segendang sepenarian, S&P Global Ratings juga menilai Delta Merlin sebagai anak usaha inti Duniatex memiliki profil kredit mandiri yang kuat. Kontribusi pendapatan dan laba yang  ke Duniatex Group, induk usaha substansial.

Dus, gagal bayar ini Delta Merlin ini pula yang membuat kekhawatiran investor obligasi meragu masuk pasar obligasi, di Indonesia. Kemerosotan kinerja perusahaan-perusahaan Indonesia dikhawatirkan akan terjadi kasus serupa. Apalagi sebelumnya S&P dan Fitch juga memangkas peringkat anak usaha perusahaan Agung Podomoro Land (APLN) karena keterlambatan dalam mengumpulkan dana untuk pembiayaan kembali. 

Indonesia sempat menjadi salah satu surga menggiurkan bagi pemegang obligasi sampah (junk bond). Tapi gara-gara gagal bayar Delta Merlin ini, Bloomberg menyebut,  tingkat kekhawatiran investor pemegang junk bond melonjak 11%, tertinggi sejak 2016.

Kekhawatiran investor obligasi semakin memuncak lantaran Duta Merlin dikabarkan juga memiliki utang di sejumlah bank yang akan jatuh tempo September mendatang.  Efek gagal bayar ini dikhawatirkan membawa efek gulir bagi gagal bayar perusahaan-perusahaan satu grup itu.

Sayangnya, upaya KONTAN mengirim pesan ke pemilik perusahaan ini tak membuahkan hasil. Pesan pendek kontan ke Sumitro, Presiden Komisaris Duniatex Group tak dibalas. Hanya merujuk pesan salah satu petinggi yang tersebar di kalangan pemilik obligasi perusahaan ini disebutkan bahwa: “Kami akan memperbarui informasi, jangan menelepon atau mengirim e-mail karena inbox e-mail kami banjir (kepenuhan).”

Inilah pemilik Duniatex Grup

Lantas siapa Delta Merlin Dunia Textile? Jika merujuk website perusahaan ini, Delta Dunia Merlin adalah anak usaha Duniatex Group. Ini adalah perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Indonesia.  Duniatex fokus dalam bisnis pemintalan, pertenunan, pencelupan, dan finishing. Perusahaan ini terdiri dari 18 perusahaan terbatas, tersebar di beberapa lokasi di lebih dari 150 hektare lahan.

Berdiri tahun 1974, perusahaan ini dulu berbendera CV Duniatex  di Surakarta. Awal  beroperasi terutama di industri finishing. Ekspansi terus dilakukan hingga tahun 1992, Duniatex mengambil alih PT Damaitex berlokasi di Semarang yang beroperasi di industri finishing.

Duniatex memperluas operasi tenunnya pada tahun 1998  dengan mendirikan PT Dunia Sandang Abadi serta PT Delta Merlin Dunia Tekstil. Bersamaan dengan meningkatnya permintaan produk Duniatex melebarkan sayapnya dengan membesarkan PT Delta Merlin Dunia Tekstil dan terus tumbuh di delapan lokasi berbeda.

Memiliki sertifikasi Standar Mutu ISO: 9001: 2000, Duniatex tercatat memiliki lebih dari 40.000 pekerja. Pelanggan Duniatex tersebar di beberapa negara di empat benua; Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika.

Lantas siapakah pemilik Duniatex? Sumber kontan yang juga pengusaha tekstil menyebutkan, perusahaan ini dimiliki oleh pasangan suami istri Hartono dan Indriati. Di kalangan pebisnis Solo, keduanya dikenal pengusaha yang sangat low profile.  “Tak hanya acap tampil sederhana, mereka juga dikenal sangat generous, suka nolong orang,” ujar pengusaha yang tak mau disebutkan  namanya itu.

Saat ini, operasional perusahaan ini lebih banyak dipegang oleh anak kedua pasangan ini: Sumitro. Di kalangan pebisnis, Sumitro juga dikenal sangat sederhana. Ia dikenal pengusaha yang tekun dengan bisnisnya. Di kalangan professional treasury perbankan, Sumitro juga dikenal piawai bermain valas. Kebutuhan bahan baku yang masih impor membuatnya banyak melakukan transaksi valas di perbankan.

Di Solo, keluarga Hartono dikenal memiliki banyak bisnis. Selain punya tekstil, Hartono juga tercatat memiliki bisnis properti seperti mal, hotel sampai rumahsakit. Hartono Mall, Hartono Trade Center, Favehotel serta Rumahsakit bertaraf internasional di Solo Baru berbendera Indriati adalah deretan bisnis keluarga ini.

Lewat Delta Merlin, perusahaan ini juga tercatat memiliki hotel Bestwestern Solo Baru, Noorman Hotel Semarang, The Alana Hotel Solo, Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art & Boutique Yogyakarta, De Rivier Hotel Jakarta Barat serta Wisma Hartono Yogyakarta.

Lucunya, lantaran sering menggunakan nama mal maupun hotelnya dengan nama Hartono, acap orang menyebut perusahaan itu milik Grup Djarum yang juga dimiliki oleh taipan gaek bernama Hartono. “Tapi, putra beliau (Pak Hartono) ketawa saja kalau orang sering nyangka punya Djarum Group,” ujar pebisnis yang tahu sejarah keluarga ini.

Catatan kelam sempat mampir di keluarga pengusaha ini. Tahun 2013, mereka sempat bersengketa dengan pebisnis tekstil lainnya yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritek (SRIL). Mereka berperkara atas tudingan pelanggaran hak cipta atas kain grey rayon milik SRIL. Efek sengketa ini bahkan sampai ke polisi. Bahkan Sumitro sempat mendekam ke penjara. Hanya sesaat kemudian, Sumitro keluar dari penjara karena masa penahananya habis.

Tak jelas nasib perkara ini, yang jelas Duniatex kini harus menghadapi masalah serius, cicilan kupon obligasi serta utang ke sejumlah perbankan.

Bagikan

Berita Terbaru

Imbal Hasil SBN Naik: Beban Utang APBN Meningkat, Bagaimana Dampaknya?
| Kamis, 25 Desember 2025 | 19:34 WIB

Imbal Hasil SBN Naik: Beban Utang APBN Meningkat, Bagaimana Dampaknya?

Kenaikan imbal hasil SBN menjadi salah satu tanda perubahan sentimen pasar terhadap risiko fiskal dan arah ekonomi domestik.

IHSG Paling Bapuk di Asia Tenggara Pekan Ini, Turun 0,83% Dalam 3 Hari
| Kamis, 25 Desember 2025 | 13:43 WIB

IHSG Paling Bapuk di Asia Tenggara Pekan Ini, Turun 0,83% Dalam 3 Hari

IHSG melemah 0,83% untuk periode 22-24 Desember 2025. IHSG ditutup pada level 8.537,91 di perdagangan terakhir, Rabu (24/12).

Saham Terafiliasi Grup Bakrie Terbang, Kini Tersisa Jebakan atau Masih Ada Peluang?
| Kamis, 25 Desember 2025 | 11:05 WIB

Saham Terafiliasi Grup Bakrie Terbang, Kini Tersisa Jebakan atau Masih Ada Peluang?

Potensi kenaikan harga saham terafiliasi Bakrie boleh jadi sudah terbatas lantaran sentimen-sentimen positif sudah priced in.

Imbal Hasil SRBI Naik di Akhir Tahun Meski BI Rate Stabil
| Kamis, 25 Desember 2025 | 10:08 WIB

Imbal Hasil SRBI Naik di Akhir Tahun Meski BI Rate Stabil

Imbal hasil instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang turun sejak awal tahun, berbalik naik dalam dua bulan terakhir tahun 2025.

Laba Diprediksi Tergerus, PTBA Terjepit Bea Keluar Batubara dan Downtrend Harga Saham
| Kamis, 25 Desember 2025 | 10:05 WIB

Laba Diprediksi Tergerus, PTBA Terjepit Bea Keluar Batubara dan Downtrend Harga Saham

Sebagai pelopor, PTBA berpeluang menikmati insentif royalti khusus untuk batubara yang dihilirisasi.

Prospek Batubara 2026 Menantang, Indonesia di Posisi Maju Kena Mundur Juga Kena
| Kamis, 25 Desember 2025 | 09:05 WIB

Prospek Batubara 2026 Menantang, Indonesia di Posisi Maju Kena Mundur Juga Kena

Harga batubara Australia, yang menjadi acuan global, diproyeksikan lanjut melemah 7% pada 2026, setelah anjlok 21% di 2025. 

Bisnis Blue Bird Diprediksi Masih Kuat di 2026, Tidak Digoyah Taksi Listrik Vietnam
| Kamis, 25 Desember 2025 | 08:10 WIB

Bisnis Blue Bird Diprediksi Masih Kuat di 2026, Tidak Digoyah Taksi Listrik Vietnam

Fitur Fixed Price di aplikasi MyBluebird mencatatkan pertumbuhan penggunaan tertinggi, menandakan preferensi konsumen terhadap kepastian harga.

Meski Cuaca Ekstrem Gerus Okupansi Nataru, Santika Hotels Tetap Pede Tatap 2026
| Kamis, 25 Desember 2025 | 07:10 WIB

Meski Cuaca Ekstrem Gerus Okupansi Nataru, Santika Hotels Tetap Pede Tatap 2026

Santika Hotels & Resorts menyiapkan rebranding logo agar lebih relevan dan dapat diterima oleh seluruh lapisan generasi.

Kebijakan Nikel 2026 Dongkrak Saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL)
| Kamis, 25 Desember 2025 | 06:37 WIB

Kebijakan Nikel 2026 Dongkrak Saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL)

Pemerintah rem produksi nikel ke 250 juta ton 2026 untuk atasi surplus 209 juta ton. NCKL proyeksi laba Rp 10,03 triliun, rekomendasi buy TP 1.500

KRAS Dapat Suntikan Rp 4,93 Triliun dari Danantara, Tanda Kebangkitan Baja Nasional?
| Kamis, 25 Desember 2025 | 06:00 WIB

KRAS Dapat Suntikan Rp 4,93 Triliun dari Danantara, Tanda Kebangkitan Baja Nasional?

Kenaikan harga saham PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) belakangan ini dinilai lebih bersifat spekulatif jangka pendek.

INDEKS BERITA

Terpopuler