KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dengan tiga perusahaan afiliasinya, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries dan PT Primayudha Mandirijaya (Sritex Group) tetap dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung melalui Putusan No. 1345 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 tanggal 18 Desember 2024.
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Sritex Group dan menyatakan Sritex Group gagal memenuhi perjanjian perdamaian yang telah disepakati dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Status pailit tersebut resmi disandang Sritex Group pasca dikabulkannya permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang diajukan oleh salah satu kreditornya melalui Putusan No. 2/Pdt.Sus-homologasi/2024/PN.Niaga.Smg tanggal 21 Oktober 2024.
Baca Juga: Aturan DHE SDA Anyar bakal Kelar Januari 2025
Kepailitan Sritex Group sedang menjadi perbincangan hangat dan mendapat sorotan dari banyak pihak, bahkan membuat pemerintah ikut turun tangan. Mengingat Sritex Group merupakan salah satu raksasa tekstil di Asia Tenggara yang mempekerjakan sekitar 50.000 karyawan.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan bahkan menyatakan tidak akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berjanji akan menyelamatkan Sritex Group. Hal tersebut disampaikan saat mengunjungi pabrik Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Jumat, 15 November 2024.
Baca Juga: Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah Bisa Sia-Sia
Selain desakan agar tidak adanya PHK, kurator juga didesak untuk segera melakukan going concern mengingat sekitar 50.000 karyawan menggantungkan hidupnya pada Sritex Group.
Adanya perhatian pemerintah serta desakan agar karyawan tetap dipekerjakan dengan tetap melanjutkan perusahaan seperti sediakala menimbulkan pertanyaan apakah hal tersebut tepat dari sisi Undang-Undang (UU) Kepailitan.
Kepailitan tidak tiba-tiba
Sritex Group awalnya dinyatakan berada dalam keadaan PKPU dan memiliki utang sebesar Rp 26 triliun kepada sekitar 112 kreditur. Sritex Group kemudian menawarkan proposal perdamaian yang berisi penawaran kesanggupan pembayaran kepada para krediturnya. Proposal perdamaian tersebut akhirnya disepakati dan disahkan melalui Putusan No. 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg tanggal 25 Januari 2022.
Baca Juga: Kebut Proyek Tol Akses Patimban, Jasa Marga (JSMR) Raih Kredit Rp 3,96 Triliun
Namun Sritex Group tidak dapat memenuhi perjanjian perdamaian hingga salah satu krediturnya mengajukan pembatalan perdamaian. Majelis Hakim yang menangani permohonan pembatalan perdamaian tersebut pada dasarnya sudah menawarkan waktu selama 30 hari untuk melakukan pembayaran namun tidak tercapai kesepakatan.
Dibatalkannya perjanjian perdamaian otomatis menjadikan Sritex Group jatuh pailit. Maka sesuai Pasal 24 ayat 1 UU Kepailitan, manajemen Sritex Group kehilangan kewenangan untuk menguasai dan mengurus seluruh harta kekayaan dari Sritex Group. Pihak yang selanjutnya berwenang dan memegang kendali untuk melakukan pengurusan dan pemberesan hanyalah kurator sesuai Pasal 69 ayat 1 UU Kepailitan.
Baca Juga: Kemenperin Nilai Apple Belum Serius Investasi di Indonesia
Kurator memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan pengurusan, penjualan dan pembagian secara adil kepada seluruh kreditur sesuai dengan porsinya. Keputusan yang diambil oleh kurator haruslah terukur dan penuh pertimbangan. Sebab kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan menjadi tanggung jawab pribadi dari kurator sesuai Pasal 72 UU Kepailitan.
Tantangan going concern
Pengangkatan kurator dilakukan melalui putusan pengadilan yang merupakan produk dari yudikatif yang sejatinya tidak dapat diintervensi oleh lembaga eksekutif maupun legislatif. Ditambah lagi status kepailitan Sritex Group telah diuji oleh Pengadilan Niaga hingga Mahkamah Agung. Maka putusan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut haruslah dihormati dan dijalankan sesuai aturan yang berlaku.
Baca Juga: BI Sebut, Rasio Uang Palsu Semakin Rendah
Pasal 39 UU Kepailitan mengizinkan kurator untuk dapat melakukan PHK demi memaksimalkan harta pailit. Namun kurator berkewajiban membayarkan upah pekerja yang telah terkena PHK tersebut. Keputusan tetap menggaji pekerja seperti biasa sekalipun produksi telah berhenti, berpotensi mengurangi harta pailit yang akan dibagikan kepada para kreditur.
Berkurangnya harta pailit akan merugikan para kreditur yang telah bertahun-tahun menunggu pembayaran yang tidak kunjung diterima. Sekalipun nantinya PHK dilakukan, maka hal tersebut haruslah dilakukan demi memaksimalkan nilai harta pailit.
Baca Juga: Tekstil Banyak Menikmati Fasilitas Kawasan Berikat
Kewenangan kurator untuk tetap melanjutkan usaha memang diatur dalam Pasal 179 jo Pasal 180 jo Pasal 181 UU Kepailitan. Namun tidak dapat ditafsirkan bahwa perusahaan akan kembali seperti sediakala, seolah-olah tidak ada kepailitan.
Going concern harus dilakukan kurator dengan penuh pertimbangan yang matang dan terukur. Sebab pelaksanaan going concern hanya dapat dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu. Seperti dalam kasus kepailitan PT Star Prima berdasarkan Putusan No. 18/Pdt-Sus-Pailit/2021/PN.Niaga.Smg.
Baca Juga: Siap-Siap Menjaring Cukai Minuman Berpemanis
PT Star Prima memiliki harta pailit berupa apartemen dan hotel, namun pada saat akan dilakukan penjualan sedang dalam masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan sulitnya mendapatkan pembeli.
Kurator PT Star Prima akhirnya mengusulkan going concern dan memutuskan mengelola apartemen dan hotel sampai mendapatkan pembeli dengan pertimbangan untuk menghindari jatuhnya harga hotel jika dibiarkan tidak beroperasi dan menghindari pemutusan listrik yang juga akan membuat harga jual jatuh.
Baca Juga: Investor Perkarakan Bumi Resources Terkait Penerbitan Obligasi Konversi Rp 8 Triliun
Jika kurator Sritex Group nantinya mengambil keputusan untuk melakukan going concern, maka kurator akan mengalami tantangan tersendiri dalam melakukan hal tersebut.
Adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 telah berdampak langsung pada daya saing produk tekstil dalam negeri. Aturan itu memberikan relaksasi terhadap produk tekstil dan turunannya yang dapat masuk ke Indonesia tanpa melalui proses perizinan yang ketat. Hal ini menjadi tantangan bagi produsen tekstil lokal terhadap produk impor.
Status pailit yang disandang Sritex Group juga akan mengakibatkan tersendatnya impor dan ekspor bahan baku. Mengingat Kantor Bea dan Cukai harus mencabut izin tempat penimbunan berikat milik Sritex Group, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-12/BC/2008.
Secara aspek bisnis, kurator juga belum tentu memiliki pengalaman dalam menjalankan industri tekstil. Kurator harus berhitung dengan risiko yang ada jika ingin melanjutkan usaha dalam bidang yang mungkin saja tidak dikuasai. Dilakukannya going concern tanpa perhitungan yang matang berpotensi merugikan harta pailit yang pastinya akan menyulitkan posisi kurator.