Berita Opini

Wake Up Call: Investor Bertanya, Lo Kheng Hong Menjawab Bagian 4

Oleh Lukas Setia Atmaja - Founder HungryStock Community (www.hungrystock.com), IG: lukas_setiaatmaja
Senin, 09 Mei 2022 | 07:00 WIB
Wake Up Call: Investor Bertanya, Lo Kheng Hong Menjawab Bagian 4

Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Nama Lo Kheng Hong (LKH) sudah tidak asing lagi di pasar saham dalam negeri. Lantaran dikenal mumpuni dalam berinvestasi saham, banyak orang penasaran dengan gaya investasi pria ini.

Artikel in berisi tanya jawab dengan Lo Kheng Hong sekitar topik seni berinvestasi saham dengan gaya value investing. Sebagian pertanyaan berasal dari investor saham peserta sejumlah webinar yang diselenggarakan oleh penulis.

Pembaca yang tertarik mempelajari filosofi dan strategi investasi Lo Kheng Hong bisa membaca buku berjudul, “Lo Kheng Hong - Orang Miskin Yang Triliuner di Bursa Efek Indonesia” karya terbaru penulis.

Pertanyaan: Pak Lo untung banyak berkat berinvestasi di saham emiten yang masih rugi, seperti PT Indika Energy Tbk (INDY) atau PT United Tractors Tbk (UNTR) pada 1998. Apa yang membuat Pak Lo berani masuk dan berinvestasi dengan jumlah yang tidak sedikit di saham-saham seperti itu?

LKH: Waktu saya beli memang perusahaan tersebut sedang rugi. Namun, kalau dicermati, sebelumnya, kan, pernah untung. Saya tidak hanya melihat kinerja perusahaan dalam periode satu tahun. Di annual report, kan, ada kinerja selama beberapa tahun ke belakang. Kalau dalam empat  tahun ke belakang untung, terus tahun ini rugi, ya, kinerjanya  berpotensi balik menjadi untung lagi.

Baca Juga: Wake Up Call: Behavioral Finance Tentang Tingkat Laku Investor

Karena, kan, tahun 1998, Indonesia memang sedang krisis ekonomi, jadi kalau perusahaan mengalami kerugian itu masih wajar. Seperti juga yang terjadi pada tahun 2020 hingga 2021 ketika terjadi pandemi, banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Tapi, kita jangan hanya melihat tahun 2020 saja, lihat juga di tahun 2019, di 2018, di 2016, di 2015. Baru, setelah itu bisa mengambil kesimpulan tentang perusahaan tersebut.

Jadi, kalau perusahaan tersebut saat ini mengalami kerugian tetapi dalam empat tahun ke belakangnya masih untung besar, pasti perusahaan tersebut akan tenteram, karena didasari kinerja masa lalunya. Kalau masa lalunya bagus, tahun ini jelek, ya tahun depan kemungkinan akan bagus lagi, jika pandemi atau krisis sudah berlalu.

Pertanyaan: Jadi enggak mentang-mentang rugi langsung dibeli, tapi lihat dulu bisnisnya dan kinerja di masa lalu ya Pak? Dan, kalau saya perhatikan, rata-rata perusahaan yang Pak Lo beli sahamnya adalah perusahaan komoditas ya?

LKH: Memang harga komoditas itu, kan, fluktuatif. Paling gampang begitu harga komoditas, misalnya batubara, hanya sebesar US$ 50 per metrik ton, harga saham batubara juga menjadi rendah dan menarik untuk dibeli. Jika harga batubara kemudian bisa naik ke US$ 100 per metrik ton, maka investor bisa untung besar. Jadi lebih cepat bermain di saham komoditas.

Pertanyaan: Kan harga batubara sekarang sudah mencapai US$ 140 per metrik ton, bahkan lebih. Harga CPO sudah menembus RM 4.300 per ton. Kan Indonesia dulu itu menjadi primadona di pasar modal karena saham komoditasnya banyak. Bagaimana pandangan Pak Lo dengan kondisi sekarang, yang mana komoditas enggak jalan setinggi dibanding tahun 2016?

LKH: Itu artinya kesempatan yang bagus. Kalau dia sudah jalan, ya, artinya Anda ketinggalan. Kan, sudah tidak bisa beli lagi di harga bawah. Itu kesempatan yang bagus buat kita, berarti kita bisa membeli saham perusahaan yang harusnya mahal dengan harga murah.

Baca Juga: Wake Up Call: Investor Bertanya, Lo Kheng Hong Menjawab Bagian 2

Pertanyaan: Dalam berinvestasi saham kita mengenal perilaku ikut-ikutan (herding behavior) yang sering dipicu oleh FOMO atau Fear of Missing Out Opportunity. Apa nasihat Pak Lo bagi investor saham pemula agar terhindar dari “virus yang sangat menular” seperti FOMO ini?

LKH: Kita bisa menghindari ikut-ikutan saat orang lain membeli sebuah saham kalau kita punya pengetahuan yang mendalam tentang perusahaan tersebut. Ketika kita lihat perusahaan itu valuasinya mahal, juga tidak untung atau untungnya kecil, tentu kita tidak akan ikut-ikutan membelinya.

Kan, dasar kita membeli saham bukan karena ikut orang lain. Dasar kita membeli adalah membaca laporan keuangan dan mempelajari fundamental perusahaan tersebut.

Pertanyaan: Pak Lo sangat terinspirasi oleh Warren Buffet, sementara Warren Buffet sendiri terinspirasi oleh Benjamin Graham dengan strategi cigar-butt -nya. Membeli perusahaan yang orang pikir sudah tidak ada nilainya, tapi sebenarnya masih ada.  Analoginya seperti puntung rokok yang tergeletak di jalan, tapi ternyata masih ada sisa tembakaunya.

Kemudian Warren Buffet bertemu Charlie Manger, sehingga belakangan Warren Buffet mau membeli wonderful company at fair price. Tadinya, Warren Buffett cenderung membeli perusahaan yang betul-betul memiliki wonderful price. Sekarang Warren Buffett bilang “It’s better to buy wonderful company at fair price than fair company at wonderful price”.

Kalau saya amati, Pak Lo membeli saham yang harganya wonderful, tetapi perusahaannya ada yang fair ada juga yang wonderful. Apa nanti Pak Lo akan tetap seperti ini, mencari saham yang harganya wonderful? Atau ikut seperti Warren Buffet yang mau membeli saham wonderful di fair price?

LKH: Jarang ada wonderful company tetapi harganya juga wonderful alias kemurahan. Misalnya, saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Emitennya memiliki fundamental yang bagus, seperti return of equity (ROE) mencapai hingga 125 persen, tapi sayangnya valuasinya sangat mahal.

Jika kita memakai ukuran price-to-book dan price earning ratio, saham UNVR mahal sekali sehingga saya belum berani membelinya. Lebih baik saya beli saham bank-bank besar yang asetnya mencapai Rp 200 triliun lebih dan masih mampu menghasilkan laba hingga Rp 2 triliun, tetapi valuasinya masih murah, price-to-book value ratio hanya 0,5.

Terbaru