Covid-19 Mengganas, Peringkat Utang Investment Grade Indonesia Dapat Bola Panas
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang kedua corona (Covid-19) yang mengganas di Indonesia, menjadi perhatian sejumlah lembaga pemeringkat internasional. Setelah Standard and Poor' Global Ratings (S&P) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021, kini giliran Moody’s Investors Service memperingatkan kondisi Indonesia dapat berpengaruh pada peringkat utangnya.
Seperti diberitakan Reuters, Senin 19 Juli 2021, Moody's menyatakan bahwa lonjakan infeksi Covid-19 di Indonesia mengancam rencana pemerintah mengurangi defisit fiskal. Hal ini, lanjut Moody's, dapat merusak peringkat utang Indonesia.
Moody's sendiri memperkirakan gross domestic product (GDP) Indonesia tahun 2021 masih akan tumbuh sebesar 4,5%. Adapun defisit fiskal Indonesia tahun 2021 menurut Moody's akan berada di level 5,9% dari GDP. Angka ini sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah yang sebesar 5,7%.
Baca Juga: Waskita Sukses Divestasi Jalan Tol, Saham WSKT Mendapat Rekomendasi Beli
Moody's mengingatkan, rencana pemerintah mengembalikan batas defisit fiskal ke level 3% pada tahun 2023 bisa terkendala.
Komentar Moody's ini muncul, setelah Kamis, 15 Juli 2021, S&P menurunkan proyeksi GDP Indonesia tahun fiskal 2021 dari 4,4% menjadi 3,4%. Angka tersebut lebih rendah ketimbang proyeksi pemerintah yang mematok GDP tahun 2021 di kisaran 3,7% sampai 4,5%. Asal tahu saja, tahun 2020 lalu, GDP Indonesia mengalami kontraksi 2,07% dari tahun 2019.
S&P memperkirakan jika program vaksinasi Covid-19 di Indonesia melambat karena pasokan vaksin kian terbatas, hal ini juga akan menyebabkan risiko pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tak kunjung usai.
Baca Juga: Peringkat Utang Indonesia Terancam Turun
Krisis kesehatan yang berlarut-larut, lanjut S&P, akan memperburuk kondisi kredit dan pembiayaan sektor industri, terutama yang bergantung pada mobilitas masyarakat.
S&P juga memperkirakan defisit fiskal Indonesia akan mencapai 6% dari GDP tahun 2021. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan proyeksi pemerintah yang sebesar 5,7%.
Sejak April 2020 lalu, S&P telah menyematkan outlook (proyeksi) negatif atas surat utang luar negeri atau sovereign credit rating Indonesia di peringkat BBB. Meski masih berstatus investment grade, namun S&P melihat peningkatan risiko keuangan setelah pemerintah menggenjot pengeluaran di awal masa pandemi.
Sekadar mengingatkan, Indonesia memperoleh peringkat investment grade (layak investasi) di level BBB- dengan outlook stabil dari S&P, sejak 19 Mei 2017. Sebelumnya, sejak 1 Juni 2016, S&P menyematkan peringkat BB+ dengan outlook positif bagi Indonesia.
Baca Juga: Era Suku Bunga Rendah, Penerbitan Obligasi Kembali Ramai
Lalu sejak 31 Mei 2019, rating Indonesia kembali naik menjadi BBB dengan outlook stabil. Hingga kemudian pada April 2021, outlook Indonesia diturunkan menjadi negatif.
Sementara di sisi lain, dua pemeringkat internasional lainnya yakni Fitch Ratings dan Moody’s Investors Service, tetap mempertahankan rating investment grade Indonesia dengan outlook positif.
Adapun Moody's, menempatkan peringkat utang Indonesia dalam status investment grade sejak 8 Februari 2017. Saat itu, Moody's menaikkan outlook Indonesia menjadi positif di level Baa3, yang merupakan peringkat investment grade terendah Moody's. Saat ini, rating inevstment grade Indonesia versi Moody's ada di level Baa2 dengan outlook positif.
Pandangan pengamat
Tito Sulistio, pengamat ekonomi dan juga mantan Direktur Utama PT Bursa Efek Indoonesia (BEI) mengatakan, pemerintahan bapak Joko Widodo (Jokowi) telah membuat legacy dengan berhasil meng-upgrade status Indonesia di tahun 2017 ke level BBB-, yang berarti negara dengan status layak investasi (investment grade).
"Sayangnya ada tanda-tanda kalau saat ini dinilai kita bisa turun lagi. Ayo bantu doa supaya Republik ini tetap dinilai sebagai investment grade country," tulis Tito dalam akun instagramnya, @tito.sulistio, Senin (20/7).
Saat dihubungi KONTAN, Tito mengingatkan penurunan GDP/Kapita tahun 2020 menjadi Rp 56,9 juta dari tahun 2019 sebesar Rp 59,1 juta perlu menjadi perhatian. Apalagi disaat yang sama, rasio utang/GDP naik dari tahun 2019 sebesar 30% menjadi 39% di tahun 2020.
"Intinya is a cashflow games!, cashflow memperbaiki ekonomi, dan bukan teori ekonomi memperbaiki cashflow," ujarnya kepada KONTAN, Senin.
Dia khawatir, bila rating investment grade Indonesia turun, maka dampak selanjutnya adalah kenaikan suku bunga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun, dana cash di pasar menyempit, disertai minat investasi yang turun.
Adapun Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede berpendapat, meski S&P merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 dari 4,4% menjadi 3,4%, tapi untuk tahun 2022 proyeksinya naik dari sebelumnya 5,2% menjadi 5,6%.
Baca Juga: Kinerja Unilever Indonesia (UNVR) Tertekan Kenaikan Harga Bahan Baku
Dengan kondisi gelombang kedua COVID-19 yang dialami Indonesia, S&P memang memperkirakan bahwa defisit fiskal tahun 2021 diperkirakan akan melebar ke kisaran 6% terhadap PDB, lebih tinggi dari defisit APBN yang ditargetkan pemerintah yakni 5,7% terhadap PDB.
Namun secara umum, S&P juga menggarisbawahi bahwa dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dan fiskal defisit itu, belum mengindikasikan terdapat dampak yang signifikan pada kerangka fiskal dalam jangka menengah Indonesia. "Sehingga belum ada perubahan signifkan pada rating Indonesia saat ini yakni BBB," tulis Josua kepada KONTAN, lewat pesan singkatnya, Rabu (21/7).
Selain itu dengan strategi konsolidasi fiskal yang akan dilakukan pemerintah dalam jangka pendek-menengah, maka defisit fiskal diperkirakan akan cenderung menurun yang artinya tren peningkatan rasio utang terhadap PDB pun diperkirakan akan semakin terbatas. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi utang tetap terkelola dan ruang fiskal diperkirakan akan semakin melebar dan kesinambungan fiskal serta kesinambungan utang diperkirakan akan terealisasi pasca pandemi Covid-19.
Perubahan klasifikasi negara berpenghasilan menengah pada Indonesia, disebabkan oleh kontraksi perekonomian global termasuk Indonesia pada tahun 2020 yang didorong oleh dampak pandemi Covid-19. PDB Perkapita Indonesia pada tahun 2020 tercatat US$ 3.870 dari tahun 2019 yang tercatat US$ 4.050.
Dengan update threshold klasifikasi berdasarkan World Bank, Indonesia diklasifikasikan sebagai kelompok lower-middle income, setelah sebelumnya berdasarkan data PDB per kapita tahun 2019, Indonesia masuk sebagai kelompok upper-middle income.
Dampak dari penurunan klasifikasi berdasarkan PDB perkapita tersebut, lanjut Josua, adalah pemerintah mendapatkan keringanan dalam hal bunga apabila pemerintah menarik pinjaman multilateral/bilateral dengan tenor 10-20 tahun. Sementara itu, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung menarik utang dengan penerbitan obligasi baik dalam denominasi rupiah maupun global bond, yang cenderung beban bunganya lebih kompetitif.
Josua menekankan, kedepannya dalam jangka pendek, pemerintah perlu fokus dalam hal penanganan Covid-19 sedemikian sehingga dapat mendorong pemulihan ekonomi domestik. Hal tersebut dapat mendorong kembali penyerapan tenaga kerja, menekan tingkat kemiskinan dan potensi peningkatan pendapat.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi diharapkan akan mendorong peningkatan PDB per kapita pasca pandemi Covid-19.
Baca Juga: Menkeu Geser Anggaran Rp 58 Triliun untuk Tambah PEN
"Pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi juga perlu didukung oleh reformasi struktural seperti implementasi Omnibus Law UU Cipta Kerja, reformasi perpajakan yang didukung oleh perubahan RUU KUP," tutur Josua. Hal ini diharapkan akan mendorong peningkatan investasi sedemikian sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mendekati level potensinya.
Dengan pemulihan ekonomi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan PDB perkapita, maka Indonesia diperkirakan akan kembali masuk sebagai upper middle income dalam waktu yang tidak lama sedemikian sehingga visi pemerintah untuk menjadi negara maju sebelum 2045.
Dengan mempertimbangkan potensi peningkatan rasio utang terhadap PDB yang makin terbatas kedepannya serta potensi peningkatan PDB perkapita Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, maka credit rating agency diperkirakan akan tetap mempertahankan soverign rating Indonesia di level saat ini investment grade.
Selanjutnya: Kemenaker Masih Matangkan Program Bantuan Subsidi Upah
Selanjutnya: BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2021 Menjadi 3,5%